DECEMBER 9, 2022
Puisi

Puisi Esai Denny JA: Ambillah Ginjal Ibu, Anakku

image
Ilustrasi (Istimewa)

ORBITINDONESIA.COM - Di tahun 2024, seorang ibu di Jawa Barat memilih kehilangan sebagian tubuhnya,

agar putrinya bisa sehat kembali.
Sang putri, dengan penuh syukur, menulis,
‘Ibu melahirkanku sekali lagi,
bukan dengan rahimnya,
tapi dengan ginjalnya 1

-000-

Baca Juga: Puisi Esai Denny JA: Bom itu Meledak di Satu Sahur, di Bulan Puasa, di Gaza

Tubuh Mila sejak kecil rapuh.
Ginjalnya seperti embun pagi,
menghilang sebelum matahari tinggi.

Setiap minggu, Mila terbaring cuci darah,
menatap langit-langit rumah sakit
bertanya, sampai kapan?

Mila bunga yang tak sempat mekar.
Kartini memandangnya dalam diam.
“Putriku, waktu mencuri masa kecilmu,
seperti malam mencuri cahaya pagi.”

Baca Juga: Puisi Denny JA: Kulihat Raksasa Itu Tumbang

Hari itu, dokter memanggil Kartini.
“Ginjal Mila sudah tidak berfungsi.
Jika tak ada donor, ia akan pergi.”

Kartini terdiam.
Kata-kata itu menjadi  petir
membelah pohon jantungnya.

Ia berteriak ke langit.
“Tuhan, selamatkan anakku.”

Baca Juga: Puisi Denny JA: Dilema di Tanah Asing

Malam itu,
Kartini tak tidur.
Lantainya menjadi  pasir dingin,
mengubur tubuhnya perlahan.

Nyamuk berkerumun. 
Doanya terhenti di celah langit-langit.
“Jika aku menyerahkan ginjalku,
dan aku runtuh,
siapa yang akan merawat anak- anakku.

Kartini dinding terakhir,
menopang rumah yang hampir runtuh.
Suaminya telah lama hilang,
bintang jatuh yang tak pernah kembali.

Baca Juga: Puisi Denny JA: Kuburan Mereka Berserakan di Berbagai Negara

Ia bekerja tanpa jeda,
mencuci baju, memeras tenaga,
mengumpulkan uang,
seperti mencari air di gurun,
sedikit demi sedikit untuk memberi makan anaknya.

Tapi ia sadar,
jika ia tak menyerahkan dirinya,
Mila akan mati,
tenggelam
di samudera takdir yang kejam.

Pagi itu, Kartini berdiri di depan dokter,
Ia berlagak kokoh,
menjadi gunung yang tak tergoyahkan meski diterpa angin.

Baca Juga: Puisi Denny JA: Aktivis Ideologi Itu Memilih Menjadi Dokter

“Ambillah ginjal saya.”
Dokter mengangguk perlahan,
penuh kekhawatiran.
“Risikonya besar, Bu.
Ibu yakin?”

Kartini tersenyum kecut,
penuh ragu,
tapi  bayangan wajah Mila yang menangis, menguatkan.

“Anak saya terlalu lama di jalan gelap.
Waktunya, Ia  melihat cahaya.”

Baca Juga: Puisi Denny JA: Kubawa Cincin Janjiku

Hari itu adalah pertaruhan hidup.
Mila memegang tangan ibunya erat.
Ia akar yang takut kehilangan tanahnya.

“Mi, jangan lakukan ini.
Aku tak ingin kehilanganmu.”
Kartini membalas dengan senyuman yang menenangkan.

“Nak, tubuh ibu hanyalah sebuah jembatan.
Ia tidak pernah takut runtuh,
asalkan kau bisa melewatinya dengan selamat.”

Baca Juga: Puisi Denny JA: Nasionalisme di Era Algoritma

Ketika mereka masuk ke ruang operasi,
doa-doa disemai menjadi aliran sungai,
mengalir di hati semua orang.

Waktu berhenti,
Daun tertahan di udara,
menunggu angin menjatuhkannya.

Jam dinding berdetak,
menjadi palu takdir yang menghitung masa depan.
selamat atau mati.

Baca Juga: Puisi Esai Denny JA: Kabarkan Kisah Bunga yang Dipanah

Ketika Mila bangun,
ia merasa sesuatu yang berbeda.
Tubuhnya lebih ringan,
napasnya lebih lapang.
Ia menangis.
“Ibu, aku bisa hidup lagi.”

Kartini tersenyum dari ranjang sebelah.
Wajahnya pucat, tubuhnya lemah,
tapi di matanya ada cahaya.

“Ibu  melahirkanku kedua kali.
Sekali dari rahimmu
dan sekali lagi dari ginjalmu.”

Baca Juga: Puisi Denny JA: Mereka Tak Terima Keyakinan yang Diberi Orangtuaku

Kini, Mila berjalan di taman,
menatap langit biru tanpa rasa takut.
Kartini duduk di bangku,
menyaksikan anaknya dengan takjub, walau ginjalnya tinggal separuh.

Kasih ibu  lautan tanpa tepi.
Ia terus mengalirkan gelombang ke pantai,
bahkan ketika pasir mencoba menjauh.

Dan Mila adalah kapal kecil,
yang ia jaga agar tak pernah karam,
meski badai terus datang.

Baca Juga: Puisi Esai Denny JA: Ketika Anakku Kecanduan Internet

Jakarta, 2024 ***

(1) Puisi esai ini adalah fiksi tentang kasih Ibu, diinspirasi oleh kisah sebenarnya.

Halaman:

Berita Terkait