Catatan Denny JA: Mengapa Bank Dunia Tempatkan Indonesia Negara Berpenduduk Miskin Keempat?
- Penulis : Krista Riyanto
- Rabu, 21 Mei 2025 18:21 WIB

ORBITINDONESIA.COM - Berbeda cara mengukur, berbeda metodologi, berbeda pula hasil. Itulah kesimpulan cepat ketika kita menyimak laporan Bank Dunia.
Lembaga berwibawa ini mengeluarkan pernyataan mengagetkan. Dengan data dan angka, ia menyebut Indonesia sebagai negara keempat di dunia dengan jumlah penduduk miskin terbanyak. (1)
Namun, mari kita mulai dengan sebuah kisah nyata.
Baca Juga: Catatan Denny JA: Akhirnya yang Menang adalah Cinta
Di lereng Gunung Merbabu, tepatnya di Desa Kopeng, tinggal seorang ibu bernama Mbah Ranti. Usianya 74 tahun. Setiap hari, ia berjalan kaki sejauh tiga kilometer membawa keranjang berisi daun singkong ke pasar.
Hasil jualannya hanya cukup untuk membeli beras, minyak, dan garam. Rumahnya tanpa listrik, dan air harus ditimba dari mata air di lembah.
Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), Mbah Ranti tidak termasuk kategori miskin. Ia masih bisa membeli makanan dan memiliki tempat tinggal, meski tanpa fasilitas dasar.
Baca Juga: Catatan Denny JA: Ketika Nanti Amerika Serikat Mengakui Negara Palestina Tanpa Hamas
Namun, menurut standar Bank Dunia, Mbah Ranti jelas tergolong miskin, bahkan sangat miskin.
Inilah dilema dalam mengukur kemiskinan di era modern.
-000-
Baca Juga: Catatan Denny JA: Penentu Utama Meraih Mimpi
Dua Lensa yang Berbeda
Bank Dunia menggunakan garis kemiskinan global berdasarkan Purchasing Power Parity (PPP).
Tiga ambang batasnya adalah US$2.15 per hari untuk kemiskinan ekstrem, US$3.65 untuk negara berpenghasilan menengah bawah, dan US$6.85 untuk negara berpenghasilan menengah atas seperti Indonesia.
Baca Juga: Catatan Denny JA: Papua yang Luka dan Melahirkan Puisi
PPP dirancang untuk menyesuaikan daya beli antarnegara, bukan hanya berdasarkan nilai tukar mata uang.
Di sisi lain, BPS menggunakan pendekatan Cost of Basic Needs (CBN). Ia menghitung kebutuhan dasar pangan sebesar 2.100 kalori dan kebutuhan non-pangan seperti perumahan, pendidikan, dan transportasi.
Ini sesuai dengan pola konsumsi masyarakat Indonesia. Data ini bersumber dari Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) yang mencatat pengeluaran rumah tangga.
Bank Dunia melihat dunia dari langit: mencari standar universal agar seluruh negara dapat dibandingkan secara seragam.
BPS menyentuh bumi: menghitung realitas sehari-hari rakyat Indonesia, rupiah demi rupiah.
Mengapa Angka Bank Dunia Layak Diperhitungkan? Dan apa kelemahannya?
Garis kemiskinan Bank Dunia penting karena memberikan konsistensi internasional. Ia seperti satuan meter dalam pengukuran panjang. Ia berlaku seragam di seluruh dunia.
Selain itu, penggunaan PPP membuat data ini lebih sensitif terhadap daya beli riil, bukan sekadar angka nominal dalam kurs mata uang.
Bank Dunia juga membantu memetakan kerentanan tersembunyi. Seseorang bisa saja dianggap tidak miskin menurut BPS, tetapi tetap hidup jauh dari sejahtera jika dilihat dari standar global.
Angka-angka ini menjadi bahasa universal dalam diplomasi pembangunan, evaluasi SDGs, dan perumusan strategi bantuan internasional.
Yang membuat pendekatan ini istimewa adalah sistem multi-tier—dengan garis US$2.15, US$3.65, dan US$6.85.
Ini memungkinkan pemahaman lebih rinci atas transisi sosial ekonomi dari kemiskinan ekstrem menuju kesejahteraan relatif.
