Teori Denny JA tentang Agama Menjembatani Era Klasik dan Revolusi Artificial Intelligence
- Penulis : Dody Bayu Prasetyo
- Minggu, 16 Februari 2025 07:46 WIB

Salah satu prinsip dalam hal ini adalah pergeseran otoritas keagamaan karena kemajuan dunia digital, terutama dengan lahirnya kecerdasan buatan AI.
Pergeseran Otoritas dan Akses terhadap Pengetahuan
Dalam masyarakat tradisional, informasi keagamaan diperoleh melalui guru, pemuka agama, atau lembaga keagamaan.
Baca Juga: Denny JA dan Puisi Esai: Mendobrak Batas Antara Sastra, Sejarah, dan Advokasi Sosial
Struktur ini memastikan bahwa pemahaman agama mengalir dalam sistem sosial yang telah berlangsung selama berabad-abad.
Namun, dengan munculnya AI, akses terhadap informasi menjadi lebih luas dan instan. Melalui mesin pencari dan asisten berbasis AI, seseorang dapat menemukan tafsir agama dari berbagai perspektif hanya dalam hitungan detik, kapan saja, selama 24 jam sehari.
Dulu, seseorang harus pergi ke perpustakaan untuk membaca kitab-kitab klasik atau menghadiri majelis untuk mendengar ceramah.
Baca Juga: Puisi Esai Denny JA: Surat yang Tertunda Ketika Bom di Hiroshima
Kini, AI dapat mengumpulkan ribuan sumber, menerjemahkan teks ke dalam berbagai bahasa, menganalisis perbedaan tafsir, bahkan memberikan ringkasan ajaran dari berbagai tradisi agama di dunia.
Jelas bahwa AI mengubah pola interaksi manusia dengan agama, meski tidak serta-merta menggantikan peran tradisional pemuka agama.
Mereka tetap memiliki tempat dalam membimbing komunitas, tetapi kini bukan lagi satu-satunya sumber rujukan.
Dalam sebuah survei yang dilakukan oleh seorang Dosen UIN Bandung tahun 2020, misalnya, 58 persen generasi milenial lebih memilih belajar agama melalui instagram dan youtube dari pada melalui organisasi keagamaan atau ustadz.