DECEMBER 9, 2022
Kolom

Bachtiar Aly: Quo Vadis Politik Luar Negeri Indonesia Bebas Aktif

image
Prof. Dr. Bachtiar Aly MA adalah mantan Dubes RI untuk Mesir, dan akademisi (Foto: MPR RI)

Oleh: Bachtiar Aly*

ORBITINDONESIA.COM - Kerangka Pemikiran

Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan peri keadilan....dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi  dan keadilan sosial.....(Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945).

Baca Juga: Menlu Retno Marsudi: Dewan Keamanan PBB Tidak Boleh Menoleransi Perang Apalagi Genosida di Palestina

“....Indonesia menduduki wilayah yang panjangnya 3000 mil dan terdiri atas ribuan pulau besar dan kecil. Wilayah yang begitu luas penyebarannya tak mungkin dipertahankan  dengan kekuatan angkatan perang saja”. (Bung Hatta: Perdamaian Dunia dan Keadilan Sosial hal. 427).

“The strong do what they can and the weak suffer what they must" (Thucydides, History of the Peloponnesian War),

“Yang kuat melakukan apa yang dapat mereka lakukan, dan yang lemah harus menderita karenanya”. Seperti yang kita saksikan sekarang perang antara Israel dengan Hamas Palestina.

Baca Juga: Menlu Retno Marsudi: Uni Eropa Harus Konsisten Hormati Hukum Internasional di Isu Palestina dan Gaza

Thucydides  (460 – ca. 400 SM) adalah sejarawan dan Jendral  Athena yang menulis perang Peloponnesia antara Sparta dan Yunani yang berlangsung selama 27 tahun,  431-404 SM.

Thucydides merupakan awal tercetusnya mazhab realisme dalam teori hubungan internasional. Kerangka teori mazhab ini  mengenai pandangan politik dunia sebagai sebuah persaingan yang tidak pernah henti di antara  negara-negara yang memiliki kepentingannya sendiri untuk kekuasaan dan posisi dalam system global yang anarkis, karena tidak adanya pusat otoritas.

Pusatnya adalah negara sebagai aktor utama yang rasional, menavigasi system dan membentuk  politik kekuatan, kepentingan nasional, dengan tujuan keamanan dan menyelamatkan diri sendiri.

Baca Juga: Menlu Retno Marsudi Hadiri Pertemuan di Doha yang Diinisiasi Sekjen PBB, Bahas Perkembangan di Afganistan

Mazhab realisme mengandung strategi penggunakan kekuatan militer dan aliansi untuk menguatkan pengaruh global dengan mengelola perimbangan kekuatan, balance of power. Perang dilihat sebagai hal yang tidak terhindarkan dikarenakan situasi anarki di panggung politik dunia. Realisme menekankan dinamika kompleks dari dilema keamanan, dimana tindakan dilakukan dengan alasan keamanan tanpa disengaja menjurus pada ketegangan antar negara.

“Menjadi musuh Amerika Serikat sangat berbahaya. Menjadi sekutunya dapat berakibat fatal “. (Henry Kissinger dikutip oleh Jeffrey Sachs).

Ekonomi, Politik, Hukum, Sumberdaya Manusia, Pertahanan & Keamanan dan Teknologi

Baca Juga: Menlu RI Retno Marsudi: Penerapan Kecerdasan Buatan atau AI Harus Mendukung Demokrasi di Dunia Modern

Tulisan ini mengedepankan berbagai faktor yang mempengaruhi dinamika politik luar negeri Indonesia yang bebas aktif, yang  terdiri dari faktor endogen dan faktor exogen.

Sekarang  kita lihat faktor-faktor endogen apa saja yang sangat fundamental bagi sebuah negara, agar  dapat menentukan arah politik luar negerinya yang relatif lebih mandiri.

Terdapat enam hal pokok yang penting, yaitu bidang ekonomi, politik, hukum, sumberdaya manusia, pertahanan & keamanan serta teknologi yang satu sama lain berkaitan erat dan berinteraksi menjadi satu kesatuan dan menjadi modal dasar kekuatan sebuah negara.

