DECEMBER 9, 2022
Kolom

Catatan Denny JA: Elon Musk Pun Serukan Pemecatan Donald Trump

image
(OrbitIndonesia/kiriman)

ORBITINDONESIA.COM - Aliansi politik kadang lahir dari kepentingan. Tapi lebih sering, ia tumbuh dari mimpi bersama tentang masa depan.

Namun, aliansi itu bisa runtuh dalam semalam. Inilah kisah aliansi Donald Trump - Elon Musk yang historik, namun berakhir dalam permusuhan terbuka yang juga historik.

Kisah Donald Trump dan Elon Musk: tragedi atau komedi?

Baca Juga: Catatan Denny JA: Kecerdasan Spiritual Pun Menjadi Kecerdasan Terpenting

-000-

Pada 5 Juni 2025, Elon Musk secara terbuka menyatakan dukungannya terhadap pemakzulan Presiden Donald Trump.

Itu terjadi saat Musk membalas unggahan di platform X (sebelumnya Twitter) dari Ian Miles Cheong, yang menulis: “Trump should be impeached and JD Vance should replace him.”

Baca Juga: Catatan Denny JA: Pembantaian di Final Liga Champions Eropa 2025 dan Filosofi Baru Sepak Bola

(Trump harus dimakzulkan dan Wapres JD Vance menggantikannya).

Musk menjawab hanya satu kata: “Yes.”

Satu kata yang mengguncang.

Baca Juga: Catatan Denny JA: Artificial Intelligence tak Membunuh Penulis, tapi Mengubahnya

Satu kata yang mengakhiri satu dekade kedekatan dua tokoh besar.

Keesokan harinya, dunia maya menyaksikan gempa susulan yang lebih dahsyat.

Masih di platform X, Elon menulis: “Saatnya menjatuhkan bom besar: @realDonaldTrump tercantum dalam dokumen Epstein.

Baca Juga: Catatan Denny JA: Mendengar Obama yang Mendukung Harvard University Melawan Donald Trump

Itulah alasan sebenarnya mengapa dokumen itu belum dipublikasikan.

Semoga harimu menyenangkan, DJT!”

Dokumen Epstein merujuk pada arsip investigasi Jeffrey Epstein, finansier yang terlibat dalam skandal perdagangan seks dan pelecehan anak di bawah umur.

Baca Juga: Catatan Denny JA: Kisah Nabi Ibrahim dan Rockefeller yang Sayang Anak, Sebuah Renungan Iduladha

Jika tuduhan Musk benar, ini bukan sekadar bom. Ini meteor.

Mungkin peluru terakhir dalam drama pemakzulan Donald Trump.

Ya. Elon Musk, sang raja teknologi yang pernah duduk di samping meja Presiden, kini berdiri menentang.

Amerika terpana. Dunia tertegun.

Aliansi yang dahulu tampak kokoh, hancur hanya oleh satu kata.

-000-

Mari kita tarik waktu ke belakang, ke tahun 2016.

Trump baru saja menang. Hampir seluruh elite Silicon Valley menutup pintu.

Tapi Musk melangkah masuk.

Ia bergabung dalam Presidential Advisory Forum—melawan arus.

“Saya lebih baik berada di meja diskusi, memengaruhi arah kebijakan, daripada berada di luar dan hanya mengeluh,” ujar Musk saat itu.

Tahun-tahun awal tampak hangat.

Di balik layar, Musk melobi kebijakan energi hijau, teknologi luar angkasa, dan kontrak pemerintah.

SpaceX tumbuh. Tesla meledak.

Mereka tak selalu sejalan, tapi saluran komunikasi tetap terbuka.

-000-

Hubungan mereka kembali menguat saat Trump memenangkan Pilpres 2024.

Musk memuji pendekatan Trump yang “pro-bisnis” dan terbuka terhadap deregulasi.

Ia menghadiri pertemuan informal di Mar-a-Lago dan menyebut Trump “pragmatis yang tak bisa ditebak, tapi mengerti pasar.”

