Rinaldi Napitupulu: Hilirisasi Digital, Apakah Suatu Keniscayaan? (Bagian 2)
- Penulis : Satrio Arismunandar
- Selasa, 06 Februari 2024 07:52 WIB
ORBITINDONESIA.COM - Penulis coba mendata sebagai contoh berapa instansi dan BUMN/BUMD yang terlibat dalam satu tujuan outcome tertentu, katakan Sektor Pangan Beras.
Studi menunjukkan secara UU, pembagian fungsi melibatkan 33 setara dirjen atau deputi dan 33 BUMN/BUMD. Masing-masing unsur tentunya memiliki kepentingan, sesuai tupoksi yang telah dibagi habis, sesuai dengan UU terkait dalam Sektor Pangan Beras.
Perpres 82/2023 menyebutkan adanya Tim Koordinasi SPBE Nasional serta memberikan penugasan kepada Peruri. Hanya dalam pandangan penulis tetap diperlukan adanya Orkestrator, yang bukan semata berfokus membangun integrasi.
Baca Juga: Prabowo Subianto Ingin Wujudkan Cita-cita Jokowi Hilirisasi Semua Sektor
Tetapi orkestrator tujuan utamanya adalah meningkatkan outcome sebagai wujud hasil integrasi, sambil tetap memperhatikan kepentingan masing-masing unsur yang terlibat.
Masalah teknis yang sejalan dengan tujuan di atas ini adalah, bahwasanya sistem pada masing-masing instansi dan BUMN/BUMD telah terbangun secara terpisah. Sehingga penyederhanaan atau penyempurnaan proses pada kementerian dalam mengintegrasikan memerlukan orkestrator yang kuat.
Sejalan dengan perkembangan jaman, dikenal adanya istilah platform Supper Apps atau Mini Program (digunakan untuk untuk menyatukan aplikasi yang terpisah-pisah untuk bisa di manfaatkan oleh pengguna tanpa perlu keluar dari satu aplikasi satu dengan aplikasi lainnya).
Baca Juga: Jokowi Dikadali, Glen Ario Sudarto Mafia Nikel Ditangkap, Siapa Lagi Berikutnya
Pertanyaan lebih lanjut apakah mengintergasikan dimaksud sudah dapat dikatakan sebagai Hilirisasi Digital? Penulis melihat pembangunan integrasi bukan titik akhir, sebaliknya ini adalah salah satu cara untuk menuju titik akhir.
Salah satu inti dari hilirisasi tentunya adalah menentukan hulunya yang mana. Apa yang menjadi asset di hulu untuk diolah di hilir. Sebagi contoh dunia material, hulu adalah bahan mentah nikel di hulu, kemudian diolah dihilir menjadi bahan setengah jadi untuk bahan baku batreai dll.
Untuk membayangkan asset apa yang ada didunia digital, kita mencoba melihat bermunculan ragamnya start up aplikasi. Secara kasat mata mereka menjaring sebanyak mungkin pelanggan. Hal ini dilakukan dengan memberikan gimmick sebagai daya tarik.
Baca Juga: Hilirisasi Nikel di Indonesia, Kemenperin: Multiplier Effect Mulai Terlihat
Selanjutnya ketertarikan pelanggan untuk tinggal dalam aplikasi dan melakukan transaksi diolah dan dijadikan sebagai informasi atau Customer Insight. Asset Digital ini yakni Customer atau customer insight yang akan dimanfaatkan oleh mitra applikasi guna menjual produk atau jasa kepada targeted customer (yakni pengguna aplikasi).
Merujuk kepada konsepsi hilirisasi, maka hulunya adalah Pelanggan, yang diolah menjadi Pengetahuan Pelanggan sebagai Asset Digital, yang kemudian digunakan untuk dimanfaatkan mitra aplikasi untuk menjual produk ke targeted customer atau sisi hilir (hilirisasi).
