DECEMBER 9, 2022
Puisi

Esai Emi Suy: Di Ruang Sekecil Itu, Dunia Bisa Diam

image
(OrbitIndonesia/kiriman)

ORBITINDONESIA.COM - Di dunia yang riuh oleh teriakan, ambisi besar, dan citra-citra agung, kita sering kali lupa bahwa sesuatu yang kecil bisa menyimpan daya hidup yang jauh lebih dalam.

Dunia menyukai ukuran: tinggi dan rendah, besar dan kecil, panjang dan pendek. Namun siapa yang bisa mengukur getaran batin, atau kedalaman rasa?

Pameran Kecil Itu Keren 2025 bukan sekadar ajang memamerkan karya seni berukuran 15x15 sentimeter. Ia adalah peristiwa batin.

Baca Juga: Catatan Denny JA: Mereka Menemukan Cinta dan Menikah dalam Komunitas Puisi Esai

Sebuah laku penciptaan yang justru menemukan makna dalam keterbatasan: tentang ketekunan dalam ruang sempit, tentang keberanian mempercayai yang kecil, dan tentang bahasa-bahasa yang lahir dari keheningan.

Di tengah seni rupa kontemporer yang kerap memuja skala dan narasi besar, karya-karya mungil dalam pameran ini mengajak kita untuk menunduk—secara fisik maupun batiniah.

Kita tak lagi berdiri sebagai penonton yang menguasai, melainkan menjadi peziarah yang mengakrabi, perlahan-lahan. Dalam ukuran yang tak seberapa, kita dipanggil untuk hadir sepenuhnya.

Baca Juga: Puisi Esai Denny JA Menyambut Waisak: Bunga Meditasi untuk Tina Turner

Ini bukan sekadar lukisan—
ini luka yang dikeringkan dengan warna,
lalu disimpan dalam bingkai
sekecil pesan yang karam di dada.

Ukuran 15x15 cm memang tak cukup untuk menampung langit. Tapi justru dalam sempitnya bidang, rahasia-rahasia kecil bisa hidup dengan utuh. Cinta yang tak tersampaikan, luka yang tak sempat sembuh, doa yang menggantung, atau tawa yang tertahan—semuanya menemukan cara untuk hadir, senyap tapi menggugah.

Para perupa dari lebih dari 20 negara menyulam perasaan dan mencatat zaman dalam ruang yang nyaris tak memberi kelonggaran. Mereka tak sedang membuktikan sesuatu. Mereka sedang menyampaikan sesuatu—dengan cara paling jujur dan paling sunyi.

Baca Juga: Lomba Menulis Puisi Esai Antarbangsa Bertema Cinta dan Kemanusiaan Global

Ada seniman menggambar ibunya
dengan cat air, karena air mata sudah habis.
Ada yang melukis suara
karena mulutnya terlalu takut untuk bicara.

Melalui pameran ini, kita melihat seni bukan sebagai ekspresi spektakuler, melainkan sebagai laku. Laku untuk percaya bahwa yang kecil tak berarti remeh. Bahwa kesederhanaan tak meniadakan kedalaman. Laku untuk hadir secara utuh, tanpa harus membesar-besarkan diri.

Dalam ruang sekecil itu, waktu bisa dilipat, kenangan bisa diam di tempatnya, dan sesuatu yang tak selesai bisa tetap hidup tanpa harus dijelaskan.

Baca Juga: Inilah Tips Menulis Puisi Esai

Di ruang sekecil itu,
waktu dilipat
seperti baju anak-anak
yang tak sempat tumbuh dewasa.

Namun yang paling menggugah dari semua ini: tidak ada transaksi. Tak ada karya yang dijual. Tak ada dinding yang berubah menjadi etalase. Semua yang hadir—perupa, panitia, pengunjung—seolah saling menjaga satu sama lain dalam semangat yang sederhana tapi langka: merayakan seni sebagai ruang persaudaraan, bukan arena persaingan.

Di tengah dunia seni yang kian terjebak dalam mekanisme pasar dan kapital, ruang ini terasa sebagai jeda. Tempat bernapas.

Baca Juga: Catatan Denny JA: Ketika Puisi, dan Apapun, tak Pernah Cukup, Lalu Mengapa Lahir Puisi Esai

Saya menyaksikan kerja-kerja diam dari para penjaga peristiwa ini. Mereka yang tak selalu tampak di depan, tapi justru menopang segalanya dari balik layar. Ada MS. Untung yang sabar menampung ratusan nama perupa, satu demi satu.

Ada Rindy Atmoko yang menata alur dengan keheningan yang rapi.

Ada Dicky Perdana yang menyampaikan suara-suara kecil dari berbagai negeri, menjahit koneksi lintas batas. Semua bekerja tanpa sorotan. Seperti tubuh yang bergerak tanpa perlu diperintah.

Baca Juga: Puisi Esai Denny JA: Ketika Kita Diam Saja Melihat 1300 Anak-anak Dibunuh

Mereka bilang: “kecil itu keren”
tapi kami tahu,
kecil itu ruang paling jujur—
karena dunia tak sempat ikut campur.

Pameran ini seperti jendela kecil ke dunia yang dipelankan. Dunia yang tidak tergesa-gesa menuntut perhatian, tapi membiarkan dirinya ditemukan. Dan justru karena itulah, karya-karya ini menggugah.

Mereka tak mengejar kekaguman. Mereka sekadar hadir. Dan dari kehadiran yang jujur itulah, daya hidup mereka memancar.

Baca Juga: Puisi Esai Denny JA: 100 Tahun Gedung Bunga Rampai

Di antara ratusan 15x15 lainnya,
kau akan temukan satu
yang menggambar hatimu sendiri
tanpa kau sadari.

Kecil bukan kekurangan.
Kecil adalah kemungkinan.

Dan barangkali, justru dari hal-hal kecil inilah kita belajar ulang tentang kesabaran, tentang hadir sepenuh hati, dan tentang keberanian untuk tidak mengejar sorotan. Kita belajar bahwa makna tidak selalu muncul dari gebyar, melainkan dari getar. Dari yang sunyi. Dari yang nyaris luput.

Pameran ini bukan hanya tentang karya-karya kecil, tapi tentang harapan besar: bahwa seni masih bisa menjadi ruang yang jujur, intim, dan manusiawi. Di dunia yang serba tergesa dan penuh tuntutan, yang kecillah yang memberi ruang untuk percaya ulang.

Dan barangkali, kelak,
ketika dunia semakin keras dan kehilangan arah,
kita akan kembali mencari sesuatu yang kecil,
untuk sekadar percaya lagi.***

Jakarta, Juni 2025

Halaman:

Berita Terkait