Baca Juga: Menlu RI Retno Marsudi Kecam Serangan Israel Terhadap Fasilitas Diplomatik Iran di Damaskus Suriah

Negara akan meraih kemajuan, kemakmuran, keamanan dan kejayaan jika membuka diri dalam pergaulan antar bangsa. Setiap negara memiliki keunikan sendiri, dengan kekurangan dan kelebihannya

Tulisan ini juga melakukan perbandingan singkat  antara system ekonomi pasar bebas yang bersandingan dengan  system politik demokratis di satu sisi, dengan system ekonomi komando yang didukung system politik satu partai di sisi lainnya.

Kedua system tersebut tidak selalu berhadapan diametral, karena kepentingan setiap negara selalu mengalami perubahan sejalan dengan dinamika dalam negeri dan interaksi dengan negara lainnya. Persaingan, ketegangan, pendekatan, kerjasama sampai kembali lagi pada situasi awal, seperti sebuah spiral yang bisa saja berujung pada konflik terbuka atau konvergensi.

Baca Juga: Menhan Prabowo Subianto: Indonesia Siap Kirim Pasukan Perdamaian ke Gaza untuk Jaga Gencatan Senjata

Ekonomi

System ekonomi yang berkembang dan diterapkan di banyak negara berorientasi pada system ekonomi pasar bebas atau free market economy dengan berbagai macam variannya, antara lain ekonomi pasar sosial, social market economy, seperti di Jerman dikenal sebagai social state dan system ekonomi yang diterapkan di negara-negara Skandinavia seperti Denmark, Swedia, Norwegia dan Finlandia, dengan menekankan pentingnya prinsip subsidiaritas.

Socialist Market Economy  atau State Capitalism yang diterapkan di China; Confusian Capitalism seperti Singapura, Korea Selatan, Taiwan dan Jepang.

Baca Juga: Menhan Prabowo Subianto Sebut Indonesia Perkuat Kerja Sama Pertahanan dengan Singapura

Sistem perekonomian pasar bebas ditopang oleh sistem politik yang demokratis, baik berupa sistem pemerintahan presidensial maupun parlementer. Sistem ini berlandaskan pada nilai-nilai Kebebasan, Hak Asasi Manusia, dan Individualistik serta multi partai. Peran negara terbatas, hanya sebagai Watchdog.

Die Würde des Menschen ist unantasbar, sie zu achten und zu schützen ist die Aufgaben und Verpflichtungen aller staatlichen Gewalt”

“Martabat manusia tidak dapat diganggu gugat, menghormatinya dan melindungi merupakan tugas dan kewajiban seluruh kekuasaan negara( pasal 1, ayat 1, UUD Republik Federal Jerman)

Baca Juga: Qatar: Proposal Presiden AS Joe Biden Mengarah ke Gencatan Senjata Permanen di Gaza

Politik

Sedangkan sistem Socialist Market Economy ditopang oleh sistem politik yang otoritarian dengan satu partai politik dan parlemen Unikameral. Stabilitas politik menjadi prioritas agar perekonomian tumbuh berkembang, semi proteknionis, mendahulukan kepentingan industri dalam negeri, eksport produk murah ke seluruh dunia. Perekonomian terbuka dan berpartisipasi dalam berbagai organisasi internasional seperti International Monetary Fund, World Bank, World Trade Organisation, United Nations, BRICS (Brazil, Rusia, India, China, South of Africa), Shanghai Cooperation Organisation.

BRICS kini menjadi kekuatan yang semakin kuat dan sebagai penyeimbang terhadap G7 (AS, Kanada, Inggris, Perancis, Jerman, Italia dan Jepang) dalam dunia yang berubah dengan cepat dari unipolar menjadi multipolar, yang ditandai dengan menurunnya hegemoni AS dan melemahnya tatanan dunia yang liberal.

