Catatan Denny JA: Ketika Universitas Harvard Memilih untuk Melawan Presiden Donald Trump
- Penulis : Krista Riyanto
- Sabtu, 24 Mei 2025 08:21 WIB

Pada era McCarthyisme 1950-an, pemerintah AS memaksa universitas mengungkapkan ‘simpatisan komunis.” Itu berujung pada pemecatan profesor, sensor kurikulum, dan hilangnya kepercayaan publik terhadap ilmu pengetahuan.
Pada 1953, di tengah histeria anti-komunis McCarthyisme, University of New Hampshire (UNH) menjadi simbol perlawanan akademik.
Pemerintah AS memaksa universitas memecat tiga profesor
-Barrows Dunham (filsuf), H. Chandler Davis (matematikawan), dan Mark Nickerson (farmakolog)-karena diduga
"simpatisan komunis."
UNH menolak, bahkan ketika ancaman pemotongan dana federal mengintai. Asosiasi Profesor Amerika (AAUP) mendukung perlawanan ini dengan argumen.
“Jika negara boleh memecat dosen hanya karena pandangan politiknya, maka universitas akan menjadi museum ideologi, bukan ruang pencarian kebenaran."
Kasus ini menjadi preseden hukum yang melindungi kebebasan akademik di AS hingga hari ini.
Di Tiongkok, Revolusi Kebudayaan 1966-1976 menghancurkan universitas sebagai ‘sarang intelektual borjuis.” Ia menggantikan riset dengan indoktrinasi politik.
Harvard, dengan kesadaran sejarah ini, tidak ingin Amerika mengulangi kegelapan yang sama. Ketika pemerintah Trump menggunakan retorika ‘keamanan nasional’ untuk mengontrol kampus, mereka sedang menyalakan sumbu yang pernah membakar buku-buku Qin Shi Huang dan daftar hitam Hollywood.