DECEMBER 9, 2022
Kolom

Penguatan Kerja Sama ASEAN Juga Mesti Ditempuh Saat Hadapi Tarif Resiprokal Donald Trump

image
Menteri Keuangan RI Sri Mulyani Indrawati dalam pertemuan ke-12 Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Sentral ASEAN (12th ASEAN Finance Ministers’ and Central Bank Governors’ Meeting/AFMGM) di Kuala Lumpur, Malaysia. (ANTARA/HO-Kementerian Keuangan)

ORBITINDONESIA.COM - Negara-negara Asia Tenggara kelabakan begitu Presiden Amerika Serikat Donald Trump pada awal bulan ini mengumumkan pemberlakuan tarif resiprokal dengan negara yang lebih banyak menjual barangnya ke AS daripada yang dijual AS ke negara tersebut.

Tidak ada negara Asia Tenggara yang luput dari tarif tersebut. Indonesia terkena tarif resiprokal 32 persen, sementara negeri serumpun Malaysia menghadapi tarif 24 persen dan Singapura 10 persen.

Negara-negara lain menghadapi tarif lebih tinggi. Kamboja mendapat 49 persen, Thailand 36 persen, dan Vietnam 46 persen. Filipina saja yang dianggap sebagai sekutu AS di Asia Tenggara, dijatuhi tarif resiprokal sebesar 17 persen.

Baca Juga: Menlu Sugiono Tegaskan Komitmen Indonesia Mendukung Visi Komunitas ASEAN 2045

Wilayah yang hanya dihuni oleh para penguin pun, yaitu Kepulauan Heard dan McDonald, tak lolos dari tarif Trump. Menteri Perdagangan Amerika Serikat Howard Lutnick berdalih pulau tersebut dikenakan tarif supaya tidak dimanfaatkan oleh negara-negara yang terkena tarif lebih tinggi.

Merespons keputusan Presiden AS tersebut, menteri-menteri perdagangan dari 10 negara anggota ASEAN menyatakan tak akan membalas kebijakan tarif Trump seraya menyatakan niat menggelar dialog guna mengatasi kekhawatiran terhadap imbas bea tersebut bagi perekonomian kawasan.

Melalui pernyataan bersama mereka, para menteri juga sepakat bahwa pengenalan tarif sepihak itu telah menyebabkan ketidakpastian dan akan memberikan tantangan yang signifikan bagi usaha, terutama usaha mikro, kecil dan menengah serta dinamika perdagangan global.

Baca Juga: Beberapa Desa Wisata di Indonesia Raih Penghargaan di ASEAN Tourism Award 2025

"Pemberlakuan tarif yang belum pernah terjadi sebelumnya oleh Amerika Serikat akan mengganggu arus investasi dan perdagangan regional dan global dan juga rantai pasokan," kata para menteri dalam pernyataan bersama itu.

Namun demikian, negara-negara ASEAN tetap mengambil langkah sendiri-sendiri dengan mengajukan negosiasi secara bilateral dengan Pemerintahan Presiden Trump dan berlomba-lomba mengusulkan keringanan impor dengan AS.

Vietnam, misalnya, mengajukan penghapusan semua tarif hingga 0 persen supaya tarif impornya dihapuskan, meski kemudian tawaran tersebut ditolak oleh AS.

Baca Juga: Survei FPCI: China Dipandang sebagai Mitra Paling Relevan Bagi Masa Depan ASEAN

Indonesia juga mengirim tim perunding ke AS yang menurut Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto akan bertugas pada 16--23 April 2025. Dalam kesempatan tersebut, anggota tim negosiasi RI akan bertemu dengan Wakil Dagang AS (USTR), menteri luar negeri, menteri perdagangan, dan menteri keuangan AS.

Menurut Airlangga, RI siap menawarkan deregulasi non-tarif seperti relaksasi tingkat komponen dalam negeri (TKDN) dan evaluasi pembatasan impor produk AS, serta peningkatan impor dan investasi dari AS lewat pembelian migas.

Tak bisa dipungkiri, dinamika global akibat tarif Trump yang berdampak ke kawasan Asia Tenggara menuntut solidaritas antara negara-negara ASEAN untuk mengoptimalkan fungsi ASEAN dan membina solidaritas kawasan demi kepentingan ekonomi bersama yang berpotensi terganggu ini.

Baca Juga: Pakar Unpad, Teuku Rezasyah: Para Pemimpin ASEAN Perlu Tegas Tangani Kasus TPPO di Kawasan

Menurut Pendiri Foreign Policy Community of Indonesia (FPCI) Dino Patti Djalal, harus dikembangkan sikap “Eksepsionalisme ASEAN” di antara anggota-anggotanya supaya mereka menjadikan posisi bersama ASEAN sebagai tumpuan dalam bersikap di kancah global.