Baca Juga: Pengamat Robi Sugara Apresiasi Kepedulian Menhan Prabowo Subianto terhadap Para Korban di Gaza Palestina

Hukum

Dalam system free market economy, maupun dalam system  state capitalism, penegakan hukum dilakukan sesuai dengan system ekonomi dan politik yang berlaku. Cheks and balances antara lembaga eksekutif, legislatif dan yudikatif menjadi ciri utama dalam system hukum ketatanegaraan yang mendukung system perekonomian pasar bebas, diperkuat dengan adanya Mahkamah Konstitusi, Mahkamah Agung, Kejaksaan, independensi Bank Sentral, Peraturan Anti Monopoli, Komisi Pemberantasan Korupsi dan seterusnya,

Di dalam demokrasi liberal tersebut terdapat banyak kelompok kepentingan yang diwakili oleh masing-masing organisasi seperti organisasi pengusaha, organisasi buruh, organisasi petani, organisasi nelayan, organisasi guru, organisasi konsumen, organisasi pers, civil society, organisasi keagamaan dan lain-lain.

Baca Juga: Makin Brutal, Tentara Israel Perluas Serangan ke Rafah, Bergerak ke Gaza Tengah

Semua kelompok kepentingan tersebut mendapat kesempatan untuk memperjuangkan kepentingannya masing-masing melalui parlemen, yang terdiri dari berbagai partai politik. Model demokrasi ini menunjukkan adanya interaksi antara berbagai kekuasaan yang mewakili masyarakat dengan sektor negara sebagai perumus kebijakan politik, pelaksana dan pengawas.

Dinamika tersebut pada akhirnya menggerakan sebuah system besar yang sangat dinamis, melahirkan pemikiran baru, mendukung inovasi berbagai produk, menghasilkan teknologi untuk mengatasi masalah lingkungan, perubahan iklim sampai pada peningkatan kualitas sumberdaya manusianya, tanpa mengabaikan terjadinya ketimpangan penghasilan dan kekayaan, masalah lingkungan hidup dan sebagainya.

Sistem socialist market economy atau state capitalism sangat kontras dibandingkan dengan sistem free market economy. Dalam sistem socialist seperti di China, pada awal berdirinya tahun 1949 menerapkan pembangunan ekonomi berdikari, berdiri di atas kaki sendiri, menutup atau melakukan isolasi dari dunia luar, terutama negara-negara kapitalisme barat, sentralisasi kekuasaan pada Partai Komunis China dan Kongres Rakyat, dengan Demokrasi Rakyat. Peran negara menguasai seluruh sektor perekonomian, maka disebut sebagai State Capitalism.

Baca Juga: Diskusi Satupena, Satrio Arismunandar: Tragedi di Gaza Mungkin Justru Mempercepat Berdirinya Negara Palestina

Karena sistem politik yang terpusat dan bersifat komando, top down, maka ketika perkembangan ekonomi dalam negeri mengalami stagnasi, diluncurkan program lompatan besar, great leap untuk mengejar ketertinggalam teknologi.

Caranya melakukan mobilisasi produk pangan untuk diekspor ke negara-negara sosialis lainnya, dan ditukarkan dengan produk teknologi.

Yang terjadi kemudian adalah bencana kelaparan di seluruh negeri, yang menewaskan empat puluh juta orang, Secara ekonomi, model ekonomi ini akhirnya mengalami stagnasi dan gagal memenuhi kebutuhan pangan rakyatnya.

Baca Juga: Presiden Jokowi Beri Instruksi ke Prabowo Kirim Tenaga Kesehatan ke Rumah Sakit Gaza di Palestina

Membuka isolasi untuk modernisasi

Akhirnya China menerapkan politik pintu terbuka, open door policy, dan membuka hubungan diplomatik dengan Amerika Serikat tahun 1978, setelah kunjungan Presiden Richard Nixon dan Menlu Henry Kissinger pada tahun 1972  dan bertemu Mao Zedong dan Chou Enlai di Beijing.

Kedua negara tersebut memiliki kepentingan masing-masing untuk bekerjasama di bidang ekonomi, investasi dan perdagangan.

