Satrio Arismunandar: Ada Kemungkinan, Kita Hidup Dalam Sebuah Mimpi atau Simulasi Raksasa
- Penulis : Dimas Anugerah Wicaksono
- Sabtu, 15 April 2023 14:26 WIB
Karena mayoritas pemeluk agama adalah orang awam dengan tingkat pemahaman yang sederhana, maka realitas yang jauh lebih tinggi itu (atau sebut saja Tuhan dalam istilah keagamaan) harus menyampaikan pesan atau menghadirkan diri-Nya melalui metafora, perlambang dan simbol-simbol.
Tidak ada cara lain, karena realitas itu memang begitu dahsyat, begitu tak terbayangkan.
Nabi-nabi adalah jenis manusia yang memiliki kapasitas berlebih dalam memahami realitas. Manusia diajak untuk memahami realitas, padahal pola pikir mayoritas manusia berada di level sederhana.
Baca Juga: Betulkah Pemimpin Nazi Jerman, Adolf Hitler Meninggal dan Dikubur di Pulau Jawa
Maka, agar pesan realitas yang disampaikan para nabi bisa diterima dan dipahami, para nabi harus merendahkan atau menurunkan level cara penyampaian pesannya ke level kapasitas audiens yang menjadi sasaran “dakwahnya.”
Ini seperti kita sebagai orang dewasa harus berurusan dengan anak kita yang masih di kelas 5 SD. Tidak mudah menjelaskan konsep tertentu pada anak kita, yang kapasitas pemahamannya masih sangat rendah, ketika dia bertanya tentang –sebut saja— kenikmatan orgasme.
“Papa, bagaimana rasa orgasme itu? Apakah enak sekali? Enaknya seperti apa?” tanya anak saya.
Maka saya mungkin akan menjawab kira-kira begini: “Nak, kamu sudah pernah makan es krim rasa stroberi ‘kan? Rasanya enak ‘kan? Nah, enaknya orgasme itu kira-kira seperti enaknya makan es krim…”
Baca Juga: Mereview Pemikiran Denny JA tentang Agama Menjadi Warisan Kultural Milik Bersama
Saya tidak bermaksud membohongi anak saya, tetapi saya memang sulit menjelaskan sesuatu yang jauh di luar jangkauan akal dan pengalamannya. Maka saya harus membuat analogi yang disesuaikan dengan tingkat pemahaman dan pengalamannya.