Catatan Denny JA: Menyambut Agama di Era Artificial Intelligence, Tak Bersama Durkheim, Weber, dan Karl Marx
- Penulis : Krista Riyanto
- Selasa, 25 Februari 2025 09:54 WIB

Namun kini, batas-batas itu mengabur. Tempat ibadah kini hadir pula dalam ponsel kita. Umat punya alternatif lain, yang tidak lagi membutuhkan komunitas fisik untuk beribadah.
Pemuka agama semakin kehilangan monopoli atas tafsir keagamaan. Seorang Muslim di Jakarta bisa mengakses khutbah dari ulama Mesir dalam sekejap.
Seorang ateis di London bisa berdiskusi tentang makna kehidupan dengan AI yang dilatih dalam berbagai filsafat dunia.
Doa, meditasi, dan refleksi kini difasilitasi oleh perangkat lunak, bukan lagi hanya oleh komunitas keagamaan.
Kita sedang menyaksikan pergeseran terbesar dalam sejarah agama sejak reformasi Protestan.
Bukan hanya manusia yang kini berbicara tentang Tuhan. Kecerdasan buatan, yang awalnya hanya alat, kini semakin menjadi aktor spiritual.
AI memberikan tafsir kitab suci dari berbagai sudut pandang. Robot pendeta memimpin kebaktian di gereja- gereja digital. Aplikasi AI menyesuaikan doa dan meditasi berdasarkan kondisi psikologis pengguna.
Ini bukan sekadar inovasi. Ini adalah revolusi eksistensial. Jika Durkheim melihat agama sebagai ekspresi dari kesadaran kolektif, maka bagaimana kita memahami kepercayaan yang dipandu oleh kesadaran buatan?
Jika Weber melihat agama sebagai kekuatan yang membentuk ekonomi, bagaimana kita memahami kapitalisme religius berbasis algoritma?
Dan yang lebih dalam: Apakah AI dapat memiliki pengalaman religius? Apakah kesadaran hanya milik manusia, atau mungkinkah suatu hari nanti, AI juga akan “percaya” kepada sesuatu yang lebih besar darinya?