Kepentingan AS adalah menghentikan perang Vietnam yang telah menyebabkan defisit anggaran belanja negaranya dan defisit perdagangan luar negeri; merelokasi industrinya yang telah sunset ke China agar dapat memproduksi dengan biaya rendah, sekaligus memasarkan produknya di China yang berpenduduk satu miliar lebih; selanjutnya produk dari China diekspor ke AS dengan harga murah dan dapat menekan tingkat inflasi di sana.

Bagi China, terbukanya hubungan diplomatik berarti dapat menarik investor dari AS dan negara-negara Barat lainnya untuk menciptakan lapangan kerja, mengurangi angka kemiskinan dan meningkatkan penghasilan penduduknya, alih teknologi sekaligus mengirimkan ratusan ribu generasi mudanya untuk memperdalam ilmu pengetahuan di AS, Eropa, Jepang, Kanada dan Australia.

Hubungan dan kerjasama dengan negara-negara yang bertransformasi dari system sosialis ke sistem kapitalis di Eropa Timur, termasuk Rusia terus berlanjut, walaupun pernah terjadi konflik antara China dan Rusia di perbatasan kedua negara.

Di titik inilah, kedua negara tersebut, AS dan China mendapat manfaat dengan terbukanya hubungan diplomatik tersebut. Kerjasama di bidang pendidikan berlanjut dengan kerjasama di berbagai penelitian, pertukaran mahasiswa, terbukanya kesempatan bagi mahasiswa untuk bekerja di berbagai perusahaan di negara-negara Barat, yang akhirnya mendorong perkembangan ekonomi di China dengan cepat. Selain itu mengalirnya para pakar dari berbagai bidang dari negara-negara barat semakin cepat mendorong alih teknologi dan integrasi China ke pasar dunia.

Manfaat lainnya adalah, hasil export China menghasilkan cadangan devisa yang mencapai 3 triliun dollar, dan 1,3 triliun diinvestasikan di surat utang pemerintah AS, treasury bond. Namun sehubungan perkembangan geopolitik dan ekonomi, jumlah tersebut semakin berkurang menjadi 800 triliun dollar lebih.

Pengaruhnya pada perubahan politik luar negeri banyak negara

Sebelum terjadinya pendekatan antara China dengan AS, politik luar negeri negara-negara yang menjadi sekutu AS maupun dekat dengan AS tidak memiliki atau memutuskan hubugan diplomatik dengan China selama perang dingin.

Kebijakan satu China, yaitu mengakui Taiwan berubah total, yaitu mengakui Republik Rakyat China sebagai satu-satunya yang mewakili China dan menerimanya di Dewan Keamanan PBB. Hal yang sama berlaku juga bagi Indonesia dengan membuka kembali hubungan diplomatik dengan China.

Dari pemaparan kedua system ekonomi dan politik yang hingga kini mempengaruhi perkembangan dunia tersebut, dapat ditarik kesimpulan, bahwa selain kerjasama dan  persaingan  antar negara, cooperation and competition,  sampai terjadinya konflik terbatas di tingkat regional sampai perang dunia.

Politik luar negeri sebuah negara tidak lepas dari perubahan yang terjadi di tingkat global.

Kini situasi dunia mengalami perubahan kembali. Kerjasama yang telah dirintis berkembang menjadi persaingan yang semakin tajam, utamanya antara  AS dan China. Mau tidak mau banyak negara harus memikirkan ulang kebijakan luar negerinya, tanpa harus mengorbankan hubungan baik dengan banyak negara.

Kebijakan luar negeri Indonesia yang bebas aktif, bukan berarti netral, tidak berbuat apa-apa, melainkan pro aktif untuk mewujudkan perdamaian dunia dengan tetap mengutamakan kepentingan nasional. Seperti mendayung di antara dua buah karang (Bung Hatta).

