DECEMBER 9, 2022
Kolom

Catatan Denny JA: Ketika Suara Rakyat Ditukar Liter Solar

image
(OrbitIndonesia/kiriman)

Minyak, Politik, dan Bisnis (13)

ORBITINDONESIA.COM - Pada awal Januari 2012, Presiden Goodluck Jonathan mengumumkan penghapusan subsidi bahan bakar bensin. Maka harga yang selama ini sangat murah, sekitar ₦65, naik menjadi ₦141 per liter. 

Kenaikan harga ini memicu kemarahan publik. Terutama ibu-ibu dan keluarga miskin protes.  Mereka mengandalkan transportasi murah untuk kebutuhan dasar seperti pergi ke pasar atau ke puskesmas.

Baca Juga: Sebulan Menuju Kemenangan Prabowo-Gibran Terbuka Lebar, Inilah Analisis Denny JA   

Seorang ibu di Lagos, Antonia Arosanwo, menggambarkan efeknya dengan jelas:

“Saya marah. Biaya perjalanan saya di bus melambung dua kali lipat sejak subsidi dihapus.”   

Gerakan ini meluas menjadi protes nasional yang dikenal sebagai Occupy Nigeria (2–14 Januari 2012). 

Baca Juga: Seberapa Besar Efek Elektoral dari Aksi Protes di Kampus Terhadap Calon Presiden? Inilah Analisis Denny JA

Unjuk rasa besar dilakukan. Bus dihentikan, jalan diblokir. Dan puluhan orang tewas akibat bentrokan dengan aparat  .

Hanya dalam dua minggu, pemerintah tersentak, mengembalikan harga bensin ke level sekitar ₦97 per liter. 

Ketika pencabutan subsidi menentukan nasib pemimpin, apakah ini jenis demokrasi yang sehat?

Baca Juga: Akankah Pilpres 2024 Berlangsung Satu Putaran? Inilah Analisis Denny JA

-000-

Dalam sejarah negara-negara berkembang, subsidi energi adalah candu politik. Ia menenangkan protes, menekan inflasi, dan membeli loyalitas instan. 

Di Mesir, revolusi Arab Spring dipicu bukan hanya oleh otoritarianisme, tapi juga pencabutan subsidi bahan pokok. 

Baca Juga: Inilah Analisis Denny JA Tentang Berubahnya Gibran dari Si Samsul Menjadi Game Changer Pilpres 2024

Di Venezuela, rezim Chávez bertahan bertahun-tahun di atas fondasi bensin gratis. Di Indonesia, lebih dari Rp500 triliun anggaran pernah dikucurkan hanya untuk menjaga harga BBM tetap “terasa murah”.

Padahal, data membongkar ilusi itu. Menurut Bank Dunia, 70% subsidi BBM di Indonesia justru dinikmati oleh 30% kelompok terkaya. 

Pemilik mobil SUV mendapat porsi lebih besar dibanding pengayuh becak atau nelayan. Subsidi ini bukan keadilan sosial.

Baca Juga: Tentang Pemilu Curang, Efek Bansos, Sampai Hak Angket, Inilah Analisis Denny JA

Melainkan ini hadiah politik untuk kelas menengah urban yang paling vokal di media sosial dan paling menentukan di TPS kota.

Kita dimenangkan hari ini. Tapi esok hari, sekolah anak kita kekurangan guru. Puskesmas tak punya vaksin. Jalan desa tetap berlubang.

Inilah ironi: energi memberi panas yang cepat, tapi meninggalkan arang yang panjang. Subsidi memang populis. Tapi ia seringkali memiskinkan.

Baca Juga: Hilangnya Anies Baswedan di Pilkada Jakarta 2024 dan Kisah 4 Presiden Menurut Analisis Denny JA

-000-

Jauh di balik kampanye dan baliho, ada sumber uang yang lebih berkuasa daripada rakyat: sumur minyak dan tambang batu bara. 

