Ini Mungkin Awal dari Epilog Perang Iran-Israel
- Penulis : Satrio Arismunandar
- Selasa, 24 Juni 2025 07:27 WIB

ORBITINDONESIA.COM - Senin malam waktu setempat, 23 Juni 2025, Iran membalas serangan Amerika Serikat (AS) ke tiga fasilitas nuklir mereka, dengan merudal pangkalan militer AS di Qatar.
Perang yang awalnya antara Israel dan Iran itu pun memasuki lembaran baru yang mungkin makin gawat, apalagi pemerintah Qatar mengecam keras pelanggaran kedaulatan wilayahnya oleh Iran.
Situasi di Timur Tengah pun semakin kritis, apalagi Presiden AS Donald Trump menyatakan akan menyerang Iran lebih dahsyat lagi jika pemerintah Iran membalas bombardemen terhadap fasilitas-fasilitas nuklirnya di Isfahan, Natanz, dan Fordow.
Baca Juga: Amir Saeid Iravani: Iran Desak PBB Agar Fasilitas Nuklir Israel Juga Diawasi IAEA
Namun, tak lama setelah kabar serangan Iran ke Qatar itu, Trump menyatakan Israel dan Iran sudah sepakat bergencatan senjata. Jika Trump benar, maka salvo terbaru Iran di Qatar bisa dianggap sebagai pernyataan politik simbolik belaka untuk unjuk kekuatan agar Iran tidak kehilangan muka.
Memilih menyerang pangkalan AS di Qatar pun "lebih aman" bagi Iran ketimbang menyerang pangkalan AS di Arab Saudi, Kuwait, Uni Emirat Arab atau Oman. Qatar adalah negara Teluk yang memiliki hubungan yang sangat baik dengan Iran.
Tapi jika kampanye rudal Iran yang terakhir ini memicu percikan baru konflik, maka situasi Timur Tengah bisa lebih gawat lagi. Trump sendiri menyatakan serangan Iran ke pangkalan AS di Qatar itu sebagai "lemah." Jadi, serangan Iran ke pangkalan AS itu mungkin memang merupakan pesan simbolik belaka.
Baca Juga: Menlu Sugiono Apresiasi Azerbaijan Bantu Evakuasi 96 Warga Negara Indonesia dari Iran
Dan itu artinya, AS dan Iran sudah saling menangkap pesan-pesan yang mereka sampaikan lewat manuver-manuver militernya belakangan ini. Iran telah menangkap pesan AS dari serangan ke fasilitas-fasilitas nuklirnya. Sebaliknya, Trump telah menangkap pesan Iran di balik serangan tak hentinya ke Israel.
Pemerintah AS yang dikritik Demokrat karena menyerang Iran tanpa otorisasi parlemen, mungkin telah menangkap pesan Iran bahwa setiap serangan ke wilayahnya adalah urusan hidup mati bagi Iran, paling tidak untuk rezim mereka. Selama puluhan tahun rezim Iran memang menjadi sasaran penggulingan pihak luar, khususnya AS dan Israel.
Iran sendiri tak bisa mengesampingkan skenario penggulingan paksa seperti menimpa Saddam Hussein di Irak, Muammar Gaddafi di Libya, Bashar al Assad di Suriah, dan banyak tempat lain di dunia. Dalam pikiran para pemimpin Iran, akan sangat berbahaya jika tak membalas serangan AS karena bisa memberi pesan buruk kepada lawan-lawannya, termasuk di dalam negeri, bahwa mereka lemah, tidak sekuat dulu.
Baca Juga: Iran: Fasilitas Nuklir Israel Harus Diawasi Badan Tenaga Atom Internasional
Penguasa Iran tak akan membiarkan kesan itu muncul, karena sama halnya dengan membuka skenario keruntuhan rezim, seperti Revolusi Islam Iran menumbangkan Shah Iran pada 1979. Shah Iran adalah sekutu AS dan Israel di masa lalu yang tak kalah buruk dari rezim buruk lainnya.
Yang juga harus dikhawatirkan AS adalah terusiknya negara-negara nuklir yang tidak dalam genggaman pengaruh AS. Di antara yang paling terusik adalah Korea Utara. Selama puluhan tahun Korea Utara menjadi sasaran pelemahan AS dan sekutu-sekutunya, melalui sanksi dan isolasi internasional yang lama seperti dialami Iran.
"Show of force"
Baca Juga: Iran Lanjutkan Pengayaan Uranium
Pemimpin Korea Utara Kim Jong Un bisa menafsirkan "show of force" AS di Iran sebagai pengingat untuk segera kembali ke meja perundingan. Tapi Kim Jong Un juga bisa menganggapnya sebagai pendorong untuk mempercepat program senjata nuklir Korea Utara guna menangkal serangan seperti dialami Iran.
