DECEMBER 9, 2022
Orbit Indonesia

Denny JA: Kakakku Berburu Kepala; Konflik Sampit, Suku Dayak versus Suku Madura, 2001

image
Kakakku Berburu Kepala

ORBITINDONESIA - Pendiri OrbitIndonesia.com, Denny JA memiliki keprihatinan yang mendalam terhadap berbagai konflik SARA yang pernah terjadi di Indonesia.

Bagi Denny JA, begitu banyak korban manusia dari konflik itu sehingga harus segera diatasi, syukur-syukur bisa dicegah jangan sampai terjadi.

Karena keprihatinan itulah, Denny JA menyempatkan menulis puisi dan berbagai esai tentang isu konflik bernuansa SARA di Indonesia. Berikut ini puisi esai mini karyanya:

Baca Juga: Tidak Dapat Diwakilkan, Begini Cara Terima Bansos PKH Tahap 3 Periode Juli 2022

KAKAKKU BERBURU KEPALA

- Konflik Sampit, Suku Dayak versus Suku Madura, 2001

Denny JA

Teks di WA japri itu singkat saja.
“Kakakmu, Ampong, wafat tadi pagi. Ia tinggalkan barang yang paling disayanginya: Mandau. Pesannya: Mandau ini untukmu.”

“Ampong juga mohan maaf jika ia menyakitimu. Aku selaku istrinya juga prihatin. Kalian berdua dulu kakak adik yang sangat akrab. “

Baca Juga: Robert Lewandowski Resmi Milik Barcelona 4 Tahun ke Depan, Penggemar: Welcome to Our Family LEWANGOALSKI

“Tapi kini, dua puluh tahun sudah kalian bermusuhan. Tak saling berkabar. Kakakmu sudah wafat. Sudahilah pertengkaran kalian.”

“Konflik Suku Dayak dan Suku Madura itu memisahkan kalian.”

Dahen membaca teks itu, berulang- ulang. Lama ia terdiam.

Teks istri kakaknya itu membawa masa silam datang kembali.

Baca Juga: Bagaimana Cara Mengecek Nama Penerima Bansos PKH Tahap 3? Simak Tahapannya di Sini

Konflik mengerikan suku dayak melawan suku madura, di Sampit, tahun 2001, dua puluh tahun lalu, keluar serentak, berhamburan dari memorinya.

Jeritan kesakitan 500 orang yang mati dibunuh dalam konflik itu bergema di plafon kamarnya, bergetar dari dinding- dinding.

Lebih dari 1000 pengungsi akibat konflik itu ketakutan dan menangis, dari masa lalu, hadir kembali dalam ruangannya.

Dan ini gambar yang paling Dahen tak suka. Awal permusuhan panjang Dahen dan Kakaknya, Ambong.

Baca Juga: Waspada, Modus Operandi Kejahatan Baru di Resepsi Pernikahan

Lebih dari 100 kepala orang Madura dipancung suku Dayak. (1) Itu tradisi lama dayak: Ngayau.

Musuh tak cukup dibunuh. Sumber kekuatan musuh ada di kepala manusia.

Kepala musuh harus dipancung, dibawa pulang, dijadikan bagian pesta pora dan ritual adat.

Dahen menepuk- nepuk pipinya kiri dan kanan.
Ia ingin imajinasi itu pergi dari pikiran.

Baca Juga: Arema FC Luncurkan Bus Baru yang Elegan untuk Tim

Tapi bayangan Lebih dari 100 kepala orang Madura itu bergelantungan di jendela, di pintu dan di lemarinya.

“Ampuun, ampuun. Stop. Stoooppp!!! “

Dahen memukul- mukul meja. Ia tak ingin bayangan itu berlama- lama menghantuinya.

-000-

Sampit, Kalimantan Tengah, tahun 2001.
Saat itu, usia Dahen 30 tahun.
Usia Ambong 33 tahun.

Baca Juga: Wakapolri Komjen Gatot Eddy Pramono Raih Gelar Guru Besar dari Universitas Riau

Berdua, bersama ribuan warga Dayak lain, mereka memendam marah,
memendam cemburu kepada pendatang suku Madura.

Awalnya, di tahun 1930.
Suku Madura bertransmigrasi ke Kalimantan Tengah.
Mereka beranak- pianak.
Kini jumlah suku Madura, membengkak.
Sangat banyak.
Total lebih 21 persen dari semua populasi di sana.

Tapi banyak orang Madura sangat lincah.
Mereka lebih sejahtera.
Lebih menonjol di perkebunan.
Lebih kuasa di pertambangan.
Lebih hebat di perdagangan.
Juga lebih petantang- petenteng di kehidupan malam.

