Catatan Denny JA: Agama di Era Artificial Intelligence, Antara Identitas Kelompok dan Etika Publik
- Penulis : Arseto
- Minggu, 20 April 2025 15:03 WIB

Ketiga: AI mengedepankan spiritualitas personal, bukan identitas kelompok.
Ia menjawab sesuai kebutuhan personal: siapa Anda, dari mana Anda datang, luka apa yang Anda bawa.
Tafsir yang Anda terima tidak dipaksakan. Ia disesuaikan, dibimbing, dijernihkan. Maka yang Anda temui bukan “siapa yang paling benar,” tapi “apa yang paling menyembuhkan.”
-000-
Baca Juga: Catatan Denny JA: Menuju Perang Dingin 2.0, dan Kekalahan Amerika Serikat?
Kini tibalah saatnya untuk menggeser pengajaran agama di kampus dan ruang publik. Bukan dengan menghapus agama, tetapi menyalakannya kembali dari dalam. Yaitu dari kesunyian batin yang rindu makna, bukan dari kibaran bendera yang haus identitas.
Dunia modern penuh ketidakpastian dan kelelahan eksistensial. Kita hidup dalam zaman yang cepat, terfragmentasi, dan kehilangan pusat. Spiritualitas intim (Intimate Spirituality) menawarkan jeda, makna, dan keteduhan.
Konflik agama lebih banyak lahir dari simbol, bukan makna. Ketika kita kembali ke dimensi esoteris, kita justru menemukan persaudaraan antariman: bahwa cinta, belas kasih, dan kebaikan adalah bahasa bersama semua kitab.
Baca Juga: Catatan Denny JA: Titiek Puspa dan Hidup yang Jenaka
Dunia akademik adalah tempat lahirnya etika publik. Jika kampus hanya mengajarkan agama sebagai sejarah atau doktrin, ia gagal menyentuh hati.
Tapi jika ia mengajarkan agama sebagai perenungan, sebagai kesadaran moral, ia membentuk generasi yang bukan hanya pintar, tapi bijak.
-000-
Baca Juga: Catatan Denny JA: 10 Pesan Spiritual yang Universal Masuk Kampus
Dalam kisah Adrianus dan Rifqi, kita melihat wajah baru masa depan: ketika teknologi dan iman tak lagi bersaing, tapi bersinergi.