Berziarah ke Borobudur, Denny JA Terhubung ke Masa Silam
- Penulis : Krista Riyanto
- Minggu, 08 September 2024 15:54 WIB
ORBITINDONESIA.COM - “Borobudur bukan hanya sebuah candi. Ia juga arsip waktu dalam bentuk bangunan raksasa.”
“Di sana kita bisa membaca masa silam yang tersimpan dalam batu-batu yang diam namun bercerita.”
“Setiap relung dan setiap relief menjadi lembaran sejarah yang menunggu untuk diungkapkan kembali.”
Baca Juga: Catatan Denny JA: Di Kereta Itu, Tak Ditemukannya Sepasang Mata Bola
Awal September 2024, saya memutuskan berziarah spiritual ke Borobudur. Sebagai candi Buddha terbesar di dunia, Borobudur bukan hanya sebuah monumen arkeologi; ia adalah tempat yang membawa kita berkelana melintasi zaman.
Ketika saya berdiri di puncaknya, memandang ke luar, angin yang berembus seolah menjadi mesin waktu, menerbangkan saya ke masa silam.
Tiba-tiba, saya merasa terhubung, tidak hanya dengan bangunan fisik ini, tetapi dengan sejarah yang telah menyelimutinya selama lebih dari seribu tahun.
Baca Juga: Catatan Denny JA: Revolusi Kreativitas Bersama Artificial Intelligence (1)
Saya duduk bersila di dekat salah satu stupa, membiarkan keheningan merasuk dalam diri. Dalam keheningan itu, seakan datang sebuah kontak batin, yang membawa saya tenggelam dalam tiga masa silam Borobudur.
Itu adalah masa penting yang tak kasat mata, tapi tersimpan dan jejak batu candi itu.
1. Era Thomas Stamford Raffles: Penemuan Kembali Borobudur (1814)
Baca Juga: Paus Berkati Lukisan Karya Denny JA Tentang Paus Fransiskus Membasuh Kaki Rakyat Indonesia
Tiba-tiba, saya melihat diri saya berada di tahun 1814. Borobudur saat itu sudah tertutup oleh hutan lebat, hampir terlupakan oleh masyarakat di sekitarnya.
Namun, di tengah keheningan alam, datanglah HC Cornelius, seorang insinyur dan arkeolog amatir, yang mendengar desas-desus dari penduduk lokal.
“Lapor Bapak, ada candi besar yang tersembunyi di bukit dekat desa Bumisegoro.”
Baca Juga: Lukisan Karya Denny JA di Gereja Katedral Jakarta Diberkati Paus Fransiskus
Saya bisa melihat Cornelius bersama tim kecilnya berjuang membuka jalan menuju situs. Tapak itu tertutup oleh pepohonan besar dan tumbuhan liar.
Mereka membawa golok dan kapak, memotong akar-akar yang membelit candi, sedikit demi sedikit membuka lapisan waktu yang telah menyembunyikan keajaiban arsitektur ini selama berabad-abad.
Aha! Wow! Mereka menemukan relief-relief yang tertimbun tanah, patung-patung Buddha yang terkubur dalam sunyi, dan stupa-stupa yang mulai muncul dari masa silam.
Baca Juga: Puisi Denny JA: Pesan yang Dibawa Seekor Burung yang Hinggap di Pundakku
Cornelius segera melaporkan temuannya kepada Sir Thomas Stamford Raffles, Gubernur Jenderal Hindia Belanda saat itu, yang sangat tertarik pada sejarah dan kebudayaan Jawa. (1)
Raffles, yang dikenal sebagai seorang sarjana dan penuh rasa ingin tahu, langsung menugaskan Cornelius untuk membersihkan dan menggali candi itu.
Dalam kontak spiritual, saya merasakan kehadiran Raffles waktu dia datang mengunjungi Borobudur setelah mendengar laporan Cornelius.
Baca Juga: In Memoriam: Faisal Basri dan Nyanyian Suara Kritisnya di Mata Denny JA
Raffles berdiri di depan candi, kagum oleh kemegahannya, meskipun masih setengah tertutup oleh tanah dan vegetasi.