Kita hidup di era ketika industri energi bukan sekadar penggerak ekonomi, tapi pendonor utama pesta demokrasi.

Baca Juga: Inilah Skenario Terbaik yang Bisa Diharapkan Indonesia dari Presiden Prabowo Subianto Menurut Analisis Denny JA

Contoh paling vulgar adalah Brasil: skandal Petrobras menyeret presiden, anggota parlemen, hingga eksekutif top ke penjara. 

Di Nigeria, “oil bunkering” ilegal melahirkan tentara bayaran yang lebih setia pada pengusaha energi daripada konstitusi.

Dan Indonesia? Kita punya cerita sendiri: Petral, anak usaha Pertamina yang pernah menjadi ladang mafia impor minyak. 

Baca Juga: Analisis Denny JA: Setelah Amerika Serikat Menjatuhkan Bom ke Iran

Ada juga permainan tender yang membiayai koalisi politik. Surat izin tambang berubah menjadi mata uang politik: siapa mendukung siapa, akan dapat konsesi dimana.

Banyak suara rakyat ditukar satu kontrak blok migas. Itulah mata uang baru demokrasi.

Negara yang hidup dari rente minyak kerap menjadi negara yang malas. Pajak tak lagi dikembangkan secara adil. 

Baca Juga: Analisis Denny JA: Indonesia Jadi Tempat Paling Aman Jika Pecah Perang Dunia Ketiga

Regulasi tunduk pada pemain besar. Dan pembangunan institusi demokrasi tertunda, karena yang diperlukan bukan sistem meritokrasi, tapi jaringan loyalis yang bisa mengamankan blok eksplorasi.

Kita bisa belajar dari sejarah:

• Di era Orde Baru, Soeharto membagikan ladang minyak kepada kroni dan militer. Dari sinilah tumbuh kekuatan bisnis-politik yang kini masih bertahan, dengan wajah baru.

Baca Juga: Analisis Denny JA: Dari Gencatan Senjata Iran-Israel Menuju Masa Depan Palestina Merdeka?

• Di Malaysia, Petronas pernah menjadi ATM partai penguasa UMNO. Transparansi hanya menjadi etalase.

• Di Meksiko, selama puluhan tahun, minyak adalah milik negara—tapi negara hanya milik satu partai.

Negara tidak lagi rasional. Ia menjadi korporasi raksasa dengan dewan direksi yang dipilih bukan oleh rakyat, tapi oleh pemilik modal.

Baca Juga: Catatan Denny JA: Pertamina di Simpang Jalan, Antara Aramco dan Petrobras

-000-

Kita tahu kekayaan alam Indonesia melimpah. Tapi siapa yang menikmatinya?

• Di Aceh, ladang gas Arun mengalir ke Jakarta, tapi desa sekitar tak punya listrik. Konflik bersenjata ikut lahir dari rasa ketidakadilan itu.

Baca Juga: Catatan Denny JA: Apakah Pertamina Bisa Selamat di Era Tanpa Minyak?

• Di Papua, tambang emas dan eksplorasi migas berjalan, tapi kampung-kampung adat hanya menerima debu dan penggusuran. 

Di sana, suara rakyat tak pernah diukur dalam desibel, hanya dalam meter kubik minyak yang bisa ditambang.

Inilah luka struktural yang tak kunjung sembuh. Ketika energi tak dibagi secara adil, maka demokrasi tak akan lahir secara utuh.

Baca Juga: Catatan Denny JA: Mantra Dunia Minyak, Ketahanan dan Kemandirian Energi

Kita tak perlu pesimis. Dunia telah menunjukkan jalan lain.

• Norwegia, negeri penghasil minyak, justru menjadi salah satu negara paling demokratis. 

Dana abadi mereka menyimpan ratusan miliar dolar, dikelola secara transparan, dan setiap warga bisa mengakses informasi keuangan negara secara daring.

