DECEMBER 9, 2022
Kolom

Catatan Denny JA: Jika Sebuah Nada Diberi Hak

image
(OrbitIndonesia/kiriman)

Orkestra memainkan lagu. Pelanggan bersulang. Tapi satu nada yang terdengar di panggung adalah ciptaan Bourget sendiri—tanpa izin, tanpa bayaran, tanpa penghargaan.

Malam itu, mereka menuntut. Dan menang.

Gugatan itu menjadi momen lahirnya kesadaran hukum: bahwa pencipta berhak atas karya yang digunakan di ruang publik. Nada diberi hak. Dan dunia musik tak lagi sama.

Baca Juga: Puisi Esai Denny JA: Api Itu Menyatukan Kita

Empat tahun kemudian, SACEM (Société des Auteurs, Compositeurs et Éditeurs de Musique) berdiri di Prancis, menjadi organisasi kolektif pertama yang mengatur royalti.

SACEM lahir dalam dunia pasca-Revolusi Industri, saat seni tak hanya milik bangsawan, tapi juga milik massa.

SACEM melacak pemutaran lagu, menarik lisensi dari restoran dan kabaret, lalu menyalurkan bayaran ke pencipta. Inilah cikal bakal sistem kolektif royalti yang kita kenal hari ini.

Baca Juga: Puisi Esai Denny JA Menyambut Waisak: Bunga Meditasi untuk Tina Turner

-000-

Gagasan ini menyeberang ke Amerika. Tahun 1914, ASCAP lahir. Disusul BMI pada 1939. Di balik persaingan keduanya, dunia belajar menyempurnakan sistem: lebih adil, lebih terstruktur.

Namun, bagaimana menjamin hak cipta lintas negara?

Baca Juga: Catatan Denny JA: Kecerdasan Spiritual Pun Menjadi Kecerdasan Terpenting

Lalu lahir Konvensi Bern (1886) dan TRIPS Agreement (1995), menyatukan dunia dalam perlindungan internasional atas karya cipta. Kini, jika sebuah lagu diputar di Jakarta, dan penciptanya tinggal di London, ia tetap berhak atas bagiannya.

Halaman:

Berita Terkait