DECEMBER 9, 2022
Kolom

Antara Pelukis, Kurator dan Komnas HAM

image
Galeri Nasional tempat pameran lukisan (Foto: ANTARA)

Oleh Supriyano Martosuwito*

ORBITINDONESIA.COM - Darah saya naik ke kepala, memanas - terasa mendidih - membaca postingan di Katadata dot kom yang memberitakan, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menyurati Menteri Kebudayaan Fadli Zon dan pihak Galeri Nasional soal pembatalan pameran lukisan Yos Suprapto.

Pameran lukisan karya Yos Suprapto yang sedianya digelar pada 19 Desember 2024 hingga 19 Januari 2025, mendadak batal setelah ada kisruh di antara kurator dan seniman pelukisnya. Ada lima (5) lukisan yang diturunkan dari 30 karya, sehingga pelukisnya protes dan kuratornya bersikukuh - lalu mengundurkan diri. Dan rencana pameran pun dibatalkan.

Baca Juga: Ketika Artificial Intelligence Membantu Pelukis

Ketua Tim Museum dan Galeri Indonesian Heritage Agency (IHA) Zamrud Setya Negara menyatakan, kasus ini terjadi karena tidak adanya titik temu yang bisa ditempuh antara sang kurator Suwarno Wisetrotomo dan pelukis yang berkarya, Yos Suprapto.

Suwarno selaku kurator menyatakan, terdapat dua karya yang ia anggap menggambarkan opini pribadi sang seniman - yang dinilai tidak sesuai dengan tema pameran, yaitu : “Kebangkitan: Tanah untuk Kedaulatan Pangan”.

"Saya sampaikan kepada seniman bahwa karya tersebut tidak sejalan dengan tema kuratorial, dan berpotensi merusak fokus terhadap pesan yang sangat kuat dan bagus dari tema pameran," kata Suwarno, sebagaimana diberitakan CNNIndonesia.

Baca Juga: Denny JA Melukis Ulang 20 Pelukis Dunia

Dalam pameran ditampilkan lukisan menampilkan sosok sosok mirip Presiden Jokowi dengan kesan merendahkan dengan judul “Konoha 1” dan “Konoha 2”.

"Menurut pendapat saya, dua karya tersebut 'terdengar' seperti makian semata, terlalu vulgar, sehingga kehilangan metafora yang merupakan salah satu kekuatan utama seni dalam menyampaikan perspektifnya."

Seniman Yos Sudarso yang menolak menurunkan karyanya mutung. Ngambek. Setelah ke 5 lukisan diturunkan, dia memilih membatalkan pameran secara keseluruhan. “Saya tidak mau lagi berurusan dengan Galeri Nasional dan Kementerian Kebudayaan,” kata Yos.

Baca Juga: Yusuf Liu Baojun, Pelukis Kaligrafi China Muslim akan Meriahkan Pameran IMLF Kedua di Padang, Sumatra Barat

Hak setiap seniman untuk tidak berurusan dengan Galeri Nasional dan hak kuator untuk menurunkannya. Dan hak galeri pula untuk tidak memamerkannya.

TAPI bagaimana Komnas HAM ikut terlibat dadalam urusan ini? Kenapa ikut nyamber, kayak bensin?

Apa kaitannya lukisan yang batal dipamerkan dengan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia? Memang tak ada urusan yang lebih penting? Kurang kerjaan? Dasar pengangguran terselubung - kumpulan bakul nasi dan pemakan gaji buta.

Baca Juga: Asisten Pelukis Bernama Atificial Intelligence akan Melampaui Van Gogh?

Tahu apa Komnas HAM mengenai urusan pelukis dan kurator? Kok bisa makhluk asal mangap itu dapat jabatan di Komnas HAM dan kerja di sana? Tak tahu malu makan gaji dari duit rakyat dengan mengirim pernyataan asal mangap ?

Galeri Seni yang berwibawa - apalagi Galeri Nasional - wajib mempekerjakan kurator. Demi menjaga mutu dan wibawa galeri. Galeri dan kurator wajib menyeleksi karya karya yang hendak ditampilkan.

Tahukah kalian apa itu kurator?