Tapi, kalaupun Korea Utara terancam, Rusia dan China yang berbatasan dengan Korea Utara, tak mungkin berdiam diri. Mereka tak akan membiarkan musuh menghunus pedang di depan muka mereka.
Ketika China melibatkan diri dalam Perang Korea pada 1950-an pun tidak semata karena alasan ideologis, tapi juga karena tak mau membiarkan musuh mengarahkan moncong senjatanya di depan hidung mereka.
Baca Juga: Pasar Kripto dan Saham AS Terguncang Pasca Serangan AS Ke Iran
China dan Rusia juga sangat tidak nyaman dengan retorika para pemimpin AS mengenai "pergantian rezim" yang berusaha diaplikasikan terhadap Iran.
Padahal, tak ada pergantian rezim secara paksa yang berhasil membuat sebuah negara lebih baik, apalagi tujuan pergantian rezim itu sebenarnya hanyalah melumpuhkan lawan sehingga rezim itu tak lagi menjadi ancaman untuk negara yang menggulingkan rezim itu.
Si pengguling rezim juga tak peduli mereka akan membuat negara yang rezimnya mereka gulingkan, masuk lagi dalam tiranisme baru. Petualangan AS di Amerika Latin, Asia, dan Timur Tengah di masa lalu adalah bukti-buktinya.
Baca Juga: Tindakan Trump Mengebom Iran Membangkitkan Hantu Irak
Omong kosong demokrasi di balik pergantian rezim pun akan makin terkuak, apalagi saat bersamaan AS tetap merangkul rezim-rezim otoriter nan tidak demokratis termasuk yang berada di Timur Tengah, hanya karena mereka tidak mengusik kepentingan dan pengaruh AS.
Yang sering terjadi, pergantian rezim secara paksa malah menghasilkan diktator-diktator baru, seperti terjadi di Amerika Latin pada 1950-an sampai 1970-an, mulai Augusto Pinochet terhadap Salvador Allende di Chile pada 1973 sampai Carlos Castillo terhadap Jacobo Arbenz di Guatemala pada 1954.
Oleh karena itu, gagasan pergantian rezim dan serangan terhadap Iran sudah bukan cuma urusan hidup mati bagi Iran. Ini sudah menjadi ancaman terhadap negara-negara yang berkawan dengan Iran, termasuk Pakistan.
Baca Juga: China Respons Rencana Iran Tutup Selat Hormuz, Jalur Pasokan Minyak Dunia
Meskipun bersekutu dengan AS, Pakistan merasa akan menjadi sasaran berikutnya Israel. Jika Israel berhasil melucuti Iran, maka rezim haus perang seperti Netanyahu akan mengalihkan perhatian ke Pakistan yang menguasai senjata nuklir.
Israel tampaknya tak akan berhenti memburu rezim-rezim nuklir di sekitar mereka, agar dominasi nuklir mereka di kawasan tak terganggu.
Di sisi lain, deterensi nuklir tak hanya membuat Israel kebal dari serangan tetangga-tetangganya, tapi juga membuat mereka mendapatkan kemewahan untuk menyerang tetangga-tetangganya tanpa dikoreksi oleh komunitas internasional karena AS siap membentengi mereka dari sanksi dan tekanan internasional.
Baca Juga: Kepala Staf Angkatan Bersenjata Iran: Serangan AS ke Fasilitas Nuklir Iran Akan Dibalas
Dalam logika-logika semacam ini, sulit bagi para pemimpin Iran untuk tidak membalas aksi AS, walau hanya demi memberi pesan bahwa mereka tidak lemah. Iran juga mungkin merasa tengah merepresentasikan aspirasi global mengenai perlunya mengoreksi standar ganda AS dan laku pongah Israel di Timur Tengah.
Tapi jika balasan Iran itu mengundang serangan lanjutan dari AS yang lebih dahsyat dari pada serangan ke tiga fasilitas nuklir Iran, maka akan sulit mengabaikan skenario perang yang lebih luas dari sekadar perang antara Iran dan Israel. Dalam skenario ini, dunia dapat terjerumus ke dalam perang global baru seperti terjadi di masa silam.
Namun demikian, jika Trump dan para pemimpin Iran serta Israel terlalu waras untuk tak mempedulikan skenario buruk itu, maka perang mungkin berakhir lebih cepat. Semoga ucapan Trump benar, bahwa Israel dan Iran sudah menyepakati gencatan senjata.
Baca Juga: Timur Tengah Kian Panas, Iran Serang Pangkalan Militer AS di Qatar
(Oleh Jafar M Sidik) ***