Dia tahu bahwa yang dia temukan ini bukan hanya sekadar reruntuhan, melainkan sebuah warisan yang sangat berharga.
Raffles kemudian menulis tentang Borobudur dalam bukunya “The History of Java". Ia menggambarkan keindahan dan kekagumannya terhadap candi ini.
Baca Juga: Asri Venon, Juara Lomba Swafoto Paus Mencuci Kaki Rakyat Indonesia Karya Denny JA
Raffles mendokumentasikan relief-reliefnya, arsitekturnya, dan nilai sejarahnya, membawa Borobudur kembali ke dalam kesadaran dunia.
Sayangnya, Raffles tidak sempat merestorasi penuh Borobudur. Upaya pembersihan awal yang dikerjakan Cornelius hanyalah langkah pertama.
Meskipun begitu, saya bisa merasakan bahwa inisiatif Raffles telah membuka pintu bagi upaya melestarikan yang lebih besar di masa depan.
Baca Juga: Lavina Putri Akbar, Juara Lomba Swafoto di Depan Lukisan Festival Toleransi Karya Denny JA
Berkat dialah dunia kembali mengenal Borobudur, dan candi ini tidak lagi terkubur oleh waktu.
2. Era Pembangunan Borobudur: Kemegahan Syailendra (abad ke-8 sampai ke-9)
Kontak batin membawa saya melayang lebih jauh ke masa lalu, ke abad ke-8 dan ke-9. Itu era ketika Borobudur pertama kali dibangun di bawah kekuasaan Dinasti Syailendra.
Baca Juga: Tafsir Hermeneutika Lukisan Karya Denny JA: Menyingkap Makna Kunjungan Paus Fransiskus ke Indonesia
Saya melihat sekelompok pekerja yang sibuk memahat batu-batu vulkanik menjadi blok-blok yang presisi, tanpa menggunakan semen.
Lebih dari 2 juta blok batu diangkut dan disusun menjadi piramida bertingkat yang megah, dengan stupa-stupa yang menara di puncaknya.
Saya menyaksikan pekerja yang jumlahnya ribuan, bekerja keras di bawah terik matahari, memotong dan mengukir batu, serta mengangkutnya dari lokasi tambang ke situs pembangunan.
Baca Juga: Denny JA Lesehan Menonton Kabaret Transpuan di Yogyakarta
Para arsitek dan insinyur dinasti Syailendra mengawasi pekerjaan ini dengan seksama, memastikan setiap batu ditempatkan dengan tepat, sesuai desain yang rumit dan filosofis.
Saya terhanyut dalam percakapan batin dengan salah satu arsitek utama Borobudur. Dia menjelaskan kepada saya bahwa Borobudur dirancang berdasarkan kosmologi Buddha.
Ada tiga tingkat utama dalam struktur candi, yaitu Kamadhatu (dunia nafsu), Rupadhatu (dunia rupa atau bentuk), dan Arupadhatu (dunia tanpa bentuk), yang melambangkan perjalanan spiritual menuju pencerahan.
Setiap relief di Borobudur memiliki makna dalam, kata sang arsitek.
Ia menceritakan kehidupan Sang Buddha, ajaran-ajarannya, dan kisah-kisah kehidupan masa lalu.
Para seniman dinasti Syailendra memahat lebih dari 2.600 panel relief, menjadikannya ansambel relief Buddha terbesar di dunia.
Ia berkata setiap panel memiliki cerita, tidak hanya tentang Buddha, tetapi juga tentang kehidupan masyarakat Jawa pada waktu itu.
Sebagai candi Buddha terbesar di dunia, Borobudur tidak hanya megah secara fisik, tetapi juga mengandung nilai spiritual yang sangat mendalam.
Arsitek tersebut menjelaskan Borobudur dirancang sebagai mandala raksasa. Bangunan ini memfasilitasi orang untuk berjalan melingkar naik ke puncak candi. Para pejalan seakan-akan sedang melakukan perjalanan menuju pencerahan.
