DECEMBER 9, 2022
Puisi

Budaya Patriarki dan Ternyata Suamiku Teroris: Pengantar dari Denny JA Untuk Buku Puisi Esai Mila Muzakkar

image
(OrbitIndonesia/kiriman)

Tiga alasan mengapa budaya patriarki mengekang potensi perempuan. Apa jadinya sebuah dunia jika separuh populasi harus meminta izin untuk memiliki mimpi?

Bayangkan sebuah sistem yang begitu tertanam dalam kesadaran kolektif, hingga orang-orang yang tertindas pun tidak menyadari bahwa mereka sedang dijerat.

Itulah patriarki, sebuah warisan yang diwariskan turun-temurun, seperti kutukan yang diam-diam mengubah nasib jutaan perempuan di dunia.

Kita bisa melihat jejaknya di mana-mana. Dalam puisi, dalam novel-novel besar dunia, dalam statistik ketidakadilan yang terus berulang.

Umi Yanti dalam puisi esai Mila Muzakkar atau Mariam dan Laila dalam A Thousand Splendid Suns, misalnya, tidak memilih untuk lahir sebagai perempuan di Indonesia atau Afghanistan yang penuh gejolak.

Seperti halnya Umi Yanti dalam puisi esai Mila Muzakkar, mereka tidak meminta untuk ditindas. Tapi patriarki tidak membutuhkan izin untuk bekerja. Ia hanya perlu diterima sebagai “kodrat.”

Pertama: Patriarki Menghancurkan Otonomi Perempuan

Otonomi adalah hak untuk menentukan jalan hidup sendiri. Tapi dalam sistem patriarki, perempuan sering kali harus mendapatkan persetujuan dari orang lain. Itu bisa ayah, suami, atau saudara laki-laki, untuk melakukan hal-hal yang seharusnya menjadi hak mereka sejak lahir.

Mariam dalam A Thousand Splendid Suns adalah contoh sempurna dari perempuan yang kehilangan otonominya bahkan sebelum ia bisa memahami apa itu kebebasan.

Sebagai anak