DECEMBER 9, 2022
Kolom

Catatan Denny JA: Ujung Perang Israel Lawan Iran, Perang Tak Henti atau Solusi Dua Negara?

image
(OrbitIndonesia/kiriman)

ORBITINDONESIA.COM  - “Jika kau menolak damai, lalu apa yang kau kejar?

Negeri yang sunyi tanpa tetangga?

Atau hanya puing dan jenazah tanpa rumah?”

Baca Juga: Inilah Tips Menulis Puisi Esai

Pada pertengahan tahun 2025, dunia kembali terguncang. Ledakan membelah langit Teheran. Peluru kendali (Rudal) siang bolong menghantam Tel Aviv. Alarm perang kembali meraung di Timur Tengah. 

Namun bukan dentuman yang paling mengguncang nurani, melainkan sebuah kalimat damai yang lahir dari podium diplomatik.

Di New York, dalam sidang Majelis Umum PBB, Ayman Safadi, Menteri Luar Negeri Yordania, berbicara mewakili 57 negara anggota Organisasi Kerja Sama Islam (OKI). 

Baca Juga: Catatan Denny JA: Ketika Puisi, dan Apapun, tak Pernah Cukup, Lalu Mengapa Lahir Puisi Esai

Di hadapan media dunia, ia menyampaikan tawaran yang mengejutkan: “Kami—57 negara Arab dan Muslim—siap menjamin keamanan Israel. Saat ini juga.

Dengan satu syarat: Israel mengakhiri pendudukan dan mengizinkan lahirnya negara Palestina merdeka dalam batas pra-1967.”

Itu bukan sekadar diplomasi. Itu adalah kontrak masa depan. Sebuah undangan untuk keluar dari siklus perang yang berulang. 

Baca Juga: Puisi Esai Denny JA: Ketika Kita Diam Saja Melihat 1300 Anak-anak Dibunuh

Namun justru saat harapan itu muncul, dua negara paling keras kepala: Israel dan Iran, lebih memilih tembakan daripada perundingan.

Mengapa?

-000-

Baca Juga: Catatan Denny JA: Mendengar Obama yang Mendukung Harvard University Melawan Donald Trump

Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, menjawab tawaran itu dengan satu narasi klasik yang telah ia ulang sejak awal kariernya:

“Israel dikelilingi oleh mereka yang ingin menghancurkannya.”

Dalam benaknya, sejarah adalah pisau di tenggorokan. Dari Holocaust hingga Perang 1948, dari intifadah hingga rudal Hizbullah, trauma kolektif Israel menjelma paranoia permanen.

Baca Juga: Catatan Denny JA: Royalti Lagu Era Artificial Intelligence, Siapa Pemilik Jika Algoritma yang Mencipta?

Namun Netanyahu lupa satu hal penting: Sejarah juga bisa menjadi penjara jika kita tak pernah membuka jendela masa depan.

Alih-alih membangun dua negara berdampingan, pemerintahannya terus memperluas permukiman ilegal di Tepi Barat, mencaplok Yerusalem Timur, dan mempertahankan pengepungan atas Gaza.

Israel ingin Palestina lenyap dari peta, tanpa pernah menyatakannya secara resmi. Tapi jika bukan dua negara, maka apa?

Baca Juga: Catatan Denny JA: Bunga Rampai 100 Tahun Arsitektur Perjuangan dan Jejak Rasa Kuliner

Ayman Safadi pun bertanya di hadapan jurnalis:

“Jika ia menolak dua negara,

Apa sebenarnya rencana akhir Israel—selain perang, perang, dan perang?”

Baca Juga: Catatan Denny JA: Israel Melawan Iran, Perang Strategis, Ideologis, Bahkan Spiritual

Pertanyaan itu menggema lebih keras dari sirene peringatan di langit Tel Aviv.

-000-

Di sisi lain medan perang, Iran melihat solusi dua negara sebagai pengkhianatan terhadap perjuangan Palestina. 

Baca Juga: Puisi Esai Denny JA: 100 Tahun Gedung Bunga Rampai

Bagi mereka, Israel bukan sekadar negara musuh—melainkan entitas haram yang tak seharusnya ada.

Ayatollah Ali Khamenei, pemimpin tertinggi Iran, dengan tegas menolak solusi damai yang membagi tanah suci:

“Solusi dua negara adalah penipuan.

Baca Juga: Catatan Hamri Manoppo: Denny JA dan Peluang Nobel Sastra, Dari Puisi Esai Menuju Pengakuan Global

Palestina adalah satu, dari sungai hingga laut.”

Narasi Iran bukan tentang dua negara atau satu negara, melainkan penghapusan total negara Israel. 

Dukungan pada Hamas, Hizbullah, dan milisi-milisi perlawanan adalah bagian dari strategi jangka panjang untuk melemahkan entitas Zionis secara bertahap.

Baca Juga: Catatan Denny JA: Ketika Sejarah tak Menceritakan yang Sebenarnya

Teheran bahkan tak segan mengulang secara terbuka: “Israel adalah tumor kanker yang harus dimusnahkan.”