Baca Juga: Fosil Manusia Berusia 1,4 Juta Tahun Ditemukan di Spanyol, Peradaban Pertama di Eropa

Suku Dayak dan Suku Madura tak menyatu.
Satu air, satu minyak.
Sudah banyak terdengar terjadi konflik.

Ada kabar orang dayak diperkosa orang Madura.
Rumah Madura dibakar orang Dayak.

Ada selintingan tanah orang Dayak diambil orang Madura.
Ada pula kabar satu keluarga Madura dihajar habis orang Dayak.

Ada bara dalam sekam.
Api siap menyala.
Gunung siap meletus.

Baca Juga: Duh, Google dan YouTube Belum Muncul di Daftar PSE Kemkominfo, Diblokir?

Semua terdengar oleh Dahen, seperti angin lalu.
Entah benar, entah tidak. Dahen tak melihatnya sendiri. Hanya kabar dari mulut ke mulut.

Tapi Dahen ingat itu peristiwa. Dahen, Ambong dan puluhan orang Dayak, dikumpulkan oleh Hanyi. Ia tokoh suku Dayak yang dihormati, dituakan.

Itu hari ketika langit di Sampit menghitam.
Roh dari alam baka berterbangan.
Burung- burung aneh dari masa purba hinggap di pohon, di tiang- tiang listrik.

Udara panas, ibu dari segala amarah, menyelinap di hati.

Baca Juga: Kapolres Metro Jakarta Selatan dan Karo Paminal Divisi Propam Dinonaktifkan

“Para kerabat, sedulur, keluarga besar. Dengarlah. Dayak harus bersatu. Dayak harus melawan. Ini tanah leluhur kita.”

“Itu suku Madura hanya pendatang. Mereka menumpang di sini.

Tapi mereka merasa lebih kuasa. Berani- beraninya, mereka menyiksa kita pula. Membantai kita pula. Menantang kita pula.”

Hanyi berorasi.
Ia menyiram bensin banyak sekali kepada kayu kering yang siap membakar.

Baca Juga: Satupena Akan Diskusikan Peran Mantan PM Shinzo Abe dan Demokrasi Ala Jepang

“Dengarlah.
Saya bacakan peristiwanya. “

Hanyi mengambil buku tulis. Ia mencatat banyak kejadian di buku itu. (2)

“Tahun 1972 di Palangka Raya, gadis Dayak diperkosa oleh pemuda Madura.

Tahun 1982, seorang Dayak dibunuh, tidak ada penyelesaian.”

Tahun 1983 di Kasongan, satu Dayak dikeroyok 30 orang Madura.

Tahun 1996 di Palangka Raya, gadis Dayak diperkosa dan dibunuh di bioskop.”

Baca Juga: Rasulullah SAW Sangat Perhatian Kepada Seorang Pemuda Jomblo Sehingga Dibantu untuk Bisa Menikah

Hanyi kembali membakar.
“Handai taulan dan kerabat.
Itu semua nyata. Apakah kita diam saja?” Apakah kita biarkan saja?”

Massa mulai panas.
Masa berteriak: “Tidak! Lawan!” Lakukan pembalasan!”

“Ini peristiwa tambahan,” ujar Hanyi.

“Tahun 1997 di Barito Selatan, dua orang Dayak dikeroyok 40 orang Madura.

Tahun 1998 di Palangka Raya, orang Dayak dikeroyok empat orang Madura.

Tahun 2000 di Kasongan, seorang Suku Dayak dibunuh orang Madura.”

Baca Juga: Keinginan Warga Kalimantan Timur, Ibu Kota Nusantara, Belum Pernah Diinventarisasi dengan Komprehensif

Dahen panas mendidih.
Tapi, ia juga bertanya dalam hati.

“Mengapa Hanyi hanya kabarkan berita sepihak?
Hanya Dayak yang diserang Madura?
Bukankah banyak juga kasus,
Madura yang diserang Dayak?”

Namun Dahen tak berani membantah.
Massa sudah meletus.

Datanglah hari itu.
Hari yang tak pernah Dahen lupakan.
Hari yang kini ia kenang dengan banyak penyesalan.

-000-

Baca Juga: Denny JA: Ibu Kota Nusantara Perlu Memperhatikan Kekayaan Budaya Lokal

Itu hari tanggal 18-21 Febuari, 2001.
Tiga hari yang membara.

Saat itu, arwah para leluhur dayak berkumpul. Kekuatan magis dari tanah, air dan udara, dari masa yang sangat lama, sangat jauh, datang, menyatu.

Suku Dayak membalas.
Amarah meletup dari magma gunung di sanubari.

Pembantaian orang Madura di Sampit.
Ngeri.
Ngilu.
Kepala dipenggal.
Kepala dibakar.
Kepala ditusuk.

