Oleh KH. DR. Amidhan Shaberah*
ORBITINDONESIA.COM - Penuh kontroversi. Itulah yang bisa kita catat dari perjalanan politik Ir. Joko Widodo, Presiden Republik Indonesia (2014-2024).
Jujur kita merasakan, Jokowi telah berbuat banyak selama menjadi orang nomor satu di Indonesia. Pembangunan jalan tol, bandar udara, pelabuhan laut, bendungan, dan irigasi hampir merata di seluruh Indonesia. Puncaknya, pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN) di Pulau Kalimantan. Sangat fenomenal.
Baca Juga: Dr KH Amidhan Shaberah: Polisi Memburu "Escobar Indonesia"
Fenomena ini belum pernah terjadi sebelumnya. Bahkan di era kepemimpinan Soeharto selama 32 tahun sekali pun.
Jokowi, memang sosok presiden pekerja keras. Para menteri, atau siapa pun, yang pernah ikut dalam perjalanan Jokowi ke berbagai wilayah di Indonesia mengakuinya. Kerja dan stamina Jokowi luar biasa. Tiada tara.
Orang Jawa bilang Jokowi tak punya wudel. Maksudnya, Jokowi bekerja tak kenal lelah. Motto kepemimpinan Jokowi adalah bekerja. Bekerja. Dan bekerja.
Baca Juga: Dr KH Amidhan Shaberah: Mahkamah Internasional dan Genosida Palestina
Maka, orang tidak kaget ketika di ujung masa pemerintahannya popularitas dan kepuasan rakyat terhadap Jokowi -- berdasarkan berbagai lembaga survei nasional -- mencapai 75-80 persen. Belum pernah ada sebelumnya di seluruh dunia, popularitas dan kepuasan rakyat terhadap "pemimpin negara demokrasi modern" di akhir jabatannya sebesar itu.
Ini artinya Jokowi adalah presiden yang luar biasa fenomenal. Baru pertama kali di Indonesia. Bahkan di dunia.
Di tengah euforia kepuasan rakyat terhadap kinerja mantan Presiden RI yang luar biasa itu, tetiba muncul "ledakan berita" yang amat mengagetkan. Ya. Hanya 40 hari setelah Jokowi lengser, sebuah lembaga survei internasional yang bermarkas di Negeri Belanda -- OCCRP (Organized Crime and Corruption Reporting Project) -- mengumumkan hasil risetnya: Jokowi adalah presiden terkorup di dunia. Ha?
Baca Juga: KH Amidhan: Wilders, Aboutaleb, dan Seedorf: Islam di Belanda
Kaget! Pastinya sebagian rakyat Indonesia yang pro Jokowi dan mengaguminya sangat kaget. Mereka meradang. Mereka marah. Mereka protes. Mereka menuduh OCCRP menghina Jokowi. Surveinya tidak benar. Investigasinya terhadap Jokowi salah. OCCRP ngawur! Provokatif.
Mereka menuntut OCCRP minta maaf kepada Jokowi dan rakyat Indonesia. Jika tidak, OCCRP akan dituntut secara hukum. OCCRP sengaja melakukan penghinaan terhadap Jokowi, mantan Presiden Indonesia dua periode itu.
Seperti biasa, publik ada yang pro dan kontra. Yang kontra berpendapat rilis OCCRP benar adanya. Apa yang disimpulkan OCCRP (Jokowi sebagai pemimpin terkorup nomor dua terbesar di muka bumi setelah Presiden Suriah Al-Bashar al-Assad yang melarikan diri ke Rusia) adalah fakta yang tak terbantahkan. Mereka yang anti Jokowi sepakat dengan penilaian OCCRP.
Baca Juga: Syaefudin Simon: Amidhan dan Islamic Center Jonggol
Rangking pemimpin terkorup di dunia hasil investigasi para jurnalis investigatif internasional tersebut adalah, (1) Presiden Suria Bashar Al-Assad; (2) Presiden Indonesia Joko Widodo; (3) Presiden Nigeria Bola Ahmed Tinubu; (4) mantan Perdana Menteri Bangladesh Sheikh Hasina; dan (5) Pengusaha India Gautam Adani.
Kaum oposan yang dislike Jokowi menyatakan, sang presiden adalah koruptor yang tiada tara sejak Indonesia merdeka. Jokowi tidak hanya mengorupsi materi. Tapi juga mengorupsi konstitusi. Dan membangun politik dinasti. Lengkap.
Mahkamah Konstitusi (MK) di bawah pimpinan Anwar Usman -- yang nota bene adik ipar Jokowi -- melalui putusan No. 90/PUU-XXI/2023, merekayasa lembaga hukum tertinggi itu menjadi alat politik.
Baca Juga: Amidhan Shaberah: Puan Maharani dan Demokrasi
Batas umur minimal 40 tahun bagi calon presiden dan wakil presiden yang tertuang dalam UU Pemilu, oleh MK, ditambah dengan pengecualian apabila yang mencalonkan diri pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum, termasuk pemilihan kepala daerah. Hasilnya, Gibran Rakabuming Raka, walikota Solo saat itu, lolos menjadi calon wapres. Publik pun gaduh. Politik memanas. Unjuk rasa terjadi di mana-mana.
Lanjut, Anwar Usman diberhentikan dari jabatan Ketua MK oleh Majlis Kehormatan MK. Ia dianggap melanggar kode etik. Peristiwa ini jelas menggambarkan bahwa MK telah menjadi alat politik.
Siapa yang mengorupsi MK? Bagi publik yang oposan rejim berkuasa -- selain Presiden yang surplus kekuasaan, tidak mungkin ada pejabat atau politisi sehebat apa pun yang mampu "membobol" MK. Jadi, menurut oposan, di belakang kasus MK itu ada tangan presiden.
Baca Juga: Amidhan Shaberah: Judi Online, Racun yang "Merusak" Masyarakat
Masih ada lagi. Jokowi juga dituduh melemahkan KPK (Komisi Pembersntasan Korupsi) oleh masyarakat sipil. KPK yang merupakan "anak kandung reformasi" posisinya dilemahkan oleh Jokowi. Kedaulatannya dipreteli Istana.
Tentu saja, yang mengamini kesimpulan OCCRP di atas adalah bagian publik yang oposan terhadap Jokowi. Bagi publik yang pro-Jokowi, kesimpulan OCCRP dianggap salah. Karena Jokowi, kata mereka, bukan koruptor.
Lalu, benarkah Jokowi koruptor terbesar di dunia? Tunggulah. Sejarah akan mencatatnya. Jika sejarah telah bekerja dengan baik dan sempurna, niscaya kontroversi tentang Jokowi lenyap dengan sendirinya.
Baca Juga: Amidhan Shaberah: Tangkap Netanyahu Si Penjahat Perang
Semoga bangsa Indonesia selamat dari terpaan isu yang absurd, hoaks yang nyata, dan citra yang pudar. Percayalah , Indonesia adalah negara besar. Setiap kasus besar niscaya ada solusinya. Termasuk solusi kasus Jokowi.
*KH. DR. Amidhan Shaberah, Komisioner Komnas HAM (2002-2007), LEMKAJI MPR-RI (2019-2024). ***