DECEMBER 9, 2022
Kolom

Indonesia Surplus Telur di Tengah Eggflation Global

image
Peternak memanen telur ayam ras di peternakan ayam petelur di Wonokoyo, Malang, Jawa Timur, Kamis, 13 Maret 2025. ANTARA FOTO/Ari Bowo Sucipto/YU

ORBITINDONESIA.COM - Di tengah lonjakan harga telur yang melanda berbagai negara, Indonesia beruntung karena justru menikmati kondisi sebaliknya.

Produksi telur nasional stabil, stok melimpah, dan harga relatif terkendali. Fenomena ini menarik untuk dicermati, terutama dalam konteks ketahanan pangan, peluang ekspor, serta pengembangan industri berbasis telur yang bernilai tambah tinggi. Ini juga menjadi momentum untuk ekspansi pasar dan memperkuat inovasi industri di bidang pangan.

Data Kementerian Pertanian menunjukkan bahwa produksi telur nasional telah mampu memenuhi kebutuhan domestik dengan surplus yang berpotensi diekspor.

Baca Juga: Usai Viral Mandi Lumpur di TikTok, Ibu Mawar Dapat Bantuan Ayam Petelur

Kementan telah menghitung potensi produksi telur nasional tahun 2025 mencapai 6,5 juta ton, sementara kebutuhannya 6,2 juta ton dan potensi surplus 288,7 ribu ton.

Direktur Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementerian Pertanian Agung Suganda mengatakan dengan kelebihan produksi itu, Indonesia berpotensi besar memasok telur ayam konsumsi ke negara negara yang sedang mengalami gangguan produksi akibat wabah HPAI termasuk Amerika Serikat (AS), yang diberitakan mengalami defisit tinggi.

Pada akhir Maret 2025, harga telur ayam ras nasional berada di kisaran Rp29.475 per kilogram, sedikit di bawah harga acuan nasional yang ditetapkan Rp30.000 per kilogram.

Baca Juga: ANTI GAGAL! 5 Cara untuk Membuat Frittata Telur Dadar Italia dengan Hasil Tebal dan Matang Dijamin Endul

Ini sangat kontras dengan situasi di negara-negara lain yang mengalami eggflation atau kenaikan harga telur yang drastis termasuk Swiss, Selandia Baru, dan Amerika Serikat.

Di Amerika Serikat, harga telur sudah mencapai 4,11 dolar AS per kilogram atau sekitar Rp68.103, sementara di Singapura menyentuh angka 3,24 dolar AS per kilogram atau Rp53.687.

Lonjakan harga di negara-negara tersebut dipicu oleh beberapa faktor utama di antaranya merebaknya dampak wabah flu burung yang mengurangi populasi ayam petelur, kenaikan harga pakan, serta gangguan rantai pasok global.

Baca Juga: Harga Bahan Pokok Mulai Naik Jelang Idul Adha 2023, Mulai Telur hingga Cabai

Di Indonesia, kondisi berbeda karena berbagai faktor yang menopang stabilitas produksi. Pertama, populasi ayam petelur di dalam negeri tetap terkendali dengan pasokan yang memadai.

Efisiensi rantai pasok

Indonesia juga diuntungkan dengan efisiensi dalam rantai pasok dan distribusi yang membuat harga tetap stabil.

Baca Juga: 6 Fakta Menarik Kasus Pencurian Tiga Buah Telur di Tangerang, Sedih Banget

Peternak dan pelaku usaha unggas di berbagai daerah masih bisa memperoleh bahan pakan dengan harga relatif lebih terkendali dibandingkan negara-negara lain yang bergantung pada impor jagung dan kedelai.

Kemudian, kebijakan pemerintah dalam menjaga keseimbangan pasokan dan permintaan terbukti efektif. Momentum ini harus dimanfaatkan dengan strategi yang tepat agar Indonesia tidak sekadar menjadi negara dengan surplus telur, tetapi juga pemain utama dalam industri berbasis telur di tingkat global.

Salah satu langkah strategi yang dapat dilakukan adalah memperluas pasar ekspor. Sesuai data Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementerian Pertanian, Indonesia tercatat sudah mengekspor 38,36 juta butir telur ayam konsumsi ke Singapura sepanjang Januari hingga September 2024, setara dengan 2,37 ribu ton atau senilai 4,44 juta dolar AS dalam 118 kali pengiriman.

Baca Juga: VIRAL, Ibu Pencuri Tiga Buah Telur agar Anaknya Bisa Makan Dibebaskan, Pulangnya Diberi Sembako

Hal ini menjadi indikasi yang sehat bahwa produk unggas Indonesia memiliki daya saing di pasar global. Pasar potensial lain seperti negara-negara di Timur Tengah dan Afrika yang mengalami defisit pangan juga perlu dijajaki.