Baca Juga: Buntut Main Mata Vietnam dan Thailand, Banyak Pihak Sarankan Indonesia Keluar dari AFF dan Gabung EAFF

Puluhan Kepala-kepala itu,
dipisahkan dari badannya,
diarak- arak, diacung- acungkan ke langit,
diseret, dirayakan keliling Kota Sampit, dijadikan upacara.

Oh, tiada yang berani menghalangi.
Tidak polisi.
Tidak tentara.

Tiga hari itu,
Neraka turun ke kota sampit, kabupaten Kotawaringin, kalimantan tengah.

Sebanyak 500 orang Madura terbunuh.
Sebanyak 100.000 orang Madura mengungsi.

Baca Juga: Sepakat Cerai dengan Sule, Nathalie Holscher Dijanjikan Santunan Rp25 Juta untuk Besarkan Adzam

Dari Sampit, bara api meletus, meluas.
Neraka menyebar ke Kuala Kayan, ke Palangkaraya, ke Kuala Kapus, ke Pangkalanbun.

Hanyi dan tokoh Dayak berseru:
“Ini hari, hari kebangkitan Suku Dayak. Kita bersihkan tanah leluhur kita dari orang Madura.”

Massa bersorak: “Hidup Dayak! Bangkit kembali Dayak.”

Mandau, parang, tombak diacung- acungkan ke langit.
Kepala- kepala manusia yang dipenggal adalah pemuas amarah, bagian dari ritus purba yang suci.

Baca Juga: Beberapa Manfaat yang Bisa Anda Dapatkan dengan Minum Kopi, Asalkan Teratur

Suku Madura tak menduga.
Begitu hebat gunung meletus.
Begitu ngeri ombak laut menggulung.
Ribuan burung- burung kematian, terbang, menakutkan di langit Kota Sampit.

Sebanyak 90 persen populasi Madura kabur,
menyelematkan diri.

Korban tewas meningkat.
Oh, 1300 jiwa melayang.

Langit, tanah, angin dan air di kota Sampit menjadi saksi.
Sebuah konflik etnik terbesar dalam sejarah Indonesia, berlangsung sudah.

Baca Juga: Beberapa Manfaat yang Bisa Anda Dapatkan dengan Minum Kopi, Asalkan Teratur

Ribuan roh dari masa lalu, dari abad- abad lampau, keluar dari persembunyiannya.

Di abad 21, pesta pora dan ritual memenggal kepala manusia telah terjadi.
Di Indonesia.
Di Kalimantan Tengah.
Di kota Sampit.

-000-

Dalam peristiwa itulah,
Dahen dan Ambong berkelahi.
Mereka, dua kakak adik, hampir saling membunuh.

Masing- masing sudah menyabetkan Mandau.
Dahen luka di kaki.
Ambong luka di tangan.
Mereka hanya bisa dilerai oleh Ayah mereka sendiri.

Baca Juga: Tips Mendapatkan Tidur Berkualitas, Bangun Segar di Pagi Hari dan Energik Menjalani Aktivitas

Hingga hari ini, Dahen berjalan pincang. Jejak luka disabet Mandau kakaknya sendiri, Ambong, tetap tinggal di kakinya.

“Kau keterlalun. Ada iblis yang masuk ke jiwamu.”

Itu kalimat keras sekali, dilontarkan Dahen kepada Ambong, kakaknya. Di tahun itu, 2001.

Dahen marah karena Ambong memberi arahan. Tradisi lama Dayak, Ngayau, memenggal kepala, perlu dihidupkan lagi.

Suku Madura hanya bisa dikalahkan, dibuat takut, jika suku Dayak kembali ke jati dirinya. Ritus memenggal kepala.

Baca Juga: Catat, Inilah Aturan Olahraga Lari yang Baik dan Sehat untuk Tubuh

“Kau yang keterlaluan. Kau yang penghianat,” balas Ambong kepada Dahen.

“Kau malu dengan identitas Dayakmu? Ngayau itu adalah Dayak. Memenggal kepala itu adalah Dayak. Kau bisa apa? Itu tradisi!”

Dahen membalas: “Dayak juga berubah. Itu Dayak masa lalu. Kau lupa? Atau berlagak tak tahu sejarah sukumu?”

Tak kalah kencang, Dahen berteriak. “Leluhur kita pernah berkumpul, pernah sepakat. Ngayau sudah ditinggalkan. Memenggal kepala itu bukan lagi bagian Dayak.” (3)

“Kau Dayak kuno! Aku Dayak modern.”

Baca Juga: Ini Syarat Lengkap Supaya Biaya Persalinan Ibu Hamil Ditanggung oleh Negara

Akhirnya, mandau yang bicara. Parang khas suku Dayak diayunkan Ambong. Dahen menangkis, dan berbalik mengayunkan mandau ke tubuh Ambong.

