
-000-
Di tengah abu,
sebatang anggrek liar tumbuh,
akarnya merangkul puing gereja, kelopaknya menadah air wudhu, serbuk sarinya terbang ke bekas mihrab yang retak.
Bunga itu tak bernama dalam bahasa apapun, tapi mekar dengan diam:
"Lihatlah,
kehancuran adalah tanah.
Kita menanam kembali benih yang tak dikenal oleh nenek moyang kita."
Hari Jumat datang,
tapi gereja itu tak lagi milik sendiri.
Karpetnya disentuh dahi
umat Islam yang bersujud,
dalam sholat Jumat.
Langit-langitnya bergema
oleh ayat-ayat yang turun di Gua Hira.
“Allahu Akbar,”
menggema pelan,
di tengah salib dan jendela kaca patri.
Hari Sabtu datang,
dan Taurat dibaca lagi—
bukan di bait suci Yerusalem,
tapi di ruang doa Kristen,
oleh umat Yahudi
yang menghidupkan kembali Sabat hari Sabtu,
dari bara dan abu.
Dan Minggu pun kembali,
dengan kidung dan lonceng,
mengajak spirit Yesus
masuk ke dalam ruang
yang sehari sebelumnya
diberkahi oleh Nabi Muhammad dan Nabi Musa.
Satu ruang,
tiga hari,
tiga nama suci,
satu keheningan baru.