Dalam kontak spiritual itu, saya menyaksikan kemegahan Borobudur ketikat pertama kali selesai dibangun. Sebuah monumen yang menakjubkan, dibangun dengan tekad dan keyakinan untuk menciptakan tempat suci bagi umat Buddha di Nusantara.
Saya bisa merasakan rasa bangga dari setiap orang yang terlibat dalam pembangunannya, karena mereka tahu bahwa mereka telah menciptakan sesuatu yang akan bertahan selama berabad-abad.
3. Era Dilupakan: Ketika Borobudur Tertimbun oleh Waktu (abad ke-14 hingga abad ke-19)
Perjalanan spiritual kemudian membawa saya ke masa yang lebih suram. Saya melihat Borobudur mulai dilupakan.
Pada abad ke-14, agama Islam mulai menyebar di Nusantara dan menggantikan agama Buddha sebagai kepercayaan utama di Jawa.
Borobudur, yang dulu menjadi tempat ziarah dan pusat keagamaan, perlahan-lahan kehilangan fungsinya.
Saya menyaksikan bagaimana gunung berapi di sekitarnya, terutama Merapi, mulai meletus, menutupi Borobudur dengan lapisan debu vulkaniknya.
Letusan demi letusan memperburuk keadaan, dan tanpa ada yang merawatnya, Borobudur tertimbun lebih dalam. Pohon-pohon besar tumbuh di atasnya, akarnya menembus celah-celah batu, dan pepohonan liar mengelilingi candi.
Saya melihat masyarakat di sekitar Borobudur, yang sekarang sebagian besar telah memeluk Islam, tidak lagi menganggap candi itu sebagai tempat suci.
Borobudur menjadi bagian dari lanskap yang terlupakan, tertimbun oleh alam, dan kehilangan maknanya di tengah perubahan kepercayaan dan waktu.
Candi itu seakan terhapus dari ingatan kolektif masyarakat, hanya menjadi bayangan dari masa lalu yang telah ditinggalkan.
Pada waktu itu, Borobudur seperti tenggelam dalam tidur panjang, terlupakan oleh peradaban. Saya merasakan kesunyian yang mendalam, seolah-olah candi itu menunggu untuk ditemukan kembali, untuk dihidupkan lagi dari debu dan tanah yang telah menutupinya selama berabad-abad.
Dalam hening, air mata saya menetes. Saya merasakan kesedihan patung- patung Budha itu karena kepalanya dicuri. Ratusan patung duduk, tanpa ada kepala.
-000-
Saya tersadar kembali dari perjalanan spiritual ini dengan kesadaran baru tentang Borobudur.
Candi ini bukan hanya bangunan batu yang megah, tetapi juga penjaga cerita dari tiga masa yang berbeda. Borobudur telah melewati banyak fase dalam sejarahnya.
Itu dimulai dengan masa kejayaan di bawah Syailendra, masa terlupakan karena perubahan agama dan alam, sampai masa penemuan kembali oleh Raffles.
Setiap lapisan waktu itu tercetak dalam batu-batunya, reliefnya, dan stupa-stupa yang menjulang.
Ketika saya berdiri di puncak Borobudur, melihat ke arah cakrawala, seolah-olah saya berdiri di persimpangan antara masa lalu dan masa kini.
Borobudur, melalui tiga masanya, mengingatkan kita bahwa meskipun waktu terus berjalan, warisan yang ditinggalkan bertahan lebih lama dari usia manusia itu sendiri.
Ketika saya meninggalkan Borobudur, saya membawa serta rasa syukur. Saya bisa menyaksikan dan merasakan keajaiban dari masa lalu yang masih hidup dalam setiap batu dan stupa di candi ini.
Borobudur akan selalu menjadi pengingat bahwa masa silam tidak pernah benar-benar mati.
Ia tetap dan selalu hadir. Ia menunggu untuk ditemukan kembali dalam setiap langkah kita menuju pencerahan.***
Ditulis di kereta api dari Yogyakarta menuju Jakarta, 8 September 2024
(1) Kisah Borobudur ditemukan kembali di era Thomas Raffles, di abad 19:
PBShttps://www.pbs.org › boro_mainBorobudur Introduction