Resensi Buku Harus Bisa!: Membaca SBY, Mengupas Kekuasaan dengan Senyum dan Strategi

ORBITINDONESIA.COM- Jika sejarah adalah panggung besar kekuasaan, maka Susilo Bambang Yudhoyono adalah salah satu aktor paling halus yang pernah menginjakkan kaki di dalamnya. Ia tidak berteriak, tidak membanting podium, tidak juga bersumpah serapah.

Sejarah membuktikkan dua periode kepemimpinannya menguasai panggung republik dengan gaya yang tak banyak dimiliki para pendahulunya: penuh kalkulasi, penuh kehati-hatian, dan dalam banyak hal... membingungkan sekaligus memesona.

Buku Harus Bisa!: Seni Memimpin ala SBY (2009) bukanlah memoar, bukan pula analisis akademik. Buku ini lebih mirip catatan kaki yang jujur—dan terkadang terlalu jujur—dari orang dalam yang berdiri sangat dekat dengan panggung kekuasaan: Dino Patti Djalal, juru bicara Presiden kala itu, sekaligus diplomat yang berpandangan tajam namun bertutur ringan.

Ia menyusun 35 kisah pendek tentang momen-momen penting (dan tak penting) dalam perjalanan SBY sebagai Presiden Republik Indonesia, lengkap dengan percakapan, tekanan, serta kebimbangan yang kerap kali disembunyikan oleh kesan dingin dari luar.

Pemimpin sebagai Manusia Biasa: Mengetahui Sisi SBY di Balik Layar

Di antara para presiden Indonesia, SBY barangkali adalah sosok yang paling banyak menulis puisi. Dan dari situ pula mungkin kita bisa melihat pendekatan kepemimpinannya. Tidak meledak-ledak seperti Soekarno. Tidak sekeras kepala seperti Soeharto. Tidak seimpulsif Gus Dur. Tapi penuh pertimbangan, seperti penyair yang mengatur jeda.

Dino memperlihatkan SBY sebagai seorang pemimpin yang senantiasa mengukur dampak setiap kata dan keputusan, bahkan dalam keadaan krisis. Dari persoalan pembajakan kapal oleh perompak Somalia, kegaduhan soal BBM, hingga soal remeh seperti pemilihan iklan pemerintah yang bisa memicu opini publik—semuanya diceritakan dari balik layar, dengan warna humanistik yang jarang ditemukan dalam buku-buku tentang kekuasaan.

Tapi buku ini bukanlah pengkultusan. Di sela-sela kekaguman Dino terhadap bosnya, ada nada-nada geli, ironi, bahkan frustrasi. SBY digambarkan sebagai sosok yang sangat mendalam dalam berpikir, namun seringkali membuat orang di sekitarnya bingung karena terlalu hati-hati dan lambat merespons. Di era media sosial yang makin cepat, gaya “pelan tapi pasti” ini menjadi antitesis sekaligus sumber tantangan tersendiri.

"Harus Bisa!" Sebagai Mantra Kepemimpinan

Kalimat “Harus Bisa!” muncul berulang kali dalam buku ini seperti mantra. Bukan sekadar ungkapan semangat, tetapi filosofi yang menolak menyerah terhadap keterbatasan. Ketika semua pihak merasa pesimis, SBY akan berkata dengan nada tenang namun tegas: “Harus bisa.” Sebuah ungkapan sederhana yang, menurut Dino, tidak hanya menjadi motivasi, tetapi juga cara SBY mengingatkan semua orang bahwa tugas pemimpin adalah mencari jalan, bukan alasan.

Kalimat itu kemudian menjadi semacam kerangka moral buku ini. Dino seolah ingin mengatakan bahwa kepemimpinan bukan hanya soal ide besar, tapi tentang bagaimana bertahan, menyerap tekanan, mengambil keputusan saat semua jalan terasa gelap. Dengan menulis buku ini, Dino tidak sedang membangun mitos seorang jenderal yang jadi presiden, tapi justru sedang mengingatkan pembaca bahwa di balik segala keglamoran dan protokol, pemimpin adalah manusia biasa yang juga bisa gugup, takut, bahkan bingung.

