Satrio Arismunandar: Ada Kemungkinan, Kita Hidup Dalam Sebuah Mimpi atau Simulasi Raksasa
- Penulis : Dimas Anugerah Wicaksono
- Sabtu, 15 April 2023 14:26 WIB
ORBITINDONESIA.COM - Kalau Anda merasa hidup Anda sudah tenang, tenteram dan bahagia, sebaiknya jangan baca tulisan saya ini.
Mengapa? Karena saya khawatir, hidup Anda akan berubah menjadi penuh keresahan, kegelisahan, ketidakpastian, dan ujung-ujungnya Anda tidak bahagia. Bukankah semua orang ingin hidup bahagia?
Kalau Anda merasa kehidupan yang Anda jalani saat ini adalah realitas puncak, sesuatu yang tidak perlu dipertanyakan atau dipermasalahkan lagi, maka sebaiknya Anda juga tidak perlu membaca tulisan ini.
Baca Juga: Betulkah Lokasi Atlantis Kuno Ada di Wilayah Indonesia
Karena saya khawatir, ujung-ujungnya Anda justru jatuh ke dalam kebingungan dan dihantui banyak pertanyaan yang tak pernah berakhir.
Kalau Anda menganut suatu agama atau kepercayaan tertentu, dan Anda sudah yakin bahwa ajaran agama atau kepercayaan Anda itu sudah 100 persen benar (atau tepatnya: pemahaman dan penafsiran Anda terhadap ajaran agama itu sudah 100 persen benar), jangan lanjutkan membaca tulisan ini. Saya tidak ingin disalahkan karena “menggoyahkan iman seseorang.”
Tulisan saya ini hanya cocok untuk audiens yang “iseng” dan penasaran. Mereka yang selalu gelisah dalam pencarian. Orang yang tak pernah merasa telah mencapai titik final.
Mereka yang tidak yakin bahwa kehidupan yang dijalaninya sekarang sudah mencapai puncak yang tertinggi. Jika Anda bukan tipe orang-orang “iseng” seperti itu, sebaiknya hentikan membaca sampai di sini.
Baca Juga: Dikunjungi Pengurus DPN PKP Hasil Munaslub 2023, Try Sutrisno Beri Arahan Begini
Aahh, kenapa Anda masih terus membaca? Bukankah saya sudah memperingatkan? Tapi terserahlah, jika Anda bersikeras.
Saya akan memulai tulisan ini dengan sebuah fenomena yang kita semua pernah mengalami: bermimpi. Ternyata mimpi yang sederhana itu bisa mengisyaratkan adanya realitas lain.
Dalam mimpi, semua terasa sangat nyata. Ketika dalam mimpi itu ibu Anda meninggal, Anda merasa sangat sedih dan menangis tersedu-sedu. Ketika terbangun, Anda bersyukur bahwa itu cuma mimpi. Ternyata ibu Anda masih hidup dan sedang memasak di dapur.
Namun, ketika Anda sedang bermimpi, kejadian itu terasa begitu realistisnya sehingga Anda tidak menyadari sedang bermimpi. Jadi lapisan kesadaran yang Anda alami ketika bermimpi ternyata berbeda, atau berada di level yang lebih rendah daripada level kesadaran saat Anda dalam keadaan terbangun.
Baca Juga: Usai Dikritik Bima Yudho dan Viral di Media Sosial, Pemerintah Lampung Gercep Ngaspalin Jalan
Lapisan-lapisan Kesadaran
Mari kita telusuri lebih jauh. Persoalannya menjadi lebih rumit ketika ada “mimpi di dalam mimpi” atau “mimpi berlapis.” Saya pernah mimpi dikejar-kejar oleh monster atau makhluk yang mengerikan. Saya lalu merasa sudah terbangun dan lega bahwa monster itu cuma mimpi.
Tetapi tiba-tiba monster seram itu muncul lagi dan mengejar saya! Ternyata, meski merasa sudah terbangun, saya sebetulnya masih berada dalam dunia mimpi. Jadi mimpi di dalam mimpi. Akhirnya saya betul-betul terbangun dan monster seram itu lenyap. Ia tidak eksis.
