DECEMBER 9, 2022
Kolom

Ini Mungkin Awal dari Epilog Perang Iran-Israel

image
Serangan Angkatan Udara Israel terhadap ibu kota Iran, Teheran, pada 23 Juni 2025. (Mohammadjavad Alikhani via Wikimedia Commons)

Yang juga harus dikhawatirkan AS adalah terusiknya negara-negara nuklir yang tidak dalam genggaman pengaruh AS. Di antara yang paling terusik adalah Korea Utara. Selama puluhan tahun Korea Utara menjadi sasaran pelemahan AS dan sekutu-sekutunya, melalui sanksi dan isolasi internasional yang lama seperti dialami Iran.

"Show of force"

Pemimpin Korea Utara Kim Jong Un bisa menafsirkan "show of force" AS di Iran sebagai pengingat untuk segera kembali ke meja perundingan. Tapi Kim Jong Un juga bisa menganggapnya sebagai pendorong untuk mempercepat program senjata nuklir Korea Utara guna menangkal serangan seperti dialami Iran.

Baca Juga: Amir Saeid Iravani: Iran Desak PBB Agar Fasilitas Nuklir Israel Juga Diawasi IAEA

Tapi, kalaupun Korea Utara terancam, Rusia dan China yang berbatasan dengan Korea Utara, tak mungkin berdiam diri. Mereka tak akan membiarkan musuh menghunus pedang di depan muka mereka.

Ketika China melibatkan diri dalam Perang Korea pada 1950-an pun tidak semata karena alasan ideologis, tapi juga karena tak mau membiarkan musuh mengarahkan moncong senjatanya di depan hidung mereka.

China dan Rusia juga sangat tidak nyaman dengan retorika para pemimpin AS mengenai "pergantian rezim" yang berusaha diaplikasikan terhadap Iran.

Baca Juga: Menlu Sugiono Apresiasi Azerbaijan Bantu Evakuasi 96 Warga Negara Indonesia dari Iran

Padahal, tak ada pergantian rezim secara paksa yang berhasil membuat sebuah negara lebih baik, apalagi tujuan pergantian rezim itu sebenarnya hanyalah melumpuhkan lawan sehingga rezim itu tak lagi menjadi ancaman untuk negara yang menggulingkan rezim itu.

Si pengguling rezim juga tak peduli mereka akan membuat negara yang rezimnya mereka gulingkan, masuk lagi dalam tiranisme baru. Petualangan AS di Amerika Latin, Asia, dan Timur Tengah di masa lalu adalah bukti-buktinya.

Omong kosong demokrasi di balik pergantian rezim pun akan makin terkuak, apalagi saat bersamaan AS tetap merangkul rezim-rezim otoriter nan tidak demokratis termasuk yang berada di Timur Tengah, hanya karena mereka tidak mengusik kepentingan dan pengaruh AS.

Baca Juga: Iran: Fasilitas Nuklir Israel Harus Diawasi Badan Tenaga Atom Internasional

Yang sering terjadi, pergantian rezim secara paksa malah menghasilkan diktator-diktator baru, seperti terjadi di Amerika Latin pada 1950-an sampai 1970-an, mulai Augusto Pinochet terhadap Salvador Allende di Chile pada 1973 sampai Carlos Castillo terhadap Jacobo Arbenz di Guatemala pada 1954.

Halaman:

Berita Terkait