Namun kini, setelah dihantam Israel secara terbuka, ketika jaringan nuklirnya lumpuh, ketika rakyatnya bersembunyi dalam stasiun metro, akankah Iran tetap berdiri di garis keras?

Atau ia akan memilih diam, membiarkan dua negara lahir asal tidak mengakuinya secara resmi?

-000-

Apa Itu Batas 1967?

Untuk memahami peta konflik ini, kita harus menoleh ke masa sebelum Perang Enam Hari tahun 1967.

Saat itu:

• Tepi Barat dan Yerusalem Timur berada di bawah kekuasaan Yordania.

• Jalur Gaza adalah wilayah Mesir.

• Israel belum menduduki wilayah-wilayah tersebut.

Solusi dua negara berarti:

Israel kembali ke batas-batas itu.

Palestina berdiri merdeka di Gaza, Tepi Barat, dan Yerusalem Timur.

Usulan ini telah didukung oleh:

• PBB

• Uni Eropa

• Liga Arab

• Pemerintah AS (hingga pemerintahan Biden)

• Dan kini: 57 negara Muslim yang menawarkan jaminan keamanan kepada Israel

Semua negara siap mengakui dan hidup berdampingan—kecuali satu: Iran.

Ironisnya, tawaran damai datang dari dunia yang dulunya menolak eksistensi Israel. Dan Israel kini justru ragu menerimanya.

-000-

Mengapa Israel Menyerang Iran?

Bagi Israel, Iran adalah ancaman eksistensial yang tak bisa ditoleransi:

• Program nuklir Iran dilihat sebagai ancaman nyata akan senjata pemusnah massal.

• Dukungan Teheran terhadap Hizbullah dan Hamas dianggap bom waktu yang terus berdetak.

• Retorika pemusnahan Israel adalah ancaman ideologis yang tidak bisa dinegosiasikan.

Israel tidak menunggu ancaman itu tumbuh menjadi monster. Ia menyerang lebih dulu.

Tapi serangan ini justru membuka pertanyaan yang lebih dalam:

Jika Israel menolak dua negara,

dan Iran menolak keberadaan Israel,

sampai kapan dunia akan hidup dalam logika kehancuran?

Namun di balik retorika perang, ada ruang diplomasi yang belum sepenuhnya dieksplorasi: mekanisme transisi menuju dua negara. 

PBB bisa membentuk pasukan penjaga perdamaian multinasional untuk mengawasi demiliterisasi bertahap di Gaza dan Tepi Barat.

Sementara Qatar atau Mesir menjadi mediator pembagian kedaulatan Yerusalem. 

Data Bank Dunia menunjukkan bahwa biaya pendudukan Israel mencapai 15% APBN-nya—angka yang bisa dialihkan untuk jaminan sosial jika perdamaian tercapai. 

Dengan kerangka seperti ini, solusi dua negara bukan lagi sekadar wacana, tapi peta jalan konkret yang mengubah kelelahan perang menjadi energi perdamaian.

-000-

Apakah Perang Ini Akan Mengubah Segalanya?

Mungkin. Perang bukan jaminan kedamaian. Tapi perang bisa membuat kelelahan. Ketika mayat menumpuk, ketika ekonomi runtuh, bahkan ideologi pun bisa retak.

Iran bisa saja tak ikut menandatangani solusi dua negara, tapi mungkin juga tak lagi cukup kuat untuk menggagalkannya.

Israel? Jika tekanan global—terutama dari AS—menguat, dan jika janji perlindungan dari 57 negara Muslim tetap terbuka, mungkin ia akan bertanya:

“Apa sebenarnya yang kita cari?

Tembok yang lebih tinggi,

atau tetangga yang aman?”

-000-

Dunia kini berdiri di persimpangan sejarah.

Jalan pertama: perang tanpa henti, yang hanya meninggalkan puing dan dendam.

Jalan kedua: solusi dua negara, yang membuka ruang hidup bagi dua bangsa—yang sama-sama pernah jadi korban sejarah.

Pilihan ini tak mudah.

Tapi dalam sunyi sejarah, mungkin sudah waktunya kita bertanya:

“Berapa banyak lagi yang harus mati,

sampai kita berani hidup berdampingan?” ***

Jakarta, 18 Juni 2025

Referensi:

1. Ayman Safadi – Pernyataan 57 Negara Muslim Jamin Keamanan Israel jika Menerima Solusi Dua Negara:

https://www.newarab.com/news/israeli-threats-against-jordan-fm-safadi-proposes-peace-deal?utm_source=chatgpt.com

2. Ali Khamenei – Iran Menolak Solusi Dua Negara, Serukan Satu Negara Palestina dari Sungai hingga Laut:

Iran lauds arms supply to Palestinians against 'tumor' Israel | Reuters

-000-

Ratusan esai Denny JA soal filsafat hidup, political economy, sastra, agama dan spiritualitas, politik demokrasi, sejarah, positive psychology, catatan perjalanan, review buku, film dan lagu, bisa dilihat di FaceBook Denny JA’s World

https://www.facebook.com/share/1GHRzxELNB/?mibextid=wwXIfr

Halaman:

Berita Terkait