Konflik Suku Asli Lampung vs Pendatang Bali 2012 dalam Puisi Esai Denny JA
- Penulis : Dimas Anugerah Wicaksono
- Rabu, 07 Desember 2022 07:38 WIB

Apatah lagi, pertikaian dua etnis di Lampung Selatan itu teramat pahit. Terutama, ini diakui keluarga Asif.Ia buka mata, sebesar-besarnya, melihat realita, melihat jalan,
melihat pohon, tapi yang terlihat hanya wajah Asif
“Asiiiiiiifffff, mengapa kau menyerah...? (144)
Alangkah pilu, cinta kedua manusia yang disatukan oleh kebangsaan, namun dibedakan oleh suku dan agama.
Sesuatu yang bisa menjadi musykil, tapi ini realita yang kerap kita jumpai.
Puisi esai yang bertema kerusuhan etnis Lampung-Bali ini ditutup dengan “Benda Pusaka yang Berdarah” (145-155). Senjata tajam khas orang Lampung (pesisir), candung, dianggap pusaka yang mesti dirawat dan dijaga sebagai peninggalan leluhur.
Suatu waktu di kala terjadi kerusuhan antaretnis, benda pusaka itu dikeluarkan. Oleh Prabu. Bahkan dibawa ke dalam pertempuran. Di ujung candung itu nyawa orang Bali melayang. Darah membekas.
Akibatnya, Prabu diusir oleh ayahnya. Ia telah menempatkan senjata pusaka salah.
Golok itu bukan untuk membunuh melainkan untuk dirawat sebagai benda pusaka. Sepuluh tahun lebih Prabu tak lagi pulang. Desa yang melahirkannya, desa yang mengasuhnya hingga remaja. Sampai pada malam yang kelam dan mengerikan.
Ia kembali justru saat ayahnya wafat. Tetapi ia tak lagi punya air mata. Tiada kesedihan. Seakan hatinya sudah berjarak dengan ayahnya.