DECEMBER 9, 2022
Kolom

Jokowi dan Kontroversi 

image
KH DR. Amidhan Shaberah, Ketua MUI 1995-2015 dan Komnas HAM 2002-2007 (Foto: Orbit 2024)

Mereka menuntut OCCRP minta maaf kepada Jokowi dan rakyat Indonesia. Jika tidak, OCCRP akan dituntut secara hukum. OCCRP sengaja melakukan  penghinaan terhadap Jokowi, mantan Presiden Indonesia dua periode itu. 

Seperti biasa, publik ada yang pro dan kontra. Yang kontra berpendapat rilis OCCRP benar adanya. Apa yang disimpulkan OCCRP (Jokowi sebagai pemimpin terkorup nomor dua terbesar di muka bumi setelah Presiden Suriah Al-Bashar al-Assad yang melarikan diri ke Rusia) adalah fakta yang tak terbantahkan. Mereka yang anti Jokowi sepakat dengan penilaian OCCRP. 

Rangking pemimpin terkorup di dunia hasil investigasi para jurnalis investigatif internasional tersebut adalah,  (1) Presiden Suria Bashar Al-Assad; (2) Presiden Indonesia Joko Widodo; (3) Presiden Nigeria Bola Ahmed Tinubu; (4)  mantan Perdana Menteri Bangladesh Sheikh Hasina; dan (5) Pengusaha India Gautam Adani.

Baca Juga: Dr KH Amidhan Shaberah: Polisi Memburu "Escobar Indonesia"

Kaum oposan yang dislike Jokowi menyatakan, sang presiden adalah koruptor yang tiada tara sejak Indonesia merdeka. Jokowi tidak hanya mengorupsi materi. Tapi juga mengorupsi konstitusi. Dan membangun politik dinasti. Lengkap. 

Mahkamah Konstitusi (MK) di bawah pimpinan Anwar Usman -- yang nota bene adik ipar Jokowi -- melalui putusan  No. 90/PUU-XXI/2023, merekayasa lembaga hukum tertinggi itu menjadi alat politik.

Batas umur minimal 40 tahun bagi calon presiden dan wakil presiden yang tertuang dalam UU Pemilu, oleh MK, ditambah dengan pengecualian apabila yang mencalonkan diri pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum, termasuk pemilihan kepala daerah. Hasilnya, Gibran Rakabuming Raka, walikota Solo saat itu, lolos menjadi calon wapres. Publik pun gaduh. Politik memanas. Unjuk rasa terjadi di mana-mana. 

Baca Juga: Dr KH Amidhan Shaberah: Mahkamah Internasional dan Genosida Palestina

Lanjut, Anwar Usman  diberhentikan dari jabatan Ketua MK oleh Majlis Kehormatan MK. Ia  dianggap melanggar kode etik. Peristiwa ini jelas menggambarkan bahwa MK telah menjadi alat politik. 

Siapa yang mengorupsi MK? Bagi publik yang oposan rejim berkuasa -- selain Presiden yang surplus kekuasaan, tidak mungkin ada pejabat atau politisi sehebat apa pun yang mampu "membobol" MK. Jadi, menurut oposan, di belakang kasus MK itu ada tangan presiden.

Masih ada lagi. Jokowi juga dituduh melemahkan KPK (Komisi Pembersntasan Korupsi) oleh masyarakat sipil. KPK   yang merupakan "anak kandung reformasi"  posisinya dilemahkan oleh Jokowi. Kedaulatannya dipreteli Istana. 

Baca Juga: KH Amidhan: Wilders, Aboutaleb, dan Seedorf: Islam di Belanda

Tentu saja, yang mengamini kesimpulan OCCRP di atas adalah bagian publik yang oposan terhadap Jokowi. Bagi publik yang pro-Jokowi, kesimpulan OCCRP dianggap salah. Karena Jokowi, kata mereka, bukan koruptor. 

Halaman:

Berita Terkait