Konflik Suku Asli Lampung vs Pendatang Bali 2012 dalam Puisi Esai Denny JA
- Penulis : Dimas Anugerah Wicaksono
- Rabu, 07 Desember 2022 07:38 WIB
Puisi esai ini ditutup dengan baris "Tiga tahun sudah,/Ia lebih memikirkan yang mati/Tiga tahun sudah ia tak memperhatikan tanggung jawabnya kepada yang hidup".
Puisi esai DJA yang mengangkat kerusuhan di Lampung bukan hanya untuk mengingatkan pada peristiwa berdarah dan melukai hati kemanusian setiap manusia.
Ada yang lebih penting, bahwa dendam, amarah, amok dan serupa itu, harus segera dibuang. Agar keharmonisan dalam berbangsa dijaga baik. Itulah filosofi manusia Indonesia, yang bersuku-suku namun satu dalam keragaman.
Telaah DJA amat mendalam tentang peristiwa Balinuraga Lampung Selatan. Kerusuhan antaretnis di Lampung itu ia ramu dengan apik.
Inilah yang menjadikan kelima puisi esai yang mengupas Balinuraga sebagai bacaan yang lincah, mengalir, dan jernih.
Misalnya ia buka salah satu puisi esainya dengan begini: “Gunung berapi meletus di Lampung//Tapi ini bukan gunung sebenarnya/ini gunung di dalam badan Dewo...”
Kalimat itu ada di dua bait puisi esai DJA berjudul “Lari Cucuku, Lari Sekencangnya”.
Dalam puisi esai ini, DJA mengapungkan rasa bersalah dalam diri Dewo karena ketakmampuannya bertindak/berbuat saat terjadi kerusuhan. Padahal secara kemampuan, ia mampu. Seorang pandai silat. Tetapi, itu ia tak lakukan. Ia bukan seorang pemberani. Akhirnya penyesalan dan rasa sesal itu menghantui benaknya selama bertahun-tahun.
Dewo merantau ke Jakarta ingin melupakan sesalnya, namun justru semakin menghantui. Satu-satunya ialah kembali ke Balinuraga.
Ia ajak Nami, istrinya yang juga dari Balinuraga, ke kampung kelahiran di Lampung Selatan. Ia meminta ampun. Duduk bersimpuh, dan diciumnya tanah yang dulu bersimbah darah sang kakek.