DECEMBER 9, 2022
Kolom

Catatan Denny JA: In Memoriam Firdaus Ali, Semoga Nyanyimu Lebih Merdu di Samping-Nya

image
(OrbitIndonesia/kiriman)

“Nkosi sikelel’ iAfrika…”

Tahanan lain, yang sudah hampir menyerah, ikut menyusul. Suara-suara pelan bergabung menjadi paduan suara perjuangan, menggema di balik dinding penjara.

Malam itu, mereka tidak punya apa-apa. Tidak punya kebebasan. Tidak punya kenyamanan. Tapi mereka punya lagu, dan dalam lagu itu mereka punya Afrika.

Baca Juga: Catatan Denny JA: Menurunnya Peran Ulama, Pendeta, dan Biksu di Era Artificial Intelligence

Dari kisah Mandela, kita belajar bahwa nyanyian bukan hanya hiburan. Ia adalah alat perlawanan paling purba dan paling lembut.

Ketika senjata disita. Ketika pidato dibungkam. Ketika pena diambil.
Suara yang menyanyi tetap tak bisa dikekang.

Nelson Mandela membuktikan:
Selama kita bisa bernyanyi, kita belum sepenuhnya ditaklukkan.

Baca Juga: Catatan Denny JA: Agama Sebagai Warisan Kultural Milik Kita Bersama

-000-

Kini, setelah kepergian Daus, saya percaya: nyanyiannya belum usai. Ia hanya berpindah tempat. Dari ruang tamu ke ruang langit. Dari kafe sederhana ke taman keabadian.

Mungkin kini ia menyanyi dengan suara yang tak lagi terbatasi tubuh rapuh, tak lagi tertahan sesak napas atau redup mata. Mungkin kini suaranya jauh lebih jernih, lebih merdu, di samping-Nya.

Baca Juga: Catatan Denny JA: Hak Asasi Manusia Sebagai Filter Tafsir Agama Era Artificial Intelligence

Bagi kami yang ditinggal, suara Daus akan terus hidup. Dalam gema lagu-lagu kenangan. Dalam tawa di ruang keluarga.

Halaman:

Berita Terkait