Konflik Suku Asli Lampung vs Pendatang Bali 2012 dalam Puisi Esai Denny JA
- Penulis : Dimas Anugerah Wicaksono
- Rabu, 07 Desember 2022 07:38 WIB
Puisi-puisi esai di sini, khususnya ihwal Balinuraga, menyoal nilai diri (piil pesenggiri, marwah), kebudayaan, dan nilai-nilai kekerabatan orang Lampung Saibatin.
Dari kelima pues DJA, sebagai pembaca kita dapat belajar banyak tentang kekerabatan, persaudaraan, serta kemanusiaan. Nilai-nilai yang sesungguhnya universal.
Membaca lima puisi esai DJA dalam Jeritan Setelah Kebebasan (CBI, Oktober 2022) merupakan bagian dari empat subjudul, saya yakin menarik untuk dikaji lebih dalam lagi. Apalagi “kasus-kasus” yang dipilih begitu familiar dalam “pembacaan” kita sebagai orang Indonesia, dan mengundang keingintahuan bagi pembaca di luar Indonesia.
Semisal soal kerusuhan Mei 1998 yang terjadi jelang jatuhnya rezim Soeharto, atau soal Dayak-Madura, Lampung-Bali.
Dalam pengantar buku ini, DJA mengatakan secara keseluruhan, negara terlihat seolah mengabaikan konflik yang sudah membuahkan pelanggaran hak asasi manusia yang berat. (hal. VIII).
Sejumlah NGO–seingat saya yakni LSM Damar, Komite Anti Korupsi (KoAK), AJI, LBH Lampung–menggelar malam seni di Bandar Lampung. Juga melakukan pendekatan kepada kedua belah pihak.
Ini semua dilakukan untuk meredam kerusuhan agar tak berlanjut.
Agenda yang sempat tercetus kala itu, sekiranya kerusuhan antaretnis di Kalianda Lampung Selatan lama reda, dan memungkinkan korban lebih banyak dan kehancuran di kampung Balinuraga semakin besar, para relawan dari NGO akan turun ke lapangan. Menggalang solidaritas, mempersuasi kedua belah pihak. Dengan cara dialog maupun pertunjukan seni.
Di negeri ini, masalah SARA sangat rentan, karena itu mudah tersulut. Pendekatan budaya memang dibutuhkan untuk meredam “api” yang gampang membesar.
Salah satunya dengan kesenian (sastra). Sebab sastra membawa pesan, menyentuh hati terdalam. Berbeda dengan karya jurnalistik: ia hanya mengantar kabar.