Baca Juga: BTB Menggandeng Pelukis Kenamaan China, Cai Yushui untuk ikut Promosikan Pariwisata Bali

Kurator adalah tenaga profesional berpengalaman dan berpengetahuan yang ditugasi meneliti, menyeleksi karya seni, sejarahnya, mutunya, riwayat senimannya dan memastikan yang dipamerkan memenuhi syarat pameran. Utamanya : sesuai dengan tema pameran.

Kurator lah yang bertanggung jawab jika galeri memamerkan lukisan palsu, karya seni bajakan, karya curian dan sebagainya. Kurator juga yang bertanggung jawab jika karya ditampilkan melenceng dari tema pameran.

Pada galeri milik negara, kurator memastikan - dan menjadi jaminan - bahwa karya karya yang ditampilkan memiliki kualitas dari seniman mumpuni, bukan karya asal-asalan. Bisa dipertanggungjawabkan kepada publik.

Baca Juga: Menyimak Penggambaran Ziarah Batin di Pameran Seni Speaking the Unspeakable di Galeri Neo, Jakarta Pusat

Pada galeri seni milik swasta, kurator memastikan karya yang dia seleksi benar benar karya bernilai dan bisa dijual dengan harga tinggi. Karena kurator mengenal seniman dan riwayat karyanya. Memahami sejarah seni dan profil para senimannya.

Makin berwibawa seorang kurator yang dihadirkan - makin berbobot nilai seni dan galerinya. Begitu juga sebaliknya; makin besar galeri makin kondang kuratornya.

Ibarat pertunjukan olahraga, kurator adalah wasitnya. Ibarat kontes, kurator jadi jurinya. Ibarat upacara kurator adalah MC-nya. Ibarat sidang di pengadilan, kurator adalah hakimnya. Begitu pertandingan dimulai dan kontes jalan, kewenangan wasit, juri, MC, hakim dan kurator lah menentukan siapa dan apa yang layak tampil dan tidak layak ditampilkan.

Baca Juga: Galeri Nasional Indonesia Pamerkan Karya Seni Rupa Lini Natalini Widhiasi Mulai 4 September 2024

Sebagaimana aturan festival “keputusan juri tak bisa diganggu gugat” demikianlah keputusan kurator. Jadi pantas saja, kurator mengundurkan diri, jika profesionalitasnya tidak dihargai.

SUWARNO WISETROTOMO adalah kurator di Galeri Nasional Indonesia (GNI) Jakarta yang berlatar belakang seniman grafis, perupa, esais, dan dosen Seni Murni Fakultas Seni Rupa di Institut Seni Indonesia (ISI). Dia menyelesaikan pendidikan seni di Sekolah Seni Rupa Indonesia (SMSR, lulus 1982), melanjutkan sekolah di ISI Yogyakarta dan Universitas Gadjah Mada (UGM) sampai program doktor (S3).

Sejak 2018, Suwarno menjadi kurator, pameran keliling di Aceh yang menghadirkan 6 koleksi GNI dan 30 karya perupa Aceh, kurator pameran seni rupa koleksi nasional 2019. Dia pernah jadi kurator untuk pameran seni rupa kontemporer terbesar di Indonesia pada 2022.

Baca Juga: Alif Golif, Pelukis Cikarang Raup "Cuan" dari Karya Seni Lukis Dengan Metode Unik, Dibakar Pakai Korek Api Gas

Dia juga dikenal sebagai kritikus seni, produktif menulis esai seni, dan menulis sejumlah buku kritik seni, menulis tentang ‘Nusa Amuk: Entang Wiharso’ (2001) dan Hendra Gunawan, Sang Ekspresionisme Iswanto (2011), Pelukis Rakyat (2013), Kuratorial: Hulu Hilir Ekosistem Seni (2020), Penampang Karya Seni Rupa: Koleksi Galeri Nasional Indonesia (2019), dan lain lain.

Dia pernah menjabat sebagai Wakil Ketua Dewan Kebudayaan Yogyakarta dan anggota Dewan Kurator Galeri Nasional Indonesia (GNI).

