DECEMBER 9, 2022
Kolom

Denny JA di Mata Saya: Dari Ladang ke Ladang, Demi Kemakmuran Rakyat

image
Denny JA.

Oleh Hamri Manoppo

ORBITINDONESIA.COM - Saya mengenal Denny JA awalnya lewat gagasan puisi esainya yang fenomenal.

Genre sastra baru yang ia gagas sejak lebih dari satu dekade lalu ini membuat sastra Indonesia bergetar.

Baca Juga: Analisis Denny JA: Setelah Amerika Serikat Menjatuhkan Bom ke Iran

Banyak sastrawan kagum, banyak pula yang mengecam.

Sepak terjangnya menimbulkan gelombang kritik pedas, perdebatan terbuka di berbagai forum, hingga akhirnya diakui sebagai salah satu dari 33 tokoh paling berpengaruh dalam sejarah sastra Indonesia.

Sebagai mantan birokrat yang usia saya empat tahun lebih tua darinya, pada mulanya saya menganggap mengenal beliau adalah hal biasa saja.

Baca Juga: Analisis Denny JA: Indonesia Jadi Tempat Paling Aman Jika Pecah Perang Dunia Ketiga

Namun ternyata sejak 2016 hingga 2025, sembilan tahun mengenal Denny JA, saya merasa seperti sedang menjalani kuliah panjang tanpa ujian formal, tetapi justru penuh ujian kehidupan yang membuka cakrawala saya.

Saya mulai membaca tulisan-tulisannya di media sosial. Awalnya hanya status harian, refleksi, kutipan, dan puisi.

Lama kelamaan, semakin dalam saya membaca, semakin saya temukan struktur berpikir seorang ilmuwan sosial yang menguasai metodologi dan data, tapi mengekspresikannya dengan narasi, puisi, dan metafora.

Baca Juga: Analisis Denny JA: Dari Gencatan Senjata Iran-Israel Menuju Masa Depan Palestina Merdeka?

Inilah yang membuat saya merasa mendapat ilmu luar biasa, tanpa harus duduk di kelas S3 atau seminar besar.

Ia mengajarkan keberanian untuk menulis dengan gaya sendiri, untuk menyampaikan kebenaran tanpa harus menunggu ijazah akademik.

Bagi saya, Denny JA adalah ilmuwan jembatan. Ia menghubungkan berbagai disiplin ilmu yang terpisah.

Baca Juga: Catatan Denny JA: Apakah Pertamina Bisa Selamat di Era Tanpa Minyak?

Politik, komunikasi, sosiologi, filsafat, sastra, sampai filantropi ia rangkai seperti untaian tasbih.

Setiap butir memiliki fungsi, setiap fungsi memiliki makna, dan setiap makna membawa pesan spiritual kemanusiaan yang lebih tinggi.

Ia mendirikan LSI (Lingkaran Survei Indonesia) dan menjadi pelopor survei opini publik berbasis ilmiah di Indonesia, yang kemudian banyak diikuti lembaga-lembaga lain.

Baca Juga: Catatan Denny JA: Mantra Dunia Minyak, Ketahanan dan Kemandirian Energi

Ia bukan hanya membaca data, tetapi juga menafsirkannya untuk kepentingan kebijakan publik.

Karena itu, ia dijuluki “Raja Konsultan Politik”, dan hingga kini belum ada yang menyaingi rekornya memenangkan pemilu presiden dan kepala daerah terbanyak.

Namun di balik semua kesuksesan profesional itu, saya lebih kagum pada jiwanya sebagai seorang penyair dan sastrawan.

Baca Juga: Catatan Denny JA: Bangkitnya Negara Minyak Melawan Super Power Dunia

Denny JA menulis puisi esai bukan untuk gaya-gayaan, tetapi untuk menyampaikan isu kemanusiaan, diskriminasi, kebebasan, dan cinta kasih universal. Puisinya menembus sekat agama, etnis, dan politik, menjangkau nurani siapa saja yang membacanya dengan hati.

Kini, ketika membaca pikirannya tentang amanah barunya sebagai Komisaris Utama PT Pertamina Hulu dan Energi, saya sempat terperanjat.

Bagaimana mungkin seorang penyair, sastrawan, konsultan politik, ilmuwan sosial, filantropis, sekaligus penggagas genre sastra baru, terjun ke ladang energi yang sangat kompleks dan sarat kepentingan bisnis serta geopolitik?

Baca Juga: Catatan Denny JA: Mengapa Saya Menerima Jabatan Komisaris Utama PT Pertamina Hulu Energi?