Baca Juga: Catatan Denny JA: Bangkitnya Negara Minyak Melawan Super Power Dunia

• EITI (Extractive Industries Transparency Initiative) jadi standar global. Negara yang mau jujur, akan dihormati pasar dan rakyat sekaligus.

Bahkan di Afrika, negara seperti Botswana berhasil mengelola kekayaan tambang secara relatif adil—bukan karena mereka kaya, tapi karena mereka berani.

Maka pertanyaannya bukan: apakah bisa?

Baca Juga: Catatan Denny JA: Mengapa Saya Menerima Jabatan Komisaris Utama PT Pertamina Hulu Energi?

Tapi: apakah kita cukup berani?

-000-

Indonesia: Di Persimpangan Sumur dan Suara

Baca Juga: Catatan Denny JA: Donald Trump, Tarif 32 Persen dan Kisah Sepatu Cibaduyut

Indonesia kini bukan lagi negara pengekspor minyak. Kita sudah menjadi importir. Tapi mentalitas elite kita masih seperti pemilik sumur raksasa.

Politik masih didanai oleh bisnis batu bara, kontrak migas, dan rente eksplorasi. Transisi energi dibicarakan, tapi tak sungguh dijalankan, karena para pemilik warisan lama belum rela melepaskan kendali.

Apakah koperasi energi lokal bisa lahir? Apakah rakyat bisa terlibat dalam tata kelola sumber daya? Apakah kita bisa menciptakan demokrasi yang tak lagi tunduk pada harga bensin?

Baca Juga: Catatan Denny JA: Matahari Terbit di Ladang Minyak, Transisi Energi dan Ketakutan Oligarki Lama

Jalan tengah itu masih belum jelas.

Tapi sejarah menanti mereka yang berani menulis bab baru.

Demokrasi bukan hanya pemilu lima tahunan. Ia hidup dari kontrol rakyat atas sumber dayanya. Jika sumur dimiliki rakyat, suara pun tak bisa dibeli.

Baca Juga: Catatan Denny JA: Petrodollar, Uang Kertas, Minyak, dan Tahta Amerika

Tapi jika energi hanya dikuasai oleh elite yang takut kehilangan kuasa, maka demokrasi kita bukan sedang tumbuh—melainkan dalam koma yang panjang.

-000-

Apa yang bisa Indonesia pelajari?

Baca Juga: Catatan Denny JA: Wonderland, Dunia Kanak-kanan dalam Lukisan Genre Imajinasi Nusantara

Bahwa kedaulatan energi bukan tentang siapa yang menguasai ladang, tapi siapa yang berani membagi hasilnya secara adil. 

Bahwa demokrasi bukan soal harga BBM, tapi siapa yang menentukan anggaran negara: suara, atau rente?

Indonesia wajib membentuk badan independen pengawas energi dengan kewenangan memveto kontrak merugikan. 

Baca Juga: Catatan Denny JA: Bumi yang Terluka

Juga ia mengalokasikan 30% pendapatan migas langsung ke dana desa terpencil."

Jika kita ingin demokrasi yang sehat, maka energi harus kembali ke tangan rakyat.

“Energi adalah darah negara. Tapi jika darah itu hanya mengalir ke jantung oligarkhi elite, maka demokrasi kita bukan sedang hidup—melainkan koma.”***

Jakarta, 18 Juli 2025

REFERENSI

1. “The Oil Curse: How Petroleum Wealth Shapes the Development of Nations”

(Michael L. Ross, Princeton University Press, 2012)

2. “Crude Democracy: Natural Resource Wealth and Political Regimes”

(Thad Dunning, Cambridge University Press, 2008)

-000-

Ratusan esai Denny JA soal filsafat hidup, political economy, sastra, agama dan spiritualitas, politik demokrasi, sejarah, bisnis dan marketing, positive psychology, catatan perjalanan, review buku, film dan lagu, bisa dilihat di FaceBook Denny JA’s World

https://www.facebook.com/share/19MkzhFE6E/?mibextid=wwXIfr

Halaman:

Berita Terkait