DECEMBER 9, 2022
Buku

Resensi Buku Guns, Germs, and Steel: Menyingkap Peta Kemenangan dan Membaca Ulang Guns, Germs, and Steel (1997)

image
Sumber Buku: https://www.gramedia.com/products/guns-germs-steel-new?srsltid=AfmBOorheO8ieMCjLM5eAdA6695Dn9ZBBR0V__Fl6L6KhMcncPY3lopF

ORBITINDONESIA.COM- Buku ini adalah salah satu karya magnum opus dari Jared Diamond yang diterbitkan pada tahun 1997. Buku ini kemudian dilanjutkan oleh Jared Diamond pembahasannya dalam buku Collapse: Collapse: How Societies Choose to Fail or Succeed yang terbit pada 2005, lalu diperbarui pada 2011.

Kekuasaan Tidak Datang dari Kecerdasan, Tapi dari Letak Geografis

Ada masa ketika sejarah dunia ditulis dari atas podium pemenang, dan setiap kejayaan Eropa dijelaskan lewat teori tentang superioritas ras, budaya, atau kecerdasan. Maka lahirlah mitos-mitos: bahwa orang kulit putih memang diciptakan untuk menaklukkan, bahwa teknologi hanyalah produk kecerdasan individual, bahwa sejarah berjalan lurus ke arah peradaban Barat. Tapi di tangan Jared Diamond, semua itu dicabut akarnya.

Baca Juga: Resensi Buku Age of Empire: 1875–1914: Sihir Kekuasaan dan Darah Koloni

Dalam Guns, Germs, and Steel (1997), Diamond menyampaikan satu tesis besar yang terasa seperti palu godam yang menghantam dinding-dinding keyakinan kolonial: keberhasilan suatu peradaban bukan ditentukan oleh ras, tetapi oleh geografi.

Bukan karena orang Eropa lebih cerdas, tetapi karena mereka hidup di lingkungan yang secara kebetulan memberi mereka keuntungan ekologis—tanaman yang mudah didomestikasi, hewan besar yang bisa dijinakkan, dan bentang alam yang mempermudah penyebaran teknologi dan ide.

Bayangkan: dua komunitas manusia, satu di Lembah Tigris dan satu lagi di pedalaman Papua. Yang satu memiliki gandum liar, sapi, kuda, dan poros benua yang memanjang dari timur ke barat.

Baca Juga: Resensi Buku Harus Bisa!: Membaca SBY, Mengupas Kekuasaan dengan Senyum dan Strategi

Yang lain hidup dalam kesulitan menjinakkan flora-fauna, terisolasi oleh medan dan iklim. Dalam jangka waktu ribuan tahun, perbedaan itu bukan hanya soal makanan, tapi menciptakan lompatan: surplus pangan, kota, kerajaan, senjata, dan pada akhirnya—penaklukan.

Diamond tidak menyalahkan korban. Ia juga tidak mengagungkan pemenang. Ia hanya memetakan ulang peta sejarah manusia berdasarkan variabel-variabel yang selama ini dianggap remeh: iklim, tanah, hewan, dan benih.

Dengan demikian, ia memperlihatkan bahwa sejarah bukan hasil dari “siapa yang lebih baik,” melainkan “siapa yang lebih beruntung secara geografis.”

Baca Juga: Resensi Buku Bayangan yang Tumbuh dari Revolusi: Membaca The New Class (1957) Karya Milovan Djilas

Yang paling menggugah adalah cara Diamond menjelaskan peradaban bukan sebagai garis linear, tapi sebagai cabang-cabang evolusi yang tumbuh dan kadang saling berbenturan. Dalam benturan itu, senjata, penyakit, dan logistik sering kali lebih menentukan daripada filsafat atau puisi.

Senjata, Kuman, dan Baja: Tiga Penakluk yang Tak Terlihat.

Judul buku ini memang memikat: Guns, Germs, and Steel. Tapi jangan salah: ini bukan kisah tentang teknologi militer, bukan juga glorifikasi pencapaian industri. Yang dilakukan Diamond adalah menelusuri bagaimana tiga kekuatan tersebut—senjata, penyakit, dan logam—menjadi alat-alat dominasi yang merobohkan peradaban lain secara sistematis.

Kita dibawa ke tahun 1532, saat Francisco Pizarro dengan 168 prajuritnya menaklukkan Kekaisaran Inca yang memiliki puluhan ribu pasukan. Bagaimana mungkin? Diamond menunjukkan bahwa kemenangan itu bukan semata karena keberanian atau strategi, tapi karena superioritas teknologi (senjata api dan baja), serta sekutu tak terlihat: virus cacar.

Kuman yang dibawa dari Eropa, tak sengaja, membunuh jutaan penduduk asli Amerika sebelum mereka sempat mengangkat senjata. Secara tidak langsung virus yang dibawa oleh pasukan Spanyol ini yang turut membantu mereka dalam mengkolonisasi dan menghancurkan peradaban Inca. Bangsa Inca tidak punya auto-imun alami untuk penyakit ini, sebab bukan endemik di negeri mereka. 

