Masa Depan Puisi Esai dan Refleksi tentang Musik Jazz
- Penulis : Abriyanto
- Jumat, 13 Desember 2024 10:30 WIB
Kita telah membangun puisi esai sebagai genre baru. Kita telah menciptakan komunitasnya, melembagakannya, mengadakan festival puisi esai, dan bahkan merancang dana abadi untuk mendukungnya. Secara konsep, eksperimen ini sudah kokoh.
Namun, apakah ikhtiar ini berhasil atau tidak, sisanya tergantung pada eksekusi dan kualitas perjuangan kita.
Hari ini, saya ingin berbicara tentang masa depan puisi esai, tetapi saya akan memulainya dengan sebuah refleksi tentang musik jazz.
Baru-baru ini, saya membaca sebuah opini dari The New York Times yang diterbitkan pada tahun 1922, berjudul “Drawing a Line for Jazz” karya Robert Aldrich.
Opini ini menarik karena menggambarkan pandangan kritik dan elite budaya saat itu terhadap jazz, sebuah genre musik yang baru lahir.
Jazz dianggap sebagai musik rendahan dan murahan, yang sering dimainkan oleh komunitas kulit hitam di tengah publik Amerika Serikat yang kala itu masih sarat dengan sentimen rasial.
Musik ini juga banyak terpengaruh oleh tradisi Afrika, dan sering dimainkan di klub malam serta rumah bordil, sehingga dianggap memiliki cacat moral.
Namun, hanya 30 tahun kemudian, pandangan terhadap jazz berubah drastis. Pada tahun 1938, jazz pertama kali tampil di Carnegie Hall, sebuah panggung prestisius di New York City.
Carnegie Hall adalah tempat yang hanya menerima pertunjukan musik yang diakui memiliki nilai seni tinggi. Dari sini, jazz terus berkembang hingga tampil di festival internasional, menyebar dari New Orleans ke Eropa, seperti Prancis dan Belanda.
Baca Juga: 6 Lukisan Artificial Intelligence Denny JA: Harapan kepada Pemimpin Setelah Pilkada
Tokoh-tokoh seperti Louis Armstrong dan Duke Ellington menjadi pelopor dalam membangun citra jazz sebagai seni tinggi.