Ibu mereka berterik menangis. Hanya Ayah yang bisa menghentikan.

Kaki Dahen berdarah, agak parah. Tangan Ambong juga berdarah. Cukup parah.

Tak lama setelah konflik Madura dan Dayak reda, tahun 2003, Dahen ke Jakarta. Kota Sampit menyimpan luka. Terlalu banyak. Terlalu ngilu.

“Aku harus pergi dari sini,” tekad Dahen.
Ia pun ke Jakarta. Bekerja di ibukota negara. Berkeluarga di sini.

Baca Juga: Mahkamah Konstitusi Juga Tolak Gugatan Uji Materi UU IKN yang Diajukan Din Syamsuddin

Sejak pertarungan itu, Dahen dan Ambong tak pernah tegur sapa.

2022, hampir dua puluh tahun berlalu. Dahen dapat kabar Ambong wafat.

-000-

Sore itu, Dahen kembali ke Kota Sampit. Ia ambil warisan kakaknya: Mandau.

Ini Mandau sangat disayangi kakaknya. Dipuja bagai pusaka. Mandau ini pula yang melukai kakinya.

Ia bawa mandau itu. Ziarah ke makam kakaknya, Ambong.

Baca Juga: Mahkamah Konstitusi Tolak Uji Materi UU Ibu Kota Negara!

Sore itu sepi. Hanya ada Dahen dan makam itu. Tanah makam Ambong masih merah. Baru seminggu jazadnya dikubur di sana.

Dahen duduk tafakur. Diletakkannya Mandau itu di atas makam.

“Ambong, kakakku. Maafkan jika aku menyakitimu. Kesalahanmu sudah aku maafkan juga.

Kita memang tak sejalan. Tapi kau tetap kakakku. Kakak sedarah. Kakakku satu- satunya.”

Dahen mencium pusara kakaknya.
Serentak terbayang suasana di masa kecil, di sawah.

Baca Juga: Kepolisian Persilakan Keluarga Brogadir J Ajukan Permohonan Autopsi Ulang dan Tunjuk Dokter Ahli Forensik

Dahen 7 tahun.
Ambong 10 tahun.
Kaki Dahen berdarah terkena pecahan kaca.

Dahen menangis. Ambong menenangkannya. “Dik, ada kakak di sini. Kakak akan merawatmu.”

Ambong mengendong Dahen, melewati sawah, pulang ke rumah.

Dahen manja kepada kakaknya. Sungguh terasa, kakak sayang padanya. Menjaganya. Melindunginya.

Saat itu, Kota Sampit begitu tenang. Damai. Suara burung berkicau. Gemercik bunyi air sungai. Angin meniup sepoi. Tipis saja.

Baca Juga: Terlengkap, Ini Daftar Harga Minyak Goreng Kemasan di Indomaret dan Alfamart Per 20 Juli 2022

Dahen mencium lagi pusara kakaknya. Air matanya menetes.

Dahen juga mendatangi makam suku Madura.
Ia taburkan bunga di sana.
Seraya, Dahen memohon maaf, dari hati yang terdalam.

Maaf atas tragedi itu.
Tragedi 20 tahun lalu.*

Juli 2022

Baca Juga: Lagi, Pemerintah Ingatkan Jemaah Haji Indonesia Gelombang II Tidak Merokok di Masjid Nabawi

CATATAN

1). Pemengggalan kepala mewarnai konflik etnis Dayak verus Madura di Sampit, 2001

https://regional.kompas.com/read/2022/01/24/170506878/ngayau-tradisi-perburuan-kepala-yang-membuat-suku-dayak-ditakuti-musuh?page=all
https://m.liputan6.com/news/read/9010/dan-kepala-bocah-pun-dipenggal

2). Peristiwa awal konflik Madura versus Dayak diambil dari sini:

https://phinemo.com/sejarah-perang-dayak-vs-madura-persetruan-antar-etnis-terbesar/

3). Perjanjian Tumbang Anoi antar suku Dayak menyepakati suku Dayak tak lagi menggunakan ngayau, memenggal kepala sebagai cara menghadapi konflik.

https://www.nusapedia.com/2015/07/perjanjian-tumbang-anoi-menelisik.html?m=1


-000-

# Puisi Esai Mini ini bagian dari buku “JERITAN SETELAH KEBEBASAN” yang segera terbit (Denny JA, 2022).

Ini kumpulan kisah konflik primordial di Era Reformasi: Konflik agama di Maluku (1991-2002), Konflik suku dayak versus madura di Sampit (2001), Konflik Rasial di di Jakarta (Mei 1998), Konflik Ahmadiyah di Mataram (2002-2017), dan konflik pendatang Bali dan penduduk Asli di Lampung (2012).***

Berita Terkait