Jadi fenomena mimpi dikejar monster itu menunjukkan, ada lapisan-lapisan kesadaran atau lapisan-lapisan realitas. Kita berada di salah satu lapisan kesadaran atau lapisan realitas tersebut.
Kadang-kadang kita turun ke lapisan kesadaran yang lebih rendah (kondisi tidur/bermimpi), dan kadang-kadang kita naik ke lapisan kesadaran yang lebih tinggi (kondisi terbangun).
Baca Juga: Inilah Mengapa Banyak Orang Jepang Malas Punya Anak, Alasan Terakhir Bikin Terpana
Saya menggunakan istilah “lapisan-lapisan” dan bukan cuma “(satu) lapisan.” Karena fenomena “mimpi berlapis” atau “mimpi di dalam mimpi” mengindikasikan, realitas bukan cuma satu atau dua.
Mungkin ada beberapa, bahkan berpuluh-puluh lapisan realitas atau lapisan kesadaran. Kita tak tahu persis berapa jumlah lapisan itu atau di mana batasnya.
Untuk menyederhanakan persoalan, kita asumsikan saja bahwa lapisan itu cuma ada dua: realitas dalam keadaan tidur (bermimpi) dan realitas dalam keadaan terbangun.
Secara jujur, harus diakui bahwa tidak ada cara jitu untuk membuktikan apakah Anda sekarang sedang berada dalam realitas yang sebenarnya (dalam keadaan terbangun) atau sedang bermimpi.
Detik-detik ini, Anda mungkin merasa berada dalam dunia nyata, penuh kesadaran, ketika sedang membaca kalimat ini. Kalimat dari artikel karya Satrio Arismunandar. Tetapi jangan-jangan ini cuma ilusi? Jangan-jangan ini cuma mimpi?
Jangan-jangan sesaat kemudian Anda akan terbangun dari tidur. Lalu merenung: “Saya kok barusan bermimpi aneh. Bermimpi membaca artikel yang ditulis Satrio Arismunandar. Tetapi Satrio itu siapa ya? Rasanya tidak ada orang yang bernama Satrio?”
Kehidupan Sebagai Mimpi
Teori kehidupan hanya sebagai mimpi adalah sebuah gagasan yang telah dieksplorasi dalam berbagai bentuk sepanjang sejarah oleh para filsuf, teolog, dan penulis.
Meskipun tidak ada kelompok terorganisir atau individu tertentu yang secara eksklusif mendukung teori ini, ada banyak orang yang menganggap konsep ini menarik.
Beberapa pendukung teori ini termasuk filsuf Yunani kuno Plato, yang berpendapat bahwa dunia material hanyalah bayangan dari realitas sejati yang ada di luar indera kita. Sedangkan filsuf India Shankara mengembangkan konsep Maya untuk mendeskripsikan sifat ilusi dari dunia fisik.
Gagasan hidup sebagai mimpi telah dieksplorasi oleh penulis seperti Jorge Luis Borges, penulis Argentina yang banyak menulis tentang sifat realitas dan ilusi waktu. Juga, David Lynch, yang filmnya sering menampilkan citra dan simbolisme seperti mimpi.
Salah satu tema karya Borges adalah sifat waktu dan hubungannya dengan realitas dan persepsi. Borges sangat tertarik dengan gagasan bahwa waktu adalah ilusi dan kenyataan pada akhirnya tidak lekang oleh waktu (timeless).
Dalam esainya "A New Refutation of Time", Borges berpendapat bahwa waktu adalah konstruksi mental, produk dari persepsi subjektif kita tentang dunia di sekitar kita. Dia percaya, waktu bukanlah realitas objektif melainkan cara kita mengatur dan memahami pengalaman kita.
Baca Juga: Masih Ditanya Keluarga Mana Pasangannya di Hari Lebaran, Coba Jawab Pakai Ini!
