Angkatan Puisi Esai, Sebuah Angkatan Sastra Sui Generis
- Penulis : Krista Riyanto
- Sabtu, 14 Desember 2024 19:21 WIB
Oleh Berthold Damshäuser *
ORBITINDONESIA.COM - Ketika Agus R. Sarjono mengajak saya untuk berpartisipasi dalam proyek buku bertemakan "Angkatan Puisi Esai", saya tidak ragu-ragu untuk menyetujuinya.
Karena proyek ini sangat berkaitan dengan Puisi Esai, yang perkembangannya telah saya ikuti dari dekat dan secara intensif sejak kemunculannya pada tahun 2012.
Baca Juga: Puisi Esai Denny JA: Ketika Anakku Kecanduan Internet
Salah satu penyebabnya adalah kegiatan saya sebagai redaktur majalah sastra "Jurnal Sajak", yang –mulai dengan edisi nomor 3 tahun 2012– memuat rubrik "Puisi Esai" dengan tujuan untuk menyebarluaskan dan mempromosikan jenis puisi baru itu.
Seperti bisa dibaca dalam esai saya dari tahun 2015 berjudul "Puisi Esai – Ke Mana Sanggup Ia Berkembang?" (dimuat di volume IV seri buku Angkatan Puisi Esai yang baru saja diterbitkan), saya sama sekali tidak antusias dengan diadakannya rubrik yang berfokus pada apa yang disebut sebagai genre sastra baru. Puisi esai pertama yang saya baca – tentu saja karya Denny JA – bagi saya tidak cukup puitis, dan sama sekali tidak sesuai dengan apa yang saya uraikan dalam editorial Jurnal Sajak 2/2011 berjudul "Merindukan Puisi yang Bukan Prosa, Merindukan Sajak", di mana saya menjelaskan puisi jenis apa yang saya cintai dan puisi mana yang saya harapkan akan diperjuangkan oleh Jurnal Sajak, yaitu „karya seni bahasawi“ yang dihasilkan oleh seniman bahasa yang sejati. Namun, jelas juga dari esai saya tahun 2015 itu, bahwa akhirnya saya sampai pada penilaian positif terhadap fenomena puisi esai dan juga menyampaikan argumentasi yang mendukung pengakuannya sebagai genre sastra. Saya juga menerjemahkan puisi esai karya Denny JA berjudul "Sapu Tangan Fang Yin" ke bahasa Jerman dan mempublikasikannya di sebuah jurnal sebagai upaya memperkenalkan puisi esai kepada publik Jerman.
Yang juga mengikat saya –setidaknya secara tidak langsung– dengan puisi esai adalah keterlibatan saya dalam TIM 8, yang pada tahun 2014 menerbitkan buku "33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh" di mana Denny JA dinobatkan sebagai salah satu dari 33 tokoh itu karena genre puisi esai yang ia gagas dan khususnya karena keberhasilan penyebarluasannya. Reaksi geram dari sebagian publik sastra Indonesia, terutama mereka yang disebut "aktivis sastra", tidak bisa dilupakan.
Saya menjadi sasaran permusuhan sengit dan di media sosial disebut sebagai "Pembunuh Sastra Indonesia", dengan peringatan untuk tidak datang ke Indonesia lagi.
Salah satu komentar paling membingungkan datang dari seorang penyair Indonesia yang menikah dengan perempuan Jerman, yang menulis di Facebook: "Buku sampah itu [buku 33 Tokoh] sangat layak dibakar dan para penyusunnya dibuang ke Auschwitz."
Melihat kembali, polemik dan kehebohan tahun 2015 tentang puisi esai dan buku "33 Tokoh" memang terlihat konyol dan absurd, tetapi tetap akan tercatat dalam sejarah sastra Indonesia. Maka dapat dikatakan, bahwa karena puisi esailah, saya pun akan menjadi catatan pinggir dalam sejarah sastra Indonesia.
Baca Juga: Membuka Festival Puisi Esai Jakarta ke-2, Denny JA: Penting Memadukan Isu Sosial dan Puisi
Dan kini, sepuluh tahun kemudian, di tahun 2024, saya berurusan lagi dengan puisi esai, kali ini dalam kaitan dengan sebuah seri buku berjudul "Angkatan Puisi Esai".