Artinya : Suwarno Wisetrotomo kurator yang mumpuni. Bukan kurator kaleng kaleng.

Baca Juga: Kreator Era AI dan SATUPENA Akan Diskusikan Lukis Literasi Berbantuan AI dengan Narasumber Pelukis Fraktal A. Mufti

Lazim dan jamak juga sebenarnya kurator dan seniman ribut. Bersitegang. Tapi seharusnya seniman menghormati kurator. Sebagaimana pemain menghargai wasit, dan peserta sidang menghormati hakim.

Bukan rahasia lagi, seniman - dengan egonya yang selangit - menuding kurator tidak bisa menafsir seni, wartawan tidak mengerti seni, masyarakat tidak tahu seni. Hanya dia sendiri yang paling paham ekspresi kesenian.

Akan tetapi membawa urusan pameran lukisan ke isu HAM?  Macam apa ini? Bagaimana lembaga sekelas Komnas HAM menerabas logika? Dengan menghubungkan karya seni dan Hak Aaasi Manusia, tanpa menyelidik masalahnya.

Baca Juga: Pertunjukan Wayang Kulit Selama 15 Hari 15 Malam di Taman Mini Pecahkan Rekor Museum Rekor Indonesia

Tanpa rasa malu, Komnas HAM meminta Menteri Kebudayaan Fadli Zon dan Galeri Nasional menjelaskan alasan permintaan menurunkan lima dari 30 lukisan Yos Suprapto dan memberikan tenggat waktu 14 hari kerja usai surat diberikan.

Sudah seharusnya Galeri Nasional menjaga martabatnya, wibawanya - integritasnya. Mutu karya yang ditampilkan. Harus . Sedangkan seniman wajar juga mengutamakan ego, menganggap karyanya klas dunia, tak bisa diotak atik. Antikritik. Dalam hal ini, anti seleksi.

Jika begitu masalahnya, silakan sang seniman pameran di galeri komersil. Bikin tema pameran sendiri, urus izinnya sendiri, pilih sebanyak lukisan yang diinginkan, kasi judul sesuka hati - undang tokoh yang dia kenal, undang wartawan, gelar pameran. Yang penting bayar sewa gedungnya dan ongkos selama pamerannya.

Baca Juga: 6 Lukisan AI Denny JA: Kembali ke Lingkungan Hidup

Jangan gunakan duit negara untuk memenuhi ego seniman yang tak paham tema pameran dan merasa dia paling penting di kolong langit ini, yang paling berhak berekspresi. Sehingga mengkelap ketika karyanya diturunkan dari galeri.

Galeri Nasional itu milik negara dan dibiayai negara, tak bisa suka suka gelar pameran dan memuaskan ego seniman.

Kawan saya - jurnalis senior bidang kebudayaan, yang sengaja tak saya sebut namanya - menyatakan, sebenarnya pelukis yang karyanya “dibredel” itu sudah berhasil pameran. Karena lukisan yang bermasalah itu, sudah menyebar di media massa. Sudah diketahui publik.

Baca Juga: 6 Lukisan Artificial Intelligence Denny JA: Harapan kepada Pemimpin Setelah Pilkada

Boleh jadi - kalau GalNas memamerkan kemarin malah tak ada kehebohan seperti sekarang. “Yang saya dengar, pelukisnya punya saudara wartawan di media besar, dan bisa bikin jumpa pers. Jadi sukseslah bikin sensasinya, ” katanya. Bahkan di media, dia ke LBH juga. Manggung.

Artinya pembatalan pameran itu kemudian sengaja digoreng goreng, nendang nendang kian kemari, jadi sensasi dan sukses. Sukses bukan dari mutu karyanya, melainkan lantaran sensasinya.

Buat Komnas HAM, banyak belajar pada urusan, yang kalian belum paham, jangan dikit dikit ngomong homati HAM, sekadar numpang manggung - nyuri adegan, - seenak udel menyebut “karya seni adalah bentuk ekspresi yang harus dilindungi negara”

Baca Juga: Puisi Ahmad Gusairi: Lukisan di Kanvas Waktu

Preet! 

*Supriyano Martosuwito adalah kolumnis. ***

Halaman:

Berita Terkait