Teman saya sempat menulis dengan nada risau, khawatir tugas besar di Pertamina Hulu Energi akan mengganggu pengembangan puisi esai yang sedang tumbuh di berbagai perguruan tinggi dan komunitas sastra Indonesia. Kekhawatiran itu wajar. Saya pun sempat berpikir demikian.

Namun setelah membaca seri tulisannya tentang amanah baru ini hingga tulisan ke-13, saya justru semakin yakin semua akan baik-baik saja.

Bahkan mungkin, amanah baru ini akan melengkapi perjalanan hidupnya dalam menyeimbangkan ilmu, karya, kekuasaan, dan kebajikan sosial.

Baca Juga: Catatan Denny JA: Donald Trump, Tarif 32 Persen dan Kisah Sepatu Cibaduyut

Bukankah energi dan sastra pada hakikatnya sama-sama sumber kehidupan?

Energi untuk menggerakkan dunia fisik, dan sastra untuk menggerakkan jiwa kemanusiaan.

Saya yakin Denny JA memahami filosofi ini. Dalam salah satu tulisannya, ia menegaskan bahwa energi adalah nadi ekonomi rakyat. Jika dikelola dengan baik, energi akan menyejahterakan. Namun jika dikelola tanpa amanah, energi bisa meluluhlantakkan bumi dan kemanusiaan.

Baca Juga: Catatan Denny JA: Matahari Terbit di Ladang Minyak, Transisi Energi dan Ketakutan Oligarki Lama

Ia menulis dengan nada tanggung jawab yang dalam: "Menjaga energi adalah menjaga hidup bersama. Menjaga bumi adalah menjaga keberlanjutan anak cucu kita.”

Bagi saya, itulah makna besar kepemimpinan yang bijak.

Saya semakin memahami bahwa Denny JA adalah sahabat ilmuwan yang jenius, dermawan, sastrawan, dan negarawan.

Baca Juga: Catatan Denny JA: Petrodollar, Uang Kertas, Minyak, dan Tahta Amerika

Ia tidak hanya menulis tentang puisi kemanusiaan, tetapi juga mengeksekusi gagasannya melalui yayasan, beasiswa, lembaga survei, pendidikan publik, bahkan gerakan bantuan hukum gratis untuk kelompok rentan.

Ia berpindah dari satu ladang ke ladang lain dengan keyakinan bahwa semua ladang itu satu tujuan: demi kemakmuran rakyat dan kehormatan kemanusiaan. Saya menamainya “Petani Peradaban”.

Ia menanam ilmu di ladang survei, menanam puisi di ladang sastra, menanam kepemimpinan di ladang energi, dan menanam cinta kasih di ladang filantropi.

Baca Juga: Catatan Denny JA: Wonderland, Dunia Kanak-kanan dalam Lukisan Genre Imajinasi Nusantara

Saya ingat satu ungkapan yang ia tulis di puisinya: "Kita hanya singgah sebentar di bumi, jangan hanya membawa perut dan ambisi. Bawalah juga cahaya untuk menuntun mereka yang berjalan setelah kita.”

Itulah pesan yang terus mengiang di hati saya. Bahwa kepemimpinan, ilmu, sastra, dan kekuasaan tidak ada artinya jika tidak memberi manfaat kepada sesama.

Kita tidak akan pernah ingat berapa banyak gelar yang seseorang miliki, tetapi kita akan selalu mengingat berapa banyak kebaikan yang dia tanam dan tinggalkan.

Baca Juga: Catatan Denny JA: Bumi yang Terluka

Hari ini, kita menyaksikan Denny JA menapaki ladang baru di energi nasional, sambil tetap menumbuhkan ladang sastra dan budaya.

Ia menjadi bagian dari pertaruhan besar bangsa Indonesia dalam pengelolaan energi yang bersih, berkeadilan, dan berkelanjutan.

Amanah ini berat, tetapi saya percaya di pundaknya ada visi kemanusiaan yang telah teruji.

Jika suatu saat nanti saya menengok perjalanan ini, saya akan berkata kepada anak cucu saya: “Ada jejak kata, ada jejak cahaya, ada jejak kemakmuran yang dia tinggalkan di tanah air ini. Dia menulis bukan hanya di kertas, tetapi di hati manusia dan bumi yang dipijaknya.”

Dan saya menutup tulisan ini dengan doa sederhana:

Semoga Mas Denny JA terus menjadi cahaya,

menyulut api tanpa membakar diri,

menyalakan obor tanpa melukai bumi,

menjadi sahabat rakyat di setiap ladang kehidupan,

demi kemakmuran, kedamaian, dan keluhuran bangsa kita.***

Kotamobagu, 18 Juli 2025

Halaman:

Berita Terkait