Pertahanan dan Keamanan

Setiap negara memiliki kepentingan untuk menjaga kedaulatannya terhadap ancaman dari dalam maupun dari luar. Semakin berkembang sebuah negara, maka kebutuhan akan persenjataan semakin meningkat. Tujuannya tidak hanya untuk menjaga kedaulatannya, tetapi juga untuk menjaga lalu lintas perdagangan luar negeri yang berkaitan dengan kebutuhan bahan mentah sampai pada pasokan bahan baku, setengah jadi untuk industri dalam negerinya.

Pertahanan dan keamanan sebuah negara tidak dilakukan sendiri, tetapi juga bekerjasama dengan negara-negara sahabat lainnya dalam sebuah perjanjian bilateral maupun multilateral.

Setiap negara, jika sudah mencapai tingkat kemajuan tertentu memiliki kecenderungan untuk melakukan ekspansi dengan berbagai dalih, seperti kepentingan ekonomi, politik dan penyebaran nilai-nilai agar menjadi nilai yang berlaku universal (Henry Kissinger).

Oleh karenanya, Indonesia sebagai negara berdaulat harus dapat mempertahankan dirinya dari berbagai upaya negara lain untuk menguasai negeri ini dengan berbagai cara.

Teknologi

Kemajuan sebuah negara dapat dicapai selain didorong oleh faktor perekonomian dan sumberdaya manusia yang berkualitas, juga melalui kerjasama dengan negara-negara lain yang memiliki keunggulan di berbagai bidang.

Pengiriman generasi muda ke luar negeri untuk memperdalam ilmu pengetahuan, termasuk kegiatan research, seminar internasional, sampai pada pembiayaan untuk pengembangan teknologi teranyar dan berbagai percobaan, mendirikan perusahaan patungan, joint venture akan membuat sebuah negara tidak tertinggal dalam hal teknologi dari negara lain.

Perkembangan teknologi mutahir seperti semikonduktor dapat digunakan untuk kebutuhan sipil maupun militer, dual use.

Kesimpulan

Bung Hatta sebagai salah satu founding father, pemikirannya  tentang politik luar negeri bebas aktif melampaui jamannya, dan terbukti betapa pentingnya menjalin kerjasama dengan berbagai negara, selain untuk menjaga kedaulatan negara juga untuk menjaga perdamaian dunia.

Kemajuan Indonesia di berbagai bidang dapat dicapai melalui kerjasama dengan banyak negara,  walaupun ada perbedaan ideologi. Setiap negara dapat menjadi mitra perdagangan dan pesaing. Karena itu setiap adanya ancaman, juga terdapat peluang. Keduanya datang silih berganti, tidak permanen.

Indonesia tidak terikat pada aliansi pertahanan yang memihak pada suatu kekuatan adidaya, tapi dapat melakukan kerja sama pertahanan dan latihan gabungan militer dengan banyak negara dengan tujuan menjaga stabilitas keamanan di tingkat nasional dan regional, misalnya terhadap gerakan terorisme internasional, perdagangan manusia, human trafficking, perdagangan narkoba, penyelundupan senjata, separatisme dan sebagainya.

Mengambil inisiatif seperti yang dilakukan Singapura, melalui Shangri-La Dialogue yang diikuti para menteri pertahanan banyak negara, termasuk dari AS dan China. Tujuannya adalah meredakan ketegangan melalui dialog antar negara-negara, seperti yang dilakukan Uni Eropa dengan menyelenggarakan Münchener Sicherheit Konferenz, Konperensi Keamanan München di Jerman.

Politik luar negeri Indonesia akan semakin kokoh, terarah pada upaya perdamaian dunia, menghadapi ancaman global seperti perubahan iklim, perang regional, kelangkaan energi dan  pangan, disrupsi teknologi, perubahan demografi dan sebagainya.

Stabilitas politik dan ekonomi negeri ini dapat berkesinambungan, dipimpin oleh mereka yang memiliki kemampuan tinggi, berpengalaman di berbagai bidang, didukung oleh seluruh kekuatan rakyat yang sejahtera dan diperlakukan adil.