Kekuasaan yang Tidak Meledak, Tapi Menyerap

Yang paling menarik dari buku ini bukan hanya cerita-cerita krisis nasional yang diselesaikan dengan kepala dingin. Tetapi cara Dino menggambarkan kekuasaan itu sendiri. SBY bukan pemimpin yang “memaksakan” kekuasaannya. Ia tidak mengendalikan orang dengan amarah, tetapi dengan kebungkaman dan kesabaran yang melelahkan. Gaya ini—yang oleh sebagian kalangan dianggap sebagai kelemahan—justru menjadi strategi kekuasaan yang sangat khas.

Seperti spons, SBY menyerap tekanan politik dengan cara diam. Seperti mata air dalam, ia jarang meledak, tapi menyimpan tekanan besar yang hanya sesekali meluap dalam bentuk puisi atau pidato panjang.

Dino menggambarkan bahwa bahkan dalam rapat kabinet yang tegang, SBY lebih memilih diam, mendengar semuanya, lalu membuat keputusan belakangan—sebuah gaya kepemimpinan yang mengingatkan kita pada tokoh-tokoh Asia Timur yang tidak percaya pada karisma, tapi pada kestabilan.

Kepemimpinan dalam Bayang-Bayang Popularitas dan Media

Buku ini juga menyiratkan keresahan SBY terhadap citra. Sebagai mantan jenderal yang masuk ke dunia sipil, SBY sadar betul bahwa kekuasaan hari ini bukan hanya soal keputusan, tapi soal bagaimana keputusan itu diterima oleh publik.

Dino, sebagai komunikator utama Istana, sering menggambarkan bagaimana SBY berjuang keras membentuk narasi, menyeimbangkan opini media, dan melawan persepsi negatif—kadang-kadang dengan cara yang sangat teknis, bahkan obsesif.

SBY, sebagaimana digambarkan Dino, sangat percaya bahwa pemimpin harus tampil “cool” di mata publik. Ia tidak ingin marah di depan kamera. Ia tidak ingin emosional.

Tapi ketenangan ini sering disalahartikan sebagai lamban atau takut mengambil risiko. Di sinilah letak paradoks besar dalam gaya kepemimpinan SBY—ia ingin menjadi teladan yang rasional, tapi hidup di zaman yang haus drama dan spontanitas.

Pelajaran Diam-diam tentang Politik Indonesia

Di balik segala cerita personal, Harus Bisa! secara tidak langsung menjadi potret kecil politik Indonesia pasca-Orde Baru. Bahwa setelah era dominasi tunggal Soeharto, Indonesia memasuki masa baru di mana pemimpin harus menavigasi demokrasi, media, oposisi, dan ekonomi global secara bersamaan.

Dino menunjukkan betapa sulitnya menjadi presiden di negara demokrasi terbesar ketiga dunia, yang semua orang bisa mengkritik, semua partai punya kepentingan, dan semua keputusan dipelintir jadi headline. Dan barangkali pelajaran terpenting dari buku ini adalah: memimpin Indonesia bukanlah soal visi besar saja, tetapi soal menjaga agar negara tidak pecah di tengah ribuan tarik-menarik kekuatan.

Dalam arti itu, SBY adalah “birokrat bangsa” yang memahami kompleksitas institusi lebih dari ambisi pribadi.

Penutup: “Harus Bisa” Sebagai Cermin Diri Kita

Buku ini bukan buku tentang heroisme. Ini buku tentang teknik bertahan hidup di tengah badai kekuasaan. Jika kamu mencari inspirasi motivasional yang penuh kutipan manis, ini bukan tempatnya.

Tapi jika kamu ingin tahu bagaimana kekuasaan bekerja dari dalam—dengan semua kebingungannya, humornya, absurditasnya—buku ini adalah bacaan wajib.

Pada akhirnya, mungkin yang membuat buku ini menarik adalah kejujurannya. Bahwa pemimpin bukanlah makhluk suci, bukan pula makhluk sempurna.

Mereka hanyalah manusia dengan tekanan sepuluh kali lipat dari manusia biasa. Dan di tengah segala itu, mereka hanya bisa berkata: “Harus bisa.”

Dan bukankah itu juga yang kita gumamkan setiap pagi saat hidup terasa terlalu rumit?***