Ironisnya, sebagian besar kuman mematikan itu berasal dari hewan domestik seperti sapi, babi, dan ayam—yang telah hidup berdampingan dengan manusia Eropa selama ribuan tahun.

Karena itulah, orang Eropa perlahan mengembangkan kekebalan, sementara penduduk benua lain tak pernah punya kesempatan berevolusi menghadapi patogen tersebut. Maka kolonialisme bukan hanya penaklukan senjata, tapi juga epidemi yang dikirim oleh sejarah ekologis.

Dalam pandangan Diamond, kekuatan tak selalu kasatmata. Bahkan baja pun, yang dalam narasi Barat dianggap simbol peradaban, sebenarnya hanyalah produk dari proses akumulasi panjang: dari pertanian yang efisien hingga pembagian kerja dan urbanisasi. Baja tidak muncul dari kejeniusan individu, melainkan dari kondisi sosial-ekonomi yang disiapkan oleh geografi.

Yang membuat narasi Diamond menggigit adalah penolakannya terhadap penjelasan berbasis etnis, agama, atau kultur semata. Bukan berarti ia menolak peran budaya, tapi ia menempatkannya sebagai hasil, bukan penyebab utama.

Inovasi terjadi bukan karena satu ras lebih kreatif, tapi karena satu wilayah memiliki lebih banyak kesempatan untuk mencoba dan gagal dalam skala besar.

Dalam dunia yang terus memuliakan "self-made man" atau “great leaders,” Guns, Germs, and Steel datang seperti bisikan pahit: bahwa sejarah lebih sering ditentukan oleh arus besar dan bukan oleh individu heroik. Kita semua, dalam pandangan ini, adalah anak dari medan, iklim, dan benih yang disediakan tanah kita.

Dunia yang Tidak Seimbang: Mitos Kemenangan dan Kewajiban Mengingat.

Membaca buku ini hingga akhir, kita bukan hanya diajak melihat kembali sejarah dunia dengan sudut pandang baru. Kita juga dipaksa untuk mengakui bahwa dunia ini tidak pernah adil sejak awal.

Kesenjangan antara negara maju dan negara berkembang bukan hanya karena korupsi atau ketidakefisienan, tapi karena struktur dunia telah berat sebelah sejak ribuan tahun lalu.

Diamond tidak menyalahkan siapa pun secara pribadi. Tapi justru karena itulah, analisisnya begitu mencemaskan. Ia memberi kita narasi global yang tampak netral, tapi sarat implikasi: bahwa perbedaan kekuasaan hari ini tidak bisa dilepaskan dari sejarah panjang ketimpangan geografis, epidemiologis, dan agrikultural.

Negara-negara tropis, misalnya, sejak awal menghadapi lebih banyak tantangan pertanian, penyakit endemik, dan iklim yang menghambat penyimpanan hasil panen. Maka ketika revolusi industri meledak di Eropa, dunia lainnya masih disibukkan oleh pertarungan harian dengan alam.

Buku ini bukanlah undangan untuk pesimis. Justru sebaliknya, ia membuka jalan menuju pemahaman yang lebih adil. Jika kita mengerti bahwa kemajuan bukan semata soal kerja keras, maka kita bisa berhenti menyalahkan yang tertinggal sebagai "malas" atau "terbelakang."

Kita bisa mulai merancang kebijakan yang memperhitungkan ketimpangan historis dan ekologis, bukan sekadar menaikkan target pertumbuhan.

Namun di sisi lain, Guns, Germs, and Steel juga memunculkan semacam kekosongan filosofis. Karena jika segalanya ditentukan oleh lingkungan, lalu di manakah kehendak bebas manusia? Apakah sejarah hanya alur deterministik dari geografi?

Di sinilah kritik terhadap buku ini sering diarahkan: terlalu ekologi-sentris, terlalu struktural, terlalu tak memberi ruang bagi subjektivitas budaya atau perlawanan manusia terhadap takdirnya.

Tapi mungkin itu jugalah tantangan terbesar yang ditawarkan Diamond: untuk merekonstruksi sejarah dunia bukan sebagai kisah kebesaran satu bangsa atau pahlawan, tapi sebagai kisah akumulasi takdir ekologis yang panjang dan tak merata.

Sebuah sejarah yang menempatkan benih, bakteri, dan bentang alam dalam peran utama—bukan sebagai latar, tapi sebagai aktor.

Penutup

Hari ini, lebih dari dua dekade sejak bukunya diterbitkan, Guns, Germs, and Steel tetap menjadi bacaan penting untuk siapa saja yang ingin memahami mengapa dunia kita seperti ini. Ia telah diterjemahkan ke puluhan bahasa, memenangkan Pulitzer Prize, dan menginspirasi serial dokumenter.

Tapi lebih dari semua itu, buku ini mengajak kita untuk lebih rendah hati dalam membaca sejarah. Bahwa di balik setiap peradaban besar, ada sungai, pegunungan, hewan, dan kuman yang bekerja tanpa nama.

Maka tak salah jika seseorang menutup buku ini lalu bergumam: barangkali peta dunia bukan digambar oleh manusia, tapi oleh nasib geografis yang tak kita pilih sejak awal.***

Halaman:

Berita Terkait