DECEMBER 9, 2022
Kolom

Catatan Denny JA: Agama Sebagai Warisan Kultural Milik Kita Bersama

image
(OrbitIndonesia/kiriman)

Mereka menikmati puisi Sufi tanpa merasa harus menjadi bagian resmi dari agama Islam.

Bagi mereka, agama bukanlah tembok pemisah, tetapi sumber inspirasi. Kuil, gereja, atau masjid bukanlah sekadar tempat ibadah, melainkan ruang batin yang menyentuh jiwa.

Fenomena ini menandakan era baru: agama sebagai kearifan yang mengalir lintas batas. Bagi sebagian, agama bukan lagi label identitas yang harus dibatasi secara eksklusif.

Baca Juga: Catatan Denny JA: Kejayaan yang Dikalahkan Oleh Teknologi

-000-

Terjadi pergeseran fundamental dalam cara agama dipahami dan dialami di era globalisasi dan artificial intelligence (AI).

Berbeda dari Sosiolog klasik agama, Emile Durkheim yang melihat agama sebagai alat kohesi sosial dalam komunitas tertentu. Era ini menunjukkan agama menjadi pengalaman universal yang bisa dinikmati siapa saja, tanpa harus menjadi penganutnya.

Baca Juga: Catatan Denny JA: Mengapa Diperlukan Teori Baru Sosiologi Tentang Agama dan Spiritualitas di Era Artificial Intelligence?

Natal di Jepang, meditasi Buddha di dunia Barat, atau yoga yang diajarkan tanpa konteks religius adalah bukti. Bagi sebagian warga, agama kini lebih sebagai warisan budaya daripada identitas eksklusif.

Berbeda pula dari Sosiolog klasik agama lain,  Max Weber yang menyoroti peran agama dalam membentuk etika ekonomi dan sosial. 

Tapi kini agama bukan hanya sistem nilai bagi kelompok tertentu. Agama juga sumber inspirasi universal. Konsep mindfulness dan kasih dalam berbagai tradisi telah menjadi nilai bersama yang melampaui batas agama.

Baca Juga: Catatan Denny JA: Perempuan Menjadi Nahkoda Kapalnya Sendiri, 89 Tahun NH Dini

Berbeda dari Sosiolog klasik lain, Karl Marx yang melihat agama sebagai alat dominasi kelas penguasa. 

Halaman:

Berita Terkait