Teori Denny JA tentang Agama Menjembatani Era Klasik dan Revolusi Artificial Intelligence
- Penulis : Dody Bayu Prasetyo
- Minggu, 16 Februari 2025 07:46 WIB

Pertanyaan-pertanyaan ini menjadi bagian dari evolusi agama di era digital. Teknologi, dalam bentuk apa pun, selalu membawa perubahan.
Namun, nilai dan makna tetap bergantung pada bagaimana manusia menggunakannya.
-000-
Baca Juga: Denny JA dan Puisi Esai: Mendobrak Batas Antara Sastra, Sejarah, dan Advokasi Sosial
Kesimpulan: Agama dan AI, Sebuah Lanskap yang Terus Berkembang
Tylor, Marx, Durkheim, dan Weber telah membangun fondasi dalam sosiologi agama, menjelaskan bagaimana agama berkembang dalam berbagai konteks sosial dan ekonomi.
Kini, Denny JA melengkapi pemahaman itu dengan menghadirkan perspektif tentang bagaimana agama berkembang di era AI. Bukan sebagai pengganti teori klasik, tetapi sebagai pelengkap yang relevan dengan zaman ini.
Baca Juga: Puisi Esai Denny JA: Surat yang Tertunda Ketika Bom di Hiroshima
Perjalanan agama tidak berakhir dengan era digital, tetapi justru menemukan jalur baru. AI membuka ruang eksplorasi, tetapi pemaknaan tetap ada pada manusia yang menggunakannya.
Secara faktual, kehadiran AI mengubah posisi otoritas tokoh agama dalam kehidupan masyarakat, meskipun dalam aspek tertentu, peran tokoh agama masih diperhitungkan.
AI memungkinkan setiap orang untuk mempelajari agama dengan pendekatan yang lebih personal, tanpa paksaan dari komunitas atau pemuka agama.
Pertanyaan-pertanyaan tabu dalam agama kini bisa dijawab dengan lebih objektif, tanpa filter dogmatis. Namun di sisi lain, ritual dan pengalaman beragama yang lebih personal dalam menjalankan agama tetap tak tergantikan oleh AI.