DECEMBER 9, 2022
Kolom

Angkatan Puisi Esai, Sebuah Angkatan Sastra Sui Generis

image
Ilustrasi - Denny JA dalam Festival Puisi Esai. (mediaindonesia.com)

Akankah buku-buku ini, yang dapat dipahami sebagai postulat keberadaan sebuah "Angkatan Puisi Esai", kembali menimbulkan kontroversi tajam di kalangan publik sastra Indonesia?

Ini sudah bisa diduga, meskipun mungkin tidak akan mencapai tingkat sengit dan tidak objektifnya polemik di tahun 2015.

Mungkin kali ini akan ada lebih sedikit diskusi tentang apakah puisi esai memenuhi syarat sebagai genre sastra. Menyangkal hal ini memang sudah menjadi semakin sulit sejak Kamus Besar Bahasa Indonesia menggunakan istilah "puisi esai" sebagai istilah baku dan sejak ratusan penulis secara terus-menerus menuliskan karya yang mereka definisikan sebagai "puisi esai". Agaknya, sehubungan dengan pencanangan "Angkatan Puisi Esai", peran Denny JA sebagai maesenas gagasan dan tujuannya sendiri akan kembali dikritik dengan menyatakan bahwa itu saja yang menyebabkan keberhasilan puisi esai dan kegiatannya yang lain di bidang sastra.

Baca Juga: Puisi Esai Denny JA: Ketika Anakku Kecanduan Internet

Banyak orang memang mengabaikan fakta bahwa ide yang buruk atau nonsense tidak akan bertahan lama, bahkan dengan dukungan pendanaan terbesar sekalipun, dan bahwa ide "puisi esai" sekarang sudah mapan dan tidak memerlukan promosi lagi. Tetapi, kemarahan (dan rasa putus asa) sebagian publik sastra Indonesia pasti akan berlanjut. Ini tidak mengherankan, karena memang sulit sekali untuk menerima bahwa seorang yang bukan sastrawan murni, apalagi penyair murni, memiliki pengaruh begitu besar terhadap sastra Indonesia modern, bahkan terhadap puisi kontemporer.

Mengenai gagasan dan proklamasi "Angkatan Puisi Esai", sikap saya sebenarnya tidak lepas dari berbagai pertimbangan skeptis yang bersifat dasariah.  Sejak dulu, sejak kuliah di jurusan sastra (Jerman dan Indonesia), saya sering tidak yakin dengan pengkotak-kotakan ke dalam era atau aliran, atau –seperti yang lazim terjadi di Indonesia– ke dalam "angkatan". Misalnya istilah "Angkatan 1945". Bagi saya istilah itu tidak memiliki makna mencukupi, dan saya selalu menjelaskan kepada para mahasiswa saya di Universitas Bonn bahwa sastra Indonesia pada periode 1945-1966 dicirikan oleh pertentangan antara konsep Humanisme Universal dan Realisme Sosialis, hal yang sama sekali tidak diekspresikan oleh istilah "Angkatan 45", melainkan justru disembunyikan atau dikaburkan.

Selain itu, sebuah pikiran yang lebih mendasar yang menyebabkan keengganan saya untuk mengkategorikan karya sastra ke dalam era, aliran atau angkatan. Yang benar-benar penting dalam sastra selalulah sang karya individual, serta pertanyaan tentang kualitas isi dan bentuk yang dimilikinya dan apa yang sanggup disampaikannya kepada pembaca. Segala sesuatu yang lain adalah hal sekunder dan terutama menjadi urusan studi sastra dan sejarah sastra.

Baca Juga: Festival Puisi Esai Jakarta 2024 Hadirkan Puluhan Tokoh Sastra Nasional dan Luar Negeri, Cek Jadwal dan Lokasinya

Kiranya sikap saya seperti itu yang juga membuat saya menyambut baik kenyataan bahwa dalam kesusastraan Jerman kontemporer konsep "generasi sastra" telah melemah dan hampir tidak memainkan peranan lagi. Ini disebabkan berbagai faktor, termasuk peningkatan pluralitas sosial dan budaya, individualisasi, globalisasi, perubahan media, dan juga perkembangan dalam studi sastra yang semakin diwarnai oleh penekanan pada intertekstualitas, hibriditas, dan pendekatan poststrukturalis yang membuat pembagian penulis ke dalam generasi menjadi semakin problematis.

Namun, saya tentu memaklumi bahwa membagi dan mengkategorikan adalah kebutuhan manusia, dan tetap masuk akal serta bermanfaat jika kita menggunakan konsep "angkatan sastra“. Karena angkatan demikian bisa saja diidentifikasi jika kita bertolak dari definisi "angkatan" dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, yang berbunyi: "Kelompok sastrawan yang bertindak sebagai kesatuan yang berpengaruh pada masa tertentu dan secara umum menganut prinsip yang sama untuk mendasari karya sastra." Dengan definisi ini, tidak ada keraguan untuk menganggap konsep "Angkatan Puisi Esai" sebagai sesuatu yang sangat sah untuk kesusastraan Indonesia yang mutakhir. Bahkan jauh lebih sah dibandingkan dengan berbagai angkatan sastra masa lalu yang hanya menyandang nama tahun saja.

Yang sangat penting dan perlu dicatat: Angkatan Puisi Esai yang lahir di Indonesia ini benar-benar sebuah generasi sui generis, yakni sebuah angkatan yang unik tak terbandingi, bahkan menurut ukuran internasional serta ukuran sejarah. Karena hingga saat ini, tampaknya belum pernah ada generasi atau aliran dalam dunia sastra yang diberi nama genre sastra. Dan dalam konteks terbatas, yakni konteks Indonesia, baru kali ini ada gerakan sastra yang telah berkembang menjadi sebuah angkatan yang sanggup menembus kerangka nasional dengan melintasi perbatasan Malaysia, Brunei Darussalam, Thailand, dan Singapura, seperti yang dijelaskan oleh Agus R. Sarjono dalam pembenaran yang meyakinkan tentang keberadaan Angkatan Puisi Esai.

Baca Juga: Membuka Festival Puisi Esai Jakarta ke-2, Denny JA: Penting Memadukan Isu Sosial dan Puisi

Dulu, pada tahun 2012, ketika saya bereaksi dengan sangat tidak antusias terhadap kehadiran rubrik Puisi Esai di Jurnal Sajak, saya sama sekali tidak membayangkan perkembangan fenomenal yang akan terjadi pada ide "Puisi Esai". Siapapun tak sanggup memperkirakannya. Sedangkan sekarang timbul pertanyaan, apakah dalam sejarah sastra sebuah genre yang digagas oleh satu individu pernah mengalami perkembangan sedahsyat ini?  Sepertinya, tak pernah terjadi.

Halaman:

Berita Terkait