Implikasi dari ketidakjelasan atau sulitnya membedakan antara dunia nyata dan dunia mimpi itu bisa sangat jauh. Karena, kalau kehidupan dan dunia yang kita alami ini cuma mimpi, lalu apa arti agama atau kepercayaan pada Tuhan yang kita anut? Apakah itu juga tidak nyata, karena cuma bagian dari mimpi?
Realitas Dalam “The Matrix”
Nah, untuk menunjukkan sulitnya menentukan realitas yang kita alami, saya harap Anda sudah menonton The Matrix, film lama yang dibintangi Keanu Reeves.
Dalam film The Matrix, konsep realitas menjadi tema sentral. Ceritanya menggambarkan masa depan dystopian di mana manusia terjebak dalam realitas simulasi yang diciptakan oleh mesin hidup.
Simulasi mengacu pada proses meniru perilaku sistem atau proses menggunakan program komputer atau model matematika. Ini melibatkan penciptaan lingkungan virtual, yang berperilaku seperti sistem dunia nyata yang disimulasikan.
Baca Juga: Wali Kota Bandung Yana Mulyana Kena OTT KPK: 9 Orang dan Uang Tunai Diamankan
Realitas yang disimulasikan, yang dikenal sebagai Matrix, dirancang untuk membuat manusia tetap patuh dan tidak menyadari situasi mereka yang sebenarnya, yaitu mereka digunakan sebagai sumber energi oleh mesin.
Dalam film tersebut, konsep realitas dieksplorasi melalui karakter Neo, yang menemukan bahwa dunia yang menurutnya nyata sebenarnya adalah ilusi yang dihasilkan komputer.
Dia mengetahui bahwa tubuh fisiknya terperangkap dalam sebuah pod, sementara pikirannya terhubung ke Matrix, yang memungkinkan dia untuk mengalami ilusi kehidupan normal.
Film tersebut menimbulkan pertanyaan tentang sifat realitas. Film itu mempertanyakan, apakah apa yang kita anggap sebagai realitas adalah betul-betul nyata atau hanya konstruksi pikiran kita.
Itu juga mengeksplorasi gagasan tentang kehendak bebas, mempertanyakan apakah manusia benar-benar mengendalikan hidup mereka sendiri atau hanya mengikuti jalan yang telah ditentukan sebelumnya.
Pada akhirnya, film tersebut menunjukkan bahwa realitas itu subjektif dan dapat dimanipulasi oleh mereka yang mengendalikan teknologi yang menciptakan ilusi tersebut. Ini juga menunjukkan bahwa kebebasan sejati hanya dapat dicapai dengan melepaskan diri dari ilusi dan mengendalikan takdirnya sendiri.
Dunia Sebagai Simulasi
Gagasan bahwa realitas dan dunia kita mungkin merupakan simulasi adalah topik populer dalam filsafat, fiksi ilmiah, dan bahkan di antara beberapa ilmuwan dan teknolog.
Teori ini menunjukkan bahwa seluruh dunia kita, termasuk diri kita sendiri dan semua yang kita alami, mungkin merupakan simulasi raksasa yang dihasilkan komputer.
Salah satu versi dari teori ini, yang dikenal sebagai "hipotesis simulasi", berpendapat bahwa peradaban maju di masa depan mungkin memiliki kemampuan untuk membuat simulasi nenek moyang mereka yang sangat realistis.
Simulasi ini akan sangat meyakinkan, sehingga makhluk yang disimulasikan akan berpikir bahwa mereka nyata dan memiliki pengalaman subjektifnya sendiri, meskipun itu hanya berupa baris kode.
Gagasan tentang kehidupan sebagai simulasi menimbulkan banyak pertanyaan filosofis tentang sifat realitas, kesadaran, dan kehendak bebas.
Jika dunia kita adalah simulasi, apakah itu berarti pengalaman dan pilihan kita telah ditentukan sebelumnya oleh kode yang mengatur simulasi? Atau apakah kita memiliki hak pilihan sejati dan kemampuan untuk membuat pilihan yang memengaruhi simulasi?
Baca Juga: Simak Prediksi Pertandingan Aston Villa vs Newcastle United, Dua Tim Tengah On Fire di Liga Inggris
Beberapa pendukung hipotesis simulasi berpendapat bahwa keberadaan fenomena fisik tertentu, seperti mekanika kuantum, mendukung gagasan bahwa dunia kita mungkin merupakan sebuah simulasi.