Eksepsionalisme ASEAN, katanya, adalah paralel dari “Eksepsionalisme Amerika”, sikap bangsa Amerika Serikat yang memandang negaranya adalah yang paling istimewa dan paling berbeda dari negara-negara lain di dunia.

Sikap tersebut akan memastikan negara-negara ASEAN mengutamakan kerja sama di tingkat kawasan supaya terus berkembang dan sama sekali tak terganggu meski terjadi perseteruan global dan konflik antara negara-negara besar, serta dalam situasi perlu menangani ancaman bersama di Laut China Selatan.

Baca Juga: Lin Jian: China Dukung Penyelesaian Masalah Myanmar dengan Cara ASEAN

Dalam rangka penguatan dan konsolidasi ASEAN, pakar hubungan internasional Rizal Sukma turut menyarankan supaya ditempuh langkah reformasi ASEAN melalui revisi Piagam ASEAN. “Kalau ingin ASEAN kuat, ini poin awalnya,” kata Rizal.

Tiga aspek yang harus ada dalam Piagam ASEAN yang direformasi adalah ketentuan pembiayaan, proses pengambilan keputusan, serta mekanisme penanganan konflik di tingkat kawasan, kata dia.

ASEAN juga patut meningkatkan konsolidasi organ-organnya, di antaranya ASEAN Plus Three serta RCEP (Kemitraan Ekonomi Komprehensif Regional) antara negara ASEAN dengan lima mitra dagang yaitu Australia, China, Jepang, Korea Selatan, dan Selandia Baru.

Baca Juga: Mantan Dubes AS Robert O Blake Jr Berpendapat, Presiden Trump Tak Akan Terlalu Perhatikan ASEAN

“Ketika semuanya berfokus pada unilateralisme atau ‘minilateralisme’, kita harus tampil sebagai juaranya institusi multilateral, dan institusi yang ada harus disempurnakan bukan digantikan,” kata Rizal.

Reformasi ASEAN juga dipandang menguntungkan bagi Indonesia karena hal tersebut menjadi kunci bagi Indonesia untuk menguatkan ketahanan strategis nasional di tengah upaya memperluas perannya tak hanya pada tingkat Asia Tenggara namun juga di Indo-Pasifik.

Terkait relasi dengan Amerika Serikat di tengah kepemimpinan Trump hingga 4 tahun ke depan, Dino Patti Djalal menyatakan bahwa komunitas dunia sebaiknya “move on” dari AS apabila negara tersebut semakin kurang bisa diajak kerja sama.

Baca Juga: China Beri Perhatian Khusus untuk Penyelesaian Laut China Selatan dan Judi Online di ASEAN

Ia mencontohkan bahwa ketika AS tiba-tiba mengajukan perubahan naskah Konvensi Hukum Laut Internasional (UNCLOS) 1982 secara sepihak, negara-negara yang sudah membahas konvensi tersebut selama hampir satu dasawarsa tegas menolak meski AS mengancam tak akan ikut tanda tangan.

Pada akhirnya, tuntutan AS tidak dipenuhi, UNCLOS disahkan sesuai kesepakatan penyusunnya, dan AS pun tak pernah menandatangani konvensi hukum laut hingga saat ini.

“With or without the US, we must move on,” kata dia.

Baca Juga: Menlu Prancis Jean-Noel Barrot: Kunjungan Presiden Macron ke Indonesia Kuatkan kerja sama ASEAN - Uni Eropa

Selain itu, Rizal Sukma memandang bahwa dampak kebijakan Trump masih akan dialami dunia bahkan hingga 10—15 tahun setelah Trump selesai menjabat sebagai Presiden AS. Hal itu menunjukkan besarnya efek dari kebijakan ekonomi Trump di tingkat global.

Meski keputusan Trump menangguhkan pemberlakuan tarif resiprokal pada 9 April seperti memberi sedikit kelegaan bagi dunia, dampaknya yang sangat besar sudah melebar ke mana-mana. Salvo meriam perang dagang di era Trump 2.0 kembali ditembakkan.

Kebijakan tarif Trump semestinya menjadi pengingat supaya Asia Tenggara meneguhkan komitmen untuk terus kompak melalui optimalisasi institusi ASEAN dan semakin meneguhkan sikap proaktif supaya bisa segera berstrategi secara kolektif menghadapi ancaman yang mengintai.

Baca Juga: Presiden Prabowo dan PM Malaysia Anwar Ibrahim Bahas Dampak Tarif Trump Terhadap ASEAN

Apalagi, seperti kata Wakil Menteri Luar Negeri RI Arrmanatha Nasir, manuver Trump selama ini “mempercepat rusaknya sistem multilateralisme” yang semangatnya saat ini semakin luntur, sehingga tidak ada pilihan lain buat seratus sekian negara di dunia, termasuk di Asia Tenggara, selain menguatkan reformasi sistem multilateral.

(Oleh Nabil Ihsan) ***

Halaman:

Berita Terkait