DECEMBER 9, 2022
Kolom

Catatan Denny JA: Agama Sebagai Warisan Kultural Milik Kita Bersama

image
(OrbitIndonesia/kiriman)

Tentu tumbuh pula kritik atas tumbuhnya tren yang menjadikan agama sebagai warisan kultural milik kita bersama.

Kritik pertama soal Reduksi Makna Agama. Prinsip kelima ini dapat dikritik karena mereduksi agama dari sesuatu yang sakral menjadi sekadar warisan budaya.

Dalam tradisi teologis dan sosiologi klasik, agama memiliki dimensi transenden yang menghubungkan manusia dengan Tuhan.

Baca Juga: Catatan Denny JA: Kejayaan yang Dikalahkan Oleh Teknologi

Jika agama hanya dipandang sebagai warisan kultural yang bisa dinikmati siapa saja, apakah ini tidak menghilangkan esensi ketuhanannya?

Kritik kedua, spirit agama warisan budaya menghilangkan Otoritas Institusi Agama. Melihat agama sebagai warisan budaya yang bisa diakses siapa saja berisiko mengikis otoritas institusi agama.

Jika individu bebas menafsirkan dan mengambil sebagian ajaran tanpa komitmen penuh, bukankah ini membuat ajaran agama kehilangan konsistensi dan otoritasnya?

Baca Juga: Catatan Denny JA: Mengapa Diperlukan Teori Baru Sosiologi Tentang Agama dan Spiritualitas di Era Artificial Intelligence?

Bagaimana agama bisa tetap relevan jika otoritasnya melemah?

Kritik ketiga, ia membuka Potensi Komodifikasi Agama.
Ketika agama diperlakukan sebagai warisan kultural yang dapat diakses siapa saja, ada risiko komodifikasi.

Ritual, simbol, dan praktik keagamaan bisa dipasarkan dan dikomersialkan tanpa pemahaman yang mendalam.

Baca Juga: Catatan Denny JA: Perempuan Menjadi Nahkoda Kapalnya Sendiri, 89 Tahun NH Dini

Misalnya, meditasi Buddha dan yoga sering kali diajarkan tanpa memahami akar spiritualnya, sekadar sebagai produk kebugaran.

Halaman:

Berita Terkait