Perwakilan Indonesia di luar negeri, baik sebagai duta besar di sebuah negara, maupun di perwakilan di berbagai lembaga internasional seperti PBB, Unesco, Unicef, ILO, G20, ASEAN, OKI, World Bank, IMF, WTO dan sebagainya dengan menempatkan mereka yang mumpuni untuk mewakili kepentingan nasional, termasuk melakukan lobby dan analisis perkembangan di masing-masing negara maupun perkembangan global di bidang ekonomi, politik, teknologi dan sebagainya.

Pilihan terbaik adalah dengan merekrut mereka yang pernah studi, hidup dan bekerja di negara terkait untuk melakukan tugasnya masing-masing. Mereka selain sangat menguasai bahasa dan budaya setempat, juga memiliki jejaring pertemanan dengan berbagai kalangan.

Politik luar negeri Indonesia yang selama ini telah berjalan dengan baik hendaknya dapat semakin ditingkatkan sesuai dengan perkembangan di tanah air yang mau tidak mau dipengaruhi oleh perkembangan internasional.

Koordinasi antar perwakilan di negara-negara terkemuka dan komunikasi intensif dengan Kementrian Luar Negeri, Pertahanan, Perekonomian dengan demikian dapat memberikan manfaat untuk kemajuan bangsa, dan perdamaian dunia.

Bung Karno dan Bung Hatta dan para founding fathers lainnya akan tersenyum melihat bangsa ini semakin maju, bermartabat dan menjadi salah satu kiblat dari negara-negara Asia, Afrika dan Amerika Latin serta mitra yang terpercaya negara-negara adidaya.

Rekomendasi

Dari pemaparan di atas, kami menyampaikan rekomendasi kepada Presiden terpilih untuk tetap menjaga stabilitas politik dalam negeri yang dinamis berkelanjutan, dengan merangkul berbagai kekuatan politik dan memaksimalkan potensi yang dimiliki para intelektual negeri ini.

Soliditas di dalam negeri menjadi prioritas kepemimpinan ke depan, tanpa meninggalkan prinsip demokrasi dan hak azasi manusia, merampungkan agenda reformasi.

Salah satu tugas itu dapat diemban oleh Forum Duta Besar untuk melakukan sosialisasi kebijakan luar negeri Indonesia di seluruh Perguruan Tinggi Negeri dan Swasta, juga di negara-negara yang terdapat banyak diaspora Indonesia, agar mereka lebih memahami negerinya dengan orientasi kebijakan luar negeri dan mendukung kebijakan terebut.

Semoga negeri ini dapat terus berkembang menjadi negara maju, menjadi kekuatan regional dan internasional yang disegani bangsa lain. Indonesia Emas tahun 2045 nicaya menjadi sebuah kenyataan.

Jakarta, 10 Juni 2024

*Prof. Dr. Bachtiar Aly MA adalah mantan Dubes RI untuk Mesir, dan akademisi.

Kepustakaan :

  1. Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945
  2. Undang-Undang Dasar Republik Federal Jerman, Grundgesetz 1949
  3. Bung Hatta, Perdamaian Dunia dan Keadilan Sosial, LP3ES 1998
  4. Bachtiar Aly, Prof. Geschichte und Gegenwart der Kommunikationssyteme in Indonesien, Penerbit Peter Lang, Frankfurt am Main, Bern, New York 1984
  5. Bachtiar Aly, Indradi Kusuma, Prasetyadji, Menuju Indonesia yang Demokratis, Adil dan Pluralis-Forum Komunikasi Bangsa, Jakarta 2022
  6. Daron Acemoglu & James A. Robinson, Why Nations Fail- The Origins of Power, Prospperity and Powerty, Random House, USA 2012
  7. Dieter Nohlen, Wörterbuch zur Politik, Internationale Beziehungen – Theorien, Organisationen, Konflikte. Pipier GmbH, München 1984
  8. Fareed Zakaria, The Post American World, Norton W.W. Company 2012
  9. Paul Kennedy, The Rise and Fall of The Great Power- Economic Change and Military Coflict from 1500 to 2000, by Random House 1988, USA & Great Britain ***
Sumber: WhatsApp grup Satupena

Berita Terkait