Puisi Esai Denny JA: Hak Asasi di Atas Perang Saudara
- Penulis : Krista Riyanto
- Rabu, 19 Februari 2025 06:53 WIB

Puisi esai seri Yang Menggigil di Arus Sejarah (10)
ORBITINDONESIA.COM - Presiden Abraham Lincoln menghapuskan perbudakan untuk seluruh Amerika Serikat, melalui Proklamasi Emansipasi, pada 1 Januari 1863, dan mengambil segala risikonya. (1)
-000-
Gettysburg berkabut.
Langit menyimpan dosa yang belum diampuni.
Di balik jendela, cahaya lilin menari di atas meja kayu tua.
Abraham Lincoln membaca laporan yang datang.
Setiap kata adalah luka.
Setiap kalimat menjadi duka.
Seorang ibu menangis di lelang budak.
Bayinya menjerit,
dirampas, diambil paksa,
berpindah tangan, menjadi barang dagangan.
Seorang pria mencium tanah yang tak pernah jadi miliknya,
tangannya berdarah oleh kapas yang tak pernah ia pakai.
Pundaknya bernanah bekas cambuk.
Seorang gadis berkulit arang, tubuhnya dijarah tanpa hak,
ia menangis, tetapi dunia hanya mendengar angin.
Ia melawan.
Malam hari, badannya sudah tergantung.
Aku melihat Lincoln menutup mata.
Dua tangannya gemetar.
Di wajahnya, garis-garis waktu mengukir ragu.
“Di mana Tuhan?”
“Jika aku menandatangani proklamasi, Amerika terbakar.”
“Jika aku diam, manusia tetap hewan ternak.”
Tiba-tiba, pintu terbuka.
Seorang ajudan menyerahkan sepucuk surat.
Tulisan kecil, tangan gemetar.
“Bapak Lincoln, saya hanya penulis kecil.”
“Tetapi Tuhan besar.”
“Jika Engkau bebaskan kami,”
“kami akan berdoa untukmu.”
Aku melihatnya membaca ulang.
Tangannya mencengkeram pena.
Saat tinta menyentuh kertas,
nyala api berkobar di surat.
Di plafon ruangan Lincoln,
kulihat peta Amerika terbelah.
-000-
Langit Amerika Serikat,
bagian Selatan terbakar,
berkobar menyambar.
Bagian Utara penuh bara,
terbang menyalakan pabrik-pabrik.
Pemilik ladang menghunus bayonet.
Pekerja pabrik melawan,
walau harus menumpahkan darah saudara sendiri.
Aku berjalan di Gettysburg.
Udara berbau mesiu, darah, dan doa yang tertahan.
Aku melihat seorang pemuda Selatan,
pedangnya terangkat, hendak menusuk musuhnya.
Lalu ia berhenti.
Matanya membelalak.
Ia mengenali wajah itu.
Itu saudaranya sendiri.
Aku ingin berteriak, menghentikan semuanya.
Tapi perang tak mengenal air mata.
Hati bertanya.
Pedang menjawab.
Darah bercampur di tanah yang sama.
Di kejauhan, Lincoln membaca laporan:
Lima ribu mati di Antietam.
Sepuluh ribu gugur di Chickamauga.
Dua puluh ribu terkubur di Gettysburg.
Aku berdiri di belakangnya, melihat ia menatap cermin.
Wajahnya lebih tua dari usianya.
Matanya dulu berisi cahaya,
kini hanya bayangan gelap.
“Apakah ini harga keadilan?”
“Apakah kebebasan selalu dibayar dengan darah?”
Ia menarik napas panjang.
Lalu berbisik, kepada diri sendiri.
“Aku menulis kebebasan, tapi tinta ini berbau mesiu.”
Aku melihat cermin itu retak.
Dalam pecahannya, nyawa-nyawa lenyap.
“Jika aku diam, sejarah memakanku.”
“Tapi jika aku bertindak, neraka terbuka.”
-000-
Perang berakhir.
Perbudakan tumbang.
Kebebasan menang,
tapi luka tetap menganga.
Aku mengikuti Lincoln ke Ford’s Theatre.
Malam itu, gelak tawa mengapung di udara.
Di panggung, aktor bercanda,
dan Lincoln tersenyum, tanpa tahu ajal mengintai.
Di belakangnya, seseorang mengangkat pistol.
Aku ingin berteriak.
Aku ingin mencegahnya.
Tapi, suara itu mengubah sejarah:
“Door! Door! Door!”
Takdir berjalan lebih cepat dari kata-kata.
Ledakan memenuhi ruangan.
Aku melihatnya terkulai,
nyawanya hilang secepat lilin ditiup angin.
-000-
Aku berdiri di Gettysburg yang kini penuh bunga.
Angin berembus pelan,
membawa bisikan dari masa lalu:
“Hak asasi selalu ditulis dengan tinta perlawanan.
Tapi pena yang mengukirnya,
sering kali basah.
Basah oleh darah mereka
yang tak takut kehilangan hidup,
demi kehidupan.”
Aku memejamkan mata.
Aku masih bisa mendengar suara pistol di teater itu.
Di bawah langit Gettysburg,
tinta dan darah bercampur di tanah yang sama.
Tapi waktu tetap melangkah, meninggalkan jejak,
kisah pahlawan di buku sejarah.***
Jakarta, Februari 2025
(1) Puisi esai ini dramatisasi suasana batin dan politik ketika Lincoln mengambil keputusan menghapus perbudakan di seluruh Amerika Serikat.