DECEMBER 9, 2022
Kolom

Catatan Denny JA: In Memoriam Firdaus Ali, Semoga Nyanyimu Lebih Merdu di Samping-Nya

image
(OrbitIndonesia/kiriman)

Seminggu lalu, saya kembali dikirimkan video, Daus sedang bernyanyi. Tapi saya lihat, suaranya sudah tak sekuat dulu. Matanya sudah lebih redup.

Kali ini kondisinya agak lain. Kepada keluarga inti, saya katakan. Agaknya Daus akan pergi sebelum Lebaran ini.

Rest in peace. Hari ini, 22 Maret 2025, di hari baik bulan puasa, Daus wafat, pada pukul 7.45 pagi. Ia meninggalkan seorang istri, tiga anak, dan empat cucu.

Baca Juga: Catatan Denny JA: Menurunnya Peran Ulama, Pendeta, dan Biksu di Era Artificial Intelligence

-000-

Tentang lagu dan menyanyi sebagai terapi, saya teringat kisah Nelson Mandela. Ia dipenjara 27 tahun. Tapi keluar penjara, psikologinya tetap sehat. Ia pun menjadi presiden.

Dalam otobiografinya, Long Walk to Freedom, Mandela menulis:

Baca Juga: Catatan Denny JA: Agama Sebagai Warisan Kultural Milik Kita Bersama

“Bahkan di penjara, semangat kami tak bisa dipatahkan. Kami menyanyi. Dan ketika kami menyanyi, kami merasa bebas.”

Efek lagu itu sangat nyata. Lagu membuatnya tetap terhubung dengan dunia luar, dengan cita-cita, dengan rakyatnya.

Lagu memperkuat komitmen ideologis, karena setiap kata membawa makna sejarah dan pengorbanan. Lagu menjaga jiwanya tetap utuh, ketika tubuhnya dihina dan dibatasi.

Baca Juga: Catatan Denny JA: Hak Asasi Manusia Sebagai Filter Tafsir Agama Era Artificial Intelligence

Ini sebuah adegan di Robben Island. Satu kisah menyentuh diceritakan oleh rekannya sesama tahanan, Ahmed Kathrada. Pada suatu malam yang sunyi, setelah mereka semua lelah dengan kerja paksa, Mandela memulai dengan suara pelan:

Halaman:

Berita Terkait