DECEMBER 9, 2022
Puisi

Puisi Esai Denny JA: Kereta Menuju Neraka

image
(OrbitIndonesia/kiriman)

Puisi esai seri Yang Menggigil di Arus Sejarah (11)

ORBITINDONESIA.COM - Tahun 1944, di Hungaria, selama tiga bulan, setiap hari kereta membawa total 440.000 Yahudi meluncur ke arah pembantaian. Aku harus hidup agar bisa bersaksi.

-000-

Di Sighet, pagi merekah dengan wangi roti hangat.
Ibu meniup uapnya, mengirim cinta ke angkasa.

Langit memancarkan sinar harapan yang membara.
Kota berdenyut lembut, 
dan bernyanyi.

Tapi bisikan mulai berembus.
Bayangan merayap di gang-gang sempit.
Malam tak lagi hening.
Langkah sepatu tentara asing mulai terdengar di luar jendela.

Sejarah ditulis ulang dengan ujung bayonet.
Tinta yang hitam telah lama berubah cairan darah.

Eropa terbakar dalam malam-malam yang lupa esok.
Perang menjadi bahasa yang semua harus mengerti.

Di radio, suara gemetar melaporkan:
“Polandia jatuh.
Prancis tunduk.
Dan kini giliran kita: Hungaria.”

Tapi kami bukan prajurit.
Kami bukan pembangkang.
Kami hanya rakyat biasa,
yang percaya dunia masih punya hati.

Namun suatu pagi, suara sepatu bot itu mengeras.
Menakutkan.
Berita itu akhirnya nyata;
Pasukan Hitler telah tiba.

-000-

Mereka datang,
dengan senyum yang dijahit rapi.
Tapi mata mereka kosong,
seperti kaca jendela yang tak memantulkan kehidupan.

“Kalian semua harus tinggal di rumah setelah senja.”
Itu yang pertama mereka minta.

Lalu mereka mengambil harta kami,
lalu sekolah kami,
lalu nama kami.

Seorang tentara meraih lenganku,
menjahitkan bintang kuning di dada.
“Agar dunia tahu siapa kalian.”

Ia meludahi wajahku,
sambil mengumpat:
“Yahudi, tengik!”

Dan pagar kawat  dipasang,
seperti akar berkarat,
menutup kawasan kami.

Jalanan yang dulu luas kini menyempit,
langit pun terasa lebih rendah,
seolah Tuhan menutup mata.

Lalu datang kereta itu.
Mulut besi yang menganga.
Mereka berkata, “Kalian akan dikirim ke tempat lebih baik.”

Kami harus percaya.
Kami ingin percaya.

-000-

Aku, ibu, dan delapan puluh lainnya,
dijejalkan dalam satu gerbong kereta.
Tapi banyak lagi gerbong lain,
ular besi melata, melaju tanpa hati.

Napas menyatu, keringat jadi selimut,
dan udara dihirup terlalu cepat.

Ada bayi yang menangis,
ada lelaki yang berdoa,
ada wanita yang memeluk tubuhnya sendiri,
seolah dingin bisa membunuh lebih cepat dari perjalanan ini.

Di sudut gerbong, seorang wanita menjerit,
matanya kosong, jarinya menunjuk ke langit:

“Aku melihat menara api,
di ujung rel yang tak berakhir.”

Kami menutup telinga.
Lebih mudah menganggapnya gila,
daripada percaya neraka menunggu di sana.

-000-

Auschwitz.
Udara berbau daging yang tak terlihat.
Asap menggelayut di langit,
dan burung-burung tak lagi kembali.

Pria ke kanan.
Wanita ke kiri.

Ibuku menggenggam tanganku,
tapi tangan lain merenggutnya dariku.

Seorang pria berjas putih berdiri di depanku,
seperti dewa tanpa hati.
Satu jentikan jari,
dan dunia berubah.

Kanan: hidup.
Kiri: mati.

Aku melihat truk berlalu,
penuh bayi-bayi menangis.
Aku tak sempat bertanya ke mana mereka pergi,
karena udara mulai berbau bara.

-000-

Aku menatap langit dan bertanya:
“Tuhan, apakah Engkau juga diangkut dengan kereta kami?”

Mereka menghapus namaku,
mengukir angka di lenganku.
Dan aku tahu, aku tak lagi manusia.

Setiap pagi, tubuh-tubuh berdiri tegak,
dihitung, dicacah,
seperti angka yang tak perlu diingat.

Di sampingku, seorang bocah dipaksa naik kursi,
tali melingkari lehernya.
Ia terlalu ringan untuk mati segera,
dan di bawahnya bumi tetap berputar.

Aku ingin berteriak,
tapi suara hanya menjadi abu,
melayang sebelum sempat menyentuh tanah.

-000-

Mereka memaksa kami berlari,
melewati badai yang tak mengenal kasihan.

Siapa yang jatuh, siapa yang lemah,
menjadi jejak yang ditinggalkan.

Di sampingku, seorang anak melihat ibunya terjatuh.
Ia berhenti sejenak,
menatapnya,
tapi terus berjalan,
tak menolong ibunya.

Aku bersumpah aku takkan meninggalkan ibuku.
Aku bersumpah,
demi semesta, aku bersumpah.

Tapi di musim dingin,
sumpah hanya menjadi napas,
yang menghilang sebelum sempat diucapkan.

-000-

Di Buchenwald, ibuku terbaring,
tubuhnya selembut abu yang jatuh pelan.
Ia berbisik, “Berikan aku air, Nak. Tak apa setetes.”

Aku ingin memberinya.
Tapi tangan penguasa mencengkeramku,
sambil berbisik,
“Jangan buang air untuk yang akan mati.”

Astaga,
aku takut.
Kuabaikan ibuku.

Malam itu,
Ibu sekali lagi memanggilku.
Pelan.
Parau.
Tapi aku tak bergerak.
Aku tak menjawab.
Aku tak berani.

Esok paginya, tempat tidurnya kosong.
Ibu—dengar, ibu wafat.

Aku mencari suaranya di udara,
tapi yang tersisa hanya bau musim yang berganti.

-000-

Hari berganti.
Gerbang kamp terbuka.
Perang selesai.
Jerman dikalahkan.
Amerika datang.

Dan kami yang tersisa,
yang masih hidup,
merangkak keluar,
seperti bayangan yang lupa caranya bebas.

Aku mencari cermin.
Aku ingin melihat diriku.
Yang kulihat mayat berdiri.
Dan di sana,
mayat itu menatap balik kepadaku.

Tanganku terangkat, menyentuh wajahku.
Aku masih ada.
Tapi siapa aku?

Jika aku diam,
siapa yang akan mengingat?
Jika aku lupa,
apakah dunia juga akan lupa?

Aku menulis ini, bukan untukku.
Aku menulis ini untuk dunia yang mudah sekali melupakan.

Aku menulis,
agar yang mati tidak sia-sia.
Agar mereka yang lenyap tak sekadar abu di udara.

Ibu, aku merasa dosa padamu.
Tapi saat itu jiwaku sudah mati.

Tapi aku ingin percaya,
bahwa dalam setiap kata yang kutulis,
kau tetap berbicara.***

Jakarta, Februari 2025.

(1) Puisi esai ini dramatisasi Holocaust yang terjadi di Hongaria, 1942-1945.

https://www.jewishgen.org/databases/holocaust/0172_Kasznter_Jews.html

Halaman:

Berita Terkait