Tahlilan, Merajut Doa Bersama Anak Yatim di Markas LSI Denny JA
- Penulis : Krista Riyanto
- Selasa, 25 Maret 2025 15:30 WIB

Saya seperti dibawa kembali ke masa kecil saya sendiri. Kembali ke surau kayu di kampung halaman, tempat kami mengaji dari magrib hingga tengah malam.
Waktu itu, surau lebih dari sekadar tempat ibadah; ia adalah rumah kedua, tempat kami belajar tentang agama, kebersamaan, dan kehidupan.
Kini, surau-surau itu nyaris hilang. Berganti masjid dengan bangunan modern yang megah, tetapi kehilangan sentuhan hangatnya.
Baca Juga: Riset LSI Denny JA: Publik Berharap Prabowo Subianto Jadi Bapak Pemberantasan Korupsi di Indonesia
Tak ada lagi papan kayu berderit saat kami duduk bersila, tak ada lagi suara guru yang berwibawa membimbing tajwid kami dengan penuh kesabaran.
Waktu telah menggerus kebiasaan lama, namun kenangan itu tak tergantikan. Rindu itu menyesak di dada, seperti jejak yang tak bisa dihapus oleh waktu.
Di akhir tahlilan, Denny JA mengajak para anak yatim berfoto bersama, lalu memberikan bingkisan lebaran. Wajah-wajah kecil itu berbinar.
Baca Juga: Catatan Denny JA: Peta Jalan Agama di Zaman Artificial Intelligence
Ada cahaya harapan di mata mereka, seolah sejenak dunia memberi mereka ruang untuk tersenyum.
Dalam kebahagiaan sederhana mereka, saya melihat diri saya di masa lalu. Sejak kelas empat SD, saya sudah yatim.
Setiap menjelang Lebaran, ada beberapa tetangga yang selalu rajin memberikan sesuatu ke rumah, terutama saat puasa dan jelang lebaran.
Baca Juga: Denny JA: Pengesahan RUU Perampasan Aset Harus Jadi Perhatian Presiden Prabowo Subianto
Salah satunya adalah Haji Tohir, tetangga saya, seorang alim yang hidupnya sederhana, tapi tangannya tak pernah berhenti memberi.