DECEMBER 9, 2022
Kolom

Catatan Denny JA: Menyambut Agama di Era Artificial Intelligence, Tak Bersama Durkheim, Weber, dan Karl Marx

image
(OrbitIndonesia/kiriman)

Weber menyoroti bagaimana agama membentuk etos kerja dan berperan dalam dinamika kapitalisme. Pandangan Weber ini dapat dibaca dalam bukunya yang menjadi teks wajib sosiologi agama berjudul The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism (1905).

Karl Marx menganggap agama sebagai candu, alat bagi kelas penguasa untuk mengendalikan massa. Ia katakan gagasan itu berulang- ulang terutama dalam buku berjudul A Contribution to the Critique of Hegel’s Philosophy of Right (1844).

Tetapi zaman mereka tidak mengenal algoritma yang dapat memberikan fatwa lebih cepat daripada ulama. Mereka tidak pernah membayangkan dunia ketika sebuah chatbot bisa membimbing orang dalam pencarian Tuhan, tanpa mesjid, tanpa gereja, tanpa komunitas, tanpa imam.

Inilah kekosongan teori yang harus kita isi. Jika Durkheim hidup di era ini, bagaimana ia akan menjelaskan komunitas keagamaan virtual yang tidak pernah bertemu secara fisik? 

Jika Weber melihat bagaimana AI membentuk pola konsumsi spiritual manusia, mungkinkah ia berbicara tentang etos digital alih-alih etos Protestan? 

Dan jika Marx menyaksikan bagaimana Google dan OpenAI mengendalikan narasi keagamaan dengan algoritma mereka, mungkin ia akan menulis ulang teori agama sebagai instrumen kapitalisme digital?

Durkheim, Weber, dan Marx tidak salah. Namun mereka kini tidak cukup. Zaman ini sudah berkembang terlalu besar dan terlalu canggih, sehingga teori mereka yang dulu dahsyat kini layu untuk menjelaskan fenomena agama dan masyarakat di era AI.

-000-

Dulu, agama memiliki bentuk yang solid. Ia hadir dalam gereja, masjid, sinagog, vihara. Ia memiliki imam, pendeta, ulama, biksu yang bertugas membimbing umat. 

Ada komunitas, ada ritual yang dijalankan bersama, ada otoritas yang menentukan mana yang sahih dan mana yang bid’ah.

Halaman:

Berita Terkait