Hanya dalam kenyataan banyak start up aplikasi mengandalkan gimmick, dengan membakar dana promosi, yang kebanyakan bersumber dari sumber dana dari penjualan saham ke masyarakat.
Baca Juga: Ir. Wisnu Salman: Pertambangan Nikel, Mobil Listrik, dan Pencemaran Lingkungan
Penjualan saham dilakukan dengan memperlihatkan peningkatan pelanggan dan transaksi dalam aplikasi. Pertanyaan kemudian, ketika gimmick dihilangkan, apakah transaksi dan jumlah pelanggan akan tetap bertumbuh atau berjumlah tetap. Waktu membuktikan beberapa unicorn besar menurun harga sahamnya.
Masalah utama adalah kesulitan dalam berupaya mempertahankan pelanggan, sebagian tergerus karena persaingan. Ini adalah wujud Creative Distruction yang dilakukan pesaing.
Sebagai contoh dapat dilihat fenomena munculnya Tik Tok Shop. Disebut sebagi Social Commerce di mana interaksi inovasi dilakukan dengan memanfaatkan interaksi Social Media menjadi motor penggerak penjualan atau ecommerce.
Baca Juga: Ganjar Gencarkan Riset Hilirisasi Tembakau di Klaten
Di sisi lain perkembangan sharring economic, menemukan untuk meningkatkan sustainability terlihat tersedianya ekosistem digital yang sudah memiliki pelanggan tetap didunia digital.
Namun mereka belum memanfatkan pelanggan atau pengetahuan akan pelanggan untuk melakukan penjualan barang oleh mitra seperti yang dilakukan oleh start up. Hal ini masih sejalan dengan 4 industri, yang penulis anggap dapat melakukan Creative Distruction.
Waktu membuktikan, bahwa yang paling siap melakukan Creative Destruction adalah Perbankan. Hal ini dapat terlihat di Indonesia melalui Supper Apss BRIMO oleh BRO atau LiveIn oleh Mandiri. Sementara di dunia luar, hal yang serupa juga dilakukan di dunia telekomunikasi seperti Claro (Operator Telekomunikasi di Amerika Latin) atau Globe di Philippine.
Baca Juga: Prabowo Soal Debat Kedua: Hanya Gibran yang Berani Bicara Hilirisasi
Percepatan pengembangan di industri perbankan dan telekomunikasi semakin dipercepat dengan adanya dukungan inovasi teknologi, didukung oleh perusahaan ecommerce dunia, yang menjual aplikasi yang dimilikinya sebagai platform.
Penulis melihat perusahaan seperti Alibaba dan Tencent, yang semula membangun aplikasi untuk internal customer aplikasi mereka, sekarang juga menjual platform aplikasinya untuk dan dikembangkan digunakan oleh perbankan dan telekomunikasi seperti contoh di atas.
Keunggulan inovasi utama terletak dalam Gimmick. Baik bank ataupun operator telekomunikasi tidak perlu mengeluarkan gimmick sebesar startup aplikasi.
Hal ini dikarenakan pada dasarnya baik bank maupun operator telekomunikasi sudah memiliki pelanggan yang loyal dan sudah melakukan transaksi keuangan atau komunikasi.
Sehingga yang perlu diupayakan adalah bagaimana upaya meningkatkan wallet share (atau pembelanjaan non core product) sebagaimana laksana ecommerce biasa. Di sinilah peran supper apps dan pengolahan pengenalan customer.
Kalau merujuk kembali kepada pertanyaan, jadi di mana Hilirisasi Digital oleh pemerintahan. Perlu kita mengingat bahwa kita selaku Warga Negara atau Penduduk juga merupakan pelanggan dari layanan pemerintahan, baik berupa barang maupun jasa.
Baca Juga: Rinaldi Napitupulu: Hilirisasi Digital, Apakah Suatu Keniscayaan? (Bagian 1)
Ketika pemerintah mampu mengidentifikasi pelanggan secara unik dan tidak terbantahkan dalam melakukan transaksi, selain Pemerintah dan Warga Negara atau Penduduk memperoleh kemudahan transaksi, informasi yang dihasilkan akan memberikan manfaat yang diperlukan pemerintah dalam mengelola pemerintahan. Terutama dalam upaya menghidari resiko akibat krisis.