Yang lain menunjukkan kemajuan pesat dalam teknologi dan realitas virtual sebagai bukti bahwa kita mungkin hidup dalam simulasi, yang diciptakan oleh peradaban masa depan.
Teori kehidupan atau realitas sebagai simulasi telah mendapatkan popularitas di antara beberapa ilmuwan, filsuf, dan teknolog. Berikut adalah beberapa tokoh terkenal, yang jadi pendukung teori tersebut.
Dari Elon Musk Sampai Max Tegmark
Elon Musk, CEO SpaceX dan Tesla secara terbuka menyatakan keyakinannya pada hipotesis simulasi.
Dalam sebuah wawancara tahun 2016, Musk berkata, "Ada kemungkinan satu banding miliaran bahwa ini adalah realitas dasar (base reality)." Dia juga menyarankan, jika kita hidup dalam simulasi, maka kita harus mencoba keluar dari simulasi itu.
Selain Elon Musk, ada filsuf Nick Bostrom. Bostrom mungkin adalah penganjur hipotesis simulasi yang paling terkenal. Dalam sebuah makalah tahun 2003, dia berargumen bahwa setidaknya satu dari tiga proposisi harus benar.
Proposisi pertama: "Bagian (fraction) peradaban tingkat manusia (human-level civilizations) yang mencapai tahap pascamanusia sangat mendekati nol (very close to zero)."
Baca Juga: Misogini, Kebencian dan Prasangka Buruk Terhadap Perempuan
Proposisi kedua: "Bagian dari peradaban pascamanusia (posthuman civilizations) yang tertarik untuk menjalankan simulasi leluhur (ancestor-simulations) sangat mendekati nol." Proposisi ketiga: "Bagian dari semua orang dengan pengalaman seperti kita yang hidup dalam simulasi sangat mendekati satu (very close to one)."
Sedangkan Neil deGrasse Tyson, ahli astrofisika dan komunikator sains juga mempertimbangkan kemungkinan bahwa kehidupan ini adalah sebuah simulasi. Dalam wawancara tahun 2016, dia berkata: "Saya pikir kemungkinannya sangat tinggi" bahwa kita hidup dalam simulasi.
Namun, dia menambahkan bahwa pertanyaan tentang benar-tidaknya kita hidup dalam simulasi tersebut sulit dijawab. Hal ini karena "sifat dari hipotesis simulasi adalah bahwa simulator berusaha mencegah kita untuk mendeteksinya."
Sementara itu, fisikawan dan kosmolog Max Tegmark telah banyak menulis tentang kemungkinan bahwa alam semesta kita sebagai sebuah simulasi.
Dalam bukunya Our Mathematical Universe, dia berpendapat, jika dunia kita adalah simulasi, harus ada tanda-tanda tertentu, seperti gangguan (glitches) dalam hukum fisika atau kendala (constraints) pada resolusi simulasi.
Kaitan Dengan Nabi dan Agama
Lalu bagaimana rasanya hidup dalam mimpi atau simulasi? Apa yang harus saya lakukan dalam mimpi atau simulasi tersebut? Apa makna menganut agama atau kepercayaan tertentu dalam mimpi atau simulasi tersebut?
Mimpi atau simulasi tentu adalah dua kondisi atau konsep yang berbeda. Tetapi intinya adalah sama: Dunia dan kehidupan yang kita jalani ini –seberapa pun kelihatan hebat, keren, menakjubkan dan asyik-- bukanlah sesuatu yang nyata, bukan sesuatu yang real. Ada realitas lain di luar sana, entah seperti apa.
Dalam hal memahami realitas ini, ada kemiripan dengan ajaran agama tertentu (sebut saja: Islam) bahwa sesudah kehidupan dunia ini ada dunia lain: kehidupan akhirat. Sesuatu yang lebih esensial, lebih nyata, lebih hakiki.
