What Next, Setelah Trump Berkunjung ke Timur Tengah?
- Penulis : Abriyanto
- Jumat, 23 Mei 2025 01:21 WIB

Oleh Amidhan Shaberah*
ORBITINDONESIA.COM - Presiden Donald Trump untuk pertama kali sejak dilantik menjadi Presiden AS periode kedua (20 Januari 2025), melakukan lawatan ke Timur Tengah, 13-16 Mei baru lalu. Sebelumnya Trump menghadiri pemakaman Paus Fransiskus, 26 April lalu lalu di Vatikan, Roma.
Negara Arab yang dikunjungi adalah Arab Saudi, Qatar, dan Uni Emirat Arab – tiga negara kaya minyak di kawasan Teluk. Publik internasional bertanya-tanya – untuk apa Trump ke Teluk? Untuk mendamaikan perang Palestina dan Israel?
Baca Juga: Donald Trump: AS Tak Lagi Biayai Layanan Kesehatan Negara Lain
Untuk mengajak tiga negara kaya itu membangun Palestina yang luluh lantak dihancurkan Israel? Untuk mengucilkan Iran setelah Teheran “berdamai” dengan Saudi Arabia? Untuk mencari uang guna menambal defisit anggaran belanja pemerintah federal di Washington? Atau semuanya?
Sangat mungkin semuanya. Yang jelas, Trump membawa pulang kesepakatan bisnis senilai lebih dari 2 triliun dolar, termasuk 600 miliar dolar dari Arab Saudi dan $1,2 triliun dari Qatar.
Luar biasa. Ini uang yang jumlahnya raksasa. Jika dikonversi menjadi indo-rupiah, menjadi Rp 32.000 triliun. Sekitar 9,6 kali total APBN Indonesia tahun 2025. Tak hanya itu. Trump juga mendapat hadiah pesawat kepresidenan dari Qatar dengan standar kualitas Air Force One seharga 400 juta dolar.
Baca Juga: Presiden AS Donald Trump: Uni Eropa Lebih Nakal Dibanding China
Yang menarik, kunjungan Trump ke Timur Tengah itu, tidak dilanjutkan ke Israel. Padahal, jaraknya sudah dekat. Dari situ, publik internasional menduga, Trump mulai tak suka terhadap PM Israel Benjamin Netanyahu, yang dianggapnya antiperdamaian.
Sikap Netanyahu tersebut berdampak pada citra Trump. Kunjungan Trump ke Timteng zonder mampir ke Israel itu, menurut analis politik Denny JA, adalah pertanda Washington akan mengakui Palestina. Tapi, menurut kabar yang beredar di Gedung Putih, Trump akan mengakui Palestina jika tanpa Hamas.
Wow! Mungkinkah? Sebuah gagasan yang jauh dari kesepakatan Oslo (Oslo Accord yang ditandatangani Yitzhak Rabin, Yasser Arafat, Bill Clinton tahun 1990-an). Oslo Accord mendorong Palestina merdeka dan berdampingan dengan Israel secara aman dan damai. Seperti Belgia dan Luxembourg di Eropa Barat.
Baca Juga: Trump Dapat Hadiah Jet Mewah dari Kerajaan Qatar, Senator Partai Demokrat: Bahaya Bagi AS
Washington menyatakan, pada dasarnya AS bersedia mengakui Palestina sebagai entitas negara merdeka dan berdaulat, asalkan pemerintahan di dalamnya tidak melibatkan Hamas. Selanjutnya Gaza harus dibersihkan dari kelompok bersenjata.