Selanjutnya insight dari pelanggan dapat juga dapat dimanfaatkan bagi pemerintahan atau BUMN/BUMD untuk menawarkan complementing product dalam menawarkan produk atau jasa kepada pelanggan. Baik itu kepada produk dan jasa langsung Pemerintah atau BUMN/BUMD atau jika diijinkan menjadi PNBP, yang dapat dimanfaatkan pihak swasta.
Di sini akan terbentuk aliansi pendukung bisnis untuk cluster tertentu. Misal cluster petani, cluster nelayan, cluster siswa dll. Sehingga terjawab asset dari hilirisasi digital adalah, pengguna sarana Digital itu sendiri, yang diolah menjadi target layanan dan selanjutnya dimanfaatkan bagi produk dan jasa baik untuk instansi, BUMN/BUMD dan pendukung produk dan jasa lainnya dalam aliansi cluster tertentu.
Sangat diperlukan adanya kehati-hatian dalam melakukan hilirisasi digital. Salah satu unsur terpenting untuk diperhatikan adalah Perlindungan Data Pribadi. Sehingga penulis juga mengajukan usulan konsep Unified ID.
Selain mampu membantu pengenalan pelanggan, juga digunakan untuk menjaga kerahasiaan pelanggan. Hal lain juga yang perlu diperhatikan bahwa jangan sampai di mana pelanggan baik Warga negara atau penduduk hanya menjadi obyek bagi perusahaan asing atau bisnis yang dilarang.
Kalau merujuk contoh sejenis pengumpulan virus penyakit, yang harus dikawal supaya obat yang dihasilkan bukan semata memberikan manfaat sebanyak-banyaknya bagi produsen obat luar negri.
Demikian juga dalam kasus Hilirisasi Digital, jangan sampai pengenalan akan konsumen (insight) bukan dijual sebatas data yang akan diperdagangan, tetapi melalui pengembangan PNBP berbasis supper apps dapat dimanfaatkan secara lebih maksimal bagi produsen produk dan jasa pengusaha dalam negeri melalui super apps.
Mungkin juga ada yang mempertanyakan, apakah ada negara yang pernah melakukan hal yang sama. Sebagai salah satu contoh mungkin dapat dilihat bagaimana Pemerintah kota Dubai mengembangkan pelayanan kota menggunakan supper apps.
Demikian pula pemerintah China, bagaimana BUMN membina UMKM, dilakukan dengan mengembangkan merchandising UMKM dengan memanfaatkan tracebility. Sehingga merchandising yang dijual bisa dihargai berbasis informasi bagaimana asal usul pembuatan atau sejarah barang tersebut dibuat dsbnya.
Hilirisasi Digital adalah suatu keniscayaan dan makin berkembang sejalan dengan inovasi. Disisi lain juga terbantu dengan kesiapan masyarakat mengadopsi digitalisasi sejalan dengan pemahaman Society 5.0. Pemerintah, masyarakat, pelaku bisnis, warga negara dan penduduk akan memperoleh manfaat.
Pengaturan Orkestrasi.
Sehingga perlu disusun Peta Perjalanan, Tahapan Pelaksanaan terlebih pengamanan sangat diperlukan. Sehingga peta peran masing-masing pemangku kepentingan dapat saling berbagi secara lebih baik, untuk mewujudkan Digital Society 5.0, sekaligus menghindari bertumbangannya bisnis start up yang didasarkan pada spekulasi terbatas.
Sehingga pada akhirnya harapan mewujudkan Indonesia emas di 2045 berbasis Bonus Demografi dapat dipercepat dengan memanfaatkan talenta dan bisnis penunjang yang terbentuk dalam Hilirisasi Digital.
(Selesai) ***