Baca Juga: Dijadwalkan Melepas Mudik Gratis Sabtu Pagi Wali Kota Bandung Yana Mulyana Malah Kena OTT KPK
Tentu, cara agama bicara atau menggambarkan adanya realitas atau tingkat kesadaran yang lebih tinggi itu tidak sama dengan cara ilmuwan atau cara visioner semacam Elon Musk bicara.
Karena mayoritas pemeluk agama adalah orang awam dengan tingkat pemahaman yang sederhana, maka realitas yang jauh lebih tinggi itu (atau sebut saja Tuhan dalam istilah keagamaan) harus menyampaikan pesan atau menghadirkan diri-Nya melalui metafora, perlambang dan simbol-simbol.
Tidak ada cara lain, karena realitas itu memang begitu dahsyat, begitu tak terbayangkan.
Nabi-nabi adalah jenis manusia yang memiliki kapasitas berlebih dalam memahami realitas. Manusia diajak untuk memahami realitas, padahal pola pikir mayoritas manusia berada di level sederhana.
Baca Juga: Betulkah Pemimpin Nazi Jerman, Adolf Hitler Meninggal dan Dikubur di Pulau Jawa
Maka, agar pesan realitas yang disampaikan para nabi bisa diterima dan dipahami, para nabi harus merendahkan atau menurunkan level cara penyampaian pesannya ke level kapasitas audiens yang menjadi sasaran “dakwahnya.”
Ini seperti kita sebagai orang dewasa harus berurusan dengan anak kita yang masih di kelas 5 SD. Tidak mudah menjelaskan konsep tertentu pada anak kita, yang kapasitas pemahamannya masih sangat rendah, ketika dia bertanya tentang –sebut saja— kenikmatan orgasme.
“Papa, bagaimana rasa orgasme itu? Apakah enak sekali? Enaknya seperti apa?” tanya anak saya.
Maka saya mungkin akan menjawab kira-kira begini: “Nak, kamu sudah pernah makan es krim rasa stroberi ‘kan? Rasanya enak ‘kan? Nah, enaknya orgasme itu kira-kira seperti enaknya makan es krim…”
Baca Juga: Mereview Pemikiran Denny JA tentang Agama Menjadi Warisan Kultural Milik Bersama
Saya tidak bermaksud membohongi anak saya, tetapi saya memang sulit menjelaskan sesuatu yang jauh di luar jangkauan akal dan pengalamannya. Maka saya harus membuat analogi yang disesuaikan dengan tingkat pemahaman dan pengalamannya.
Oleh karena itulah, realitas yang disampaikan para nabi dan kitab suci tidak harus semata-mata ditafsirkan secara tekstual.
Dalam memahami teks, ada level-level pemahaman dan rahasia-rahasia yang hanya bisa dipahami oleh orang-orang terpilih. Untuk masyarakat awam, mereka sudah cukup puas dan bahagia dengan pemahaman tekstual tentang realitas.
Maka narasi tentang keindahan surga dengan sungai-sungai di dalamnya, dengan istana emas dan kursi-kursi bertatahkan permata, dengan ratusan ribu bidadari yang kecantikannya bisa menyilaukan mata dunia, saya duga adalah metafora untuk mengungkapkan sekaligus menyembunyikan realitas sebenarnya. Masing-masing manusia memahami realitas sesuai kapasitasnya.
Lalu bagaimana rasanya menjalani hidup dengan penuh kesadaran, sebagai bagian dari mimpi atau simulasi raksasa ini? Apa arti kebahagiaan dan penderitaan di dunia mimpi dan simulasi ini? Untuk itu, dibutuhkan sebuah tulisan terpisah lagi.
Untuk target tulisan ini, cukuplah jika Anda memahami mengapa saya merasa hidup ini mungkin cuma mimpi atau sebuah simulasi.
Depok, 12 April 2023
*Satrio Arismunandar adalah entitas yang terkurung dalam mimpi atau simulasi, dan di dalam mimpi atau simulasi itu dia berperan sebagai warga RT 02 RW 027 Depok II Tengah, dan Sekjen Perkumpulan Penulis Indonesia SATUPENA. ***