Trump membalas pujian itu. Ia menyebut Musk sebagai “jenius paling berguna bagi Amerika.”

Ia bahkan menunjuknya sebagai penasihat informal untuk DODGE. Ini Departemen Opportunity, Growth, and Development of the Economy.

Mereka tampil bersama dalam peluncuran proyek broadband pedesaan lewat Starlink.

Pada Januari 2025, mereka difoto makan malam bersama para taipan industri.

Banyak yang percaya: poros Trump–Musk adalah duet masa depan Amerika.

Namun, di balik layar, benih perpecahan mulai tumbuh.

-000-

Retaknya aliansi ini bukan hanya soal gagasan.

Ini juga benturan kepentingan yang tajam.

Trump menyerang subsidi kendaraan listrik—tulang punggung Tesla.

Ia menyebut EV sebagai “produk China yang merusak pekerjaan Amerika.”

Musk terkejut.

Ia telah memindahkan pabrik Tesla ke Texas. Menyerap puluhan ribu pekerja lokal.

Membangun rantai pasok dalam negeri.

Namun Trump tetap mengecam EV sebagai pengkhianatan.

Lebih jauh, Trump menyerang Starlink.

Ia menyebutnya “alat globalis” dan mengisyaratkan ancaman penyelidikan kongres.

Saham Tesla sempat anjlok 6% dalam dua hari setelah pidato Trump.

Musk kehilangan lebih dari 14 miliar USD hanya dalam 48 jam.

-000-

Namun, yang paling melukai bukanlah kerugian finansial.

Tapi rasa dikhianati. Tidak dihargai.

Dalam wawancara dengan CNBC pada 4 Juni 2025, Musk berkata:

“Saya memberikan banyak hal kepada negara ini. Teknologi, lapangan kerja, bahkan satelit untuk Ukraina dan negara-negara berkembang. Tapi Trump tak pernah mengucap terima kasih. Yang ia tahu hanya menyerang.”

Sakit itu datang bukan dari musuh.

Tapi dari tangan yang dulu bersalaman sebagai sahabat.

-000-

Banyak yang tahu bahwa Elon Musk menyumbangkan sekitar $277 juta. Itu setara Rp4,5 triliun, untuk mendukung kemenangan Donald Trump dan Partai Republik dalam Pemilu 2024.

Jumlah ini menjadikannya donor individu terbesar dalam siklus pemilu tersebut.

Dananya disalurkan melalui sejumlah Political Action Committees (PAC), termasuk America PAC yang ia dirikan sendiri.

Dukungan itu bukan sekadar finansial.

Ia adalah legitimasi.

Dan ketika legitimasi sebesar itu berpaling arah, dunia mendengarnya.

Kini, setelah segala bentuk dukungan itu, Musk justru menyerukan:

Setuju Trump dimakzulkan. Dipecat dari kursi presiden.

-000-

Sebelumnya, dunia menyaksikan bromance paling berpengaruh di planet ini: Elon Musk dan Donald Trump.

Dua raksasa ego. Dua pusat gravitasi kekuasaan.

Satu di dunia teknologi. Satu di panggung politik.

Hubungan mereka tampak personal. Penuh gestur saling puji, saling dukung, dan saling tampil.

Elon Musk bahkan menyebut dirinya sebagai “teman pertama” presiden.

Kini, bromance itu berubah menjadi permusuhan terbuka.

Retakan itu bukan hanya soal bisnis atau regulasi.

Ini patah hati ideologis. Persahabatan itu runtuh.

Kita memetik tiga pelajaran dari kisah Donald Trump dan Elon Musk.

Pelajaran pertama: politik bisa menghancurkan persahabatan, bahkan yang tampak tak tergoyahkan.

Elon dan Trump adalah simbol bahwa loyalitas personal tidak cukup bila bertentangan dengan prinsip.

Seakrab apa pun hubungan, jika arah moral tak lagi sejalan, perpisahan adalah keniscayaan.

Bahkan untuk dua orang yang terbiasa berdiri di pusat panggung, kebenaran kadang datang dari bayangan.