Ketua Umum Gabungan Perusahaan Pembibitan Unggas Indonesia (GPPU) Ahmad Dawami juga mendukung penuh rencana ekspor telur ke AS sebanyak 1,6 juta butir per bulan.

Menurut dia, kapasitas produksi nasional memungkinkan untuk memenuhi hingga 160 juta butir telur per bulan tanpa mengganggu kebutuhan dalam negeri.

Baca Juga: Demi Beri Makan Anak, Ibu Ini Terpaksa Mencuri Tiga Buah Telur, Aksi Polisi Bikin Elus Dada

Di sisi lain, mengoptimalkan nilai tambah produk telur menjadi langkah krusial. Salah satu inovasi yang mulai dikembangkan adalah industri tepung telur, yang memiliki pangsa pasar besar baik di dalam negeri maupun untuk ekspor.

Tepung telur adalah solusi bagi industri makanan dan minuman yang membutuhkan telur dalam bentuk lebih awet dan praktis. Dengan mengembangkan industri ini, Indonesia tidak hanya mengekspor telur segar, tetapi juga produk olahan yang memiliki nilai ekonomi lebih tinggi.

Selain itu, diversifikasi produk berbasis telur seperti protein isolate dari putih telur dan produk nutraceutical berbasis kuning telur juga bisa menjadi peluang bisnis baru yang menopang perekonomian peternak lokal.

Baca Juga: BKSDA Yogyakarta Catat 2.008 Telur Penyu Lekang Menetas di Pesisir Kulon Progo

Dalam jangka panjang, ketahanan industri unggas Indonesia juga perlu diperkuat dengan inovasi di sektor pakan.

Meskipun harga pakan di dalam negeri lebih terkendali dibandingkan negara lain, ketergantungan terhadap jagung dan kedelai impor tetap menjadi tantangan. Oleh karena itu, eksplorasi sumber pakan alternatif yang lebih efisien dan berkelanjutan perlu dikembangkan.

Pemanfaatan limbah pertanian untuk substitusi pakan unggas, pengembangan teknologi fermentasi pakan, serta pemanfaatan serangga seperti black soldier fly (BSF) sebagai sumber protein alternatif adalah beberapa inovasi yang dapat mendukung keberlanjutan industri ini.

Baca Juga: Wabah Flu Burung di AS Bikin Jutaan Ayam Dimusnahkan, Ganggu Pasokan Telur, Harga Melonjak

Insentif industri

Pada tingkat kebijakan, sinergi antara pemerintah, peternak, dan pelaku industri perlu diperkuat agar surplus telur dapat dikelola dengan lebih baik.

Kebijakan yang mendukung stabilitas harga pakan, insentif bagi pelaku industri yang mengembangkan produk berbasis telur, serta dorongan ekspor ke pasar-pasar potensial harus menjadi agenda utama. Selain itu, strategi promosi telur Indonesia di pasar global juga perlu diperkuat dengan branding yang tepat.

Baca Juga: Polisi Tangkap Sindikat Pencuri Bebek yang Beraksi di Sukabumi dan Bogor, Jawa Barat

Negara lain seperti Jepang dan Korea Selatan, misalnya, sangat mengutamakan kualitas dan keamanan pangan, sehingga sertifikasi dan standar produksi harus disesuaikan dengan kebutuhan pasar tersebut.

Indonesia saat ini berada dalam posisi strategis untuk tidak hanya menjadi pemasok telur bagi kebutuhan domestik, tetapi juga menguasai pasar regional. Dengan mengoptimalkan peluang ini, bukan tidak mungkin Indonesia bisa menjadi salah satu pemain utama dalam industri berbasis telur di tingkat global.

Momentum surplus telur harus diarahkan menjadi peluang ekspansi dan inovasi, bukan sekadar kelebihan pasokan yang akhirnya berujung pada fluktuasi harga di tingkat peternak.

Baca Juga: Polda Lampung: Tiga Polisi Gugur di Way Kanan Akibat Ditembaki Ketika Gerebek Lokasi Sabung Ayam

Dengan kebijakan yang tepat, dukungan teknologi, serta strategi pemasaran yang efektif, Indonesia bisa menjadikan sektor unggas sebagai salah satu kekuatan ekonomi baru.

Surplus telur bukan sekadar tanda keberlimpahan produksi, tetapi juga peluang besar untuk menciptakan nilai tambah yang lebih luas. Jika dikelola dengan baik, ini bisa menjadi salah satu tonggak penting dalam memperkuat ketahanan pangan nasional dan daya saing industri pangan Indonesia di tingkat global.

(Oleh Hanni Sofia) ***

Halaman:

Berita Terkait