Kelemahan Pendekatan Bank Dunia Juga Perlu Dicatat
Meski bermanfaat, pendekatan ini memiliki keterbatasan. Garis US$6.85 tidak selalu mencerminkan harga dan pola hidup lokal.
Angka 60 persen kemiskinan bisa menciptakan kebingungan atau bahkan kepanikan publik, terutama jika tidak disertai penjelasan metodologi.
PPP adalah alat analisis makro yang sulit diterapkan secara langsung dalam kebijakan mikro seperti penyaluran BLT atau penetapan UMR.
Dengan tiga batas kemiskinan yang berbeda, muncul pula ambiguitas: siapa yang seharusnya menjadi prioritas intervensi?
Ditambah lagi, pendekatan ini masih cenderung mengabaikan dimensi non-moneter dari kemiskinan. Misalnya akses pendidikan, air bersih, layanan kesehatan, dan jaminan sosial.
-000-
Mengapa BPS Tetap Relevan?
BPS tetap menjadi pijakan penting karena mendasarkan perhitungannya pada konsumsi nyata masyarakat.
Ia menyesuaikan data dengan harga aktual di tiap provinsi, menyediakan informasi yang sangat rinci hingga ke tingkat kabupaten. Ia diakui secara hukum sebagai otoritas statistik nasional.
Dengan metodologi yang dapat diterjemahkan langsung ke dalam kebijakan publik—mulai dari bantuan sosial, upah minimum, hingga perencanaan daerah—data BPS menjadi dasar operasional pembangunan.
Namun, BPS kadang tidak menangkap kelompok rentan yang belum tergolong miskin. Padahal hidup mereka jauh dari aman.
-000-
Menuju Sintesis Ideal
Indonesia tak perlu memilih salah satu pendekatan. Yang ideal adalah memadukan keduanya dalam satu sistem kebijakan terpadu.
Data BPS sebaiknya dijadikan fondasi operasional: sebagai acuan utama dalam penyaluran bantuan, subsidi, dan kebijakan sektoral.
Angka dari Bank Dunia dapat difungsikan sebagai alarm dan kompas. Ini untuk memetakan risiko sosial ekonomi jangka panjang dan mengevaluasi posisi Indonesia dalam tatanan global.
Kita bisa mengembangkan kategori sosial yang lebih reflektif: dari mereka yang miskin absolut (di bawah garis BPS), kelompok rentan miskin (antara garis BPS dan US$3.65), kelas menengah rapuh (antara US$3.65–6.85), hingga kelas menengah mapan (di atas US$6.85).
Dengan klasifikasi semacam ini, kebijakan sosial akan menjadi lebih cerdas, berlapis, dan berkeadilan.
Angka bukan sekadar angka. Di baliknya ada wajah Mbah Ranti. Ada langkah kaki yang letih di ladang basah, ada suara anak kecil yang belajar dengan cahaya pelita.
Ada martabat yang hendak dipertahankan, ada harapan yang belum padam.
Kemiskinan bukan hanya soal jumlah rupiah per bulan. Ia adalah kehilangan pilihan. Ia adalah pengorbanan diam-diam. Ia adalah jarak antara cukup dan layak.
Bank Dunia dan BPS, langit dan bumi. Bila digabungkan, keduanya akan menuntun Indonesia bukan hanya untuk menghitung kemiskinan, tetapi juga untuk menguranginya—dengan kebijakan, dan keadilan.***
Jakarta, 21 Mei 2025
Catatan Kaki
1. Indonesia menurut Bank Dunia negara dengan populasi miskin terbanyak nomor 4 di dunia.
2. Bank Dunia melaporkan bahwa 60,3% penduduk Indonesia hidup di bawah garis kemiskinan global pada tahun 2024. Lihat sumber
3. BPS mencatat bahwa pada September 2024, persentase penduduk miskin di Indonesia adalah 8,57%. Lihat sumber
-000-
Ratusan esai Denny JA soal filsafat hidup, political economy, sastra, agama dan spiritualitas, politik demokrasi, sejarah, positive psychology, catatan perjalanan, review buku, film dan lagu, bisa dilihat di FaceBook Denny JA’s World