Pelajaran kedua: dunia membutuhkan pemimpin yang berani berkata “tidak.”

Elon bukan politikus. Ia tak dibatasi oleh kalkulasi elektoral.

Maka saat Trump mengajukan “One Big Beautiful Bill” yang menghapus subsidi mobil listrik, mengancam kontrak SpaceX, dan memperbesar defisit, Musk menolak.

Ia menyebut RUU itu sebagai “menjijikkan.”

Mungkin dunia butuh lebih banyak Musk: figur yang rela melawan arus ketika prinsip dikorbankan.

Pelajaran ketiga: retaknya dua tokoh ini adalah simbol pertarungan nilai.

Trump mewakili nostalgia, populisme, dan retorika masa lalu.

Musk mewakili masa depan, teknologi, dan imajinasi melampaui zaman.

Pecahnya mereka adalah simbol zaman yang sedang berbelok—antara mereka yang ingin mengulang masa lalu, dan mereka yang ingin menciptakan masa depan.

Namun agar pelajaran ini adil, kita juga perlu memberi kritik.

Trump sering menggunakan emosi publik untuk tujuan politik jangka pendek.

Ia memperlakukan loyalitas sebagai absolut, bukan ruang dialog.

Musk, meski jenius, kadang melompat terlalu cepat.

Ia percaya teknologi adalah jawaban segalanya, padahal dunia juga butuh hati, bukan hanya algoritma.

Dari retaknya mereka, kita belajar: yang paling setia bukan kawan, uang, atau kekuasaan—melainkan nilai.

Dan dalam sejarah manusia, mereka yang mempertahankan nilai, meski kehilangan segalanya, justru menciptakan warisan yang abadi.

-000-

Kita pernah melihat kisah serupa dalam sejarah: persahabatan Senator Barry Goldwater dan Richard Nixon.

Goldwater, awalnya pendukung fanatik Nixon, akhirnya memimpin Partai Republik untuk meminta Nixon mundur dalam skandal Watergate.

Katanya: “The party is bigger than one man.”

Kini sejarah berulang—dengan wajah dan teknologi berbeda.

Dalam dunia yang terus berubah, aliansi bisa pecah.

Namun nilai seperti rasa hormat, etika, dan visi jangka panjang harus tetap hidup.

Elon Musk, dengan segala kontradiksinya, menunjukkan:

Bahkan raksasa pun punya batas kesabaran.

Kadang, suara paling jernih datang bukan dari gedung politik, tapi dari mereka yang membangun dunia dengan mimpi dan logika.

Namun, skeptisisme patut diajukan: apakah seruan pemakzulan Trump benar-benar lahir dari integritas?

Ataukah ini bentuk balas dendam penuh kalkulasi dari Musk?

Sebagai pemilik platform X, ia menyadari kekuatan narasi publik.

Dengan mengalihkan sorotan ke skandal Epstein, Musk tak hanya membalas dendam atas kebijakan Trump yang merugikan bisnisnya.

Ia juga mengukuhkan citranya sebagai whistleblower yang berani melawan kekuasaan korup.

Di dunia di mana reputasi adalah mata uang baru, langkah ini bisa jadi kalkulasi genius: mengubah kerugian finansial menjadi keuntungan simbolis.

Di zaman yang menghitung reputasi seperti saham, Musk tak meratap saat nilainya jatuh.

Ia menciptakan pasar baru: pasar moralitas yang disiarkan langsung dari layar handphone kita.***

Jakarta, 7 Juni 2025

Referensi:

OpenSecrets.org. “Top Individual Contributors: 2024 Cycle.” Center for Responsive Politics. https://www.opensecrets.org

X.com / @elonmusk tweet, June 5–6, 2025.

-000-

Ratusan esai Denny JA soal filsafat hidup, political economy, sastra, agama dan spiritualitas, politik demokrasi, sejarah, positive psychology, catatan perjalanan, review buku, film dan lagu, bisa dilihat di FaceBook Denny JA’s World

https://www.facebook.com/share/1AobU4ztAu/?mibextid=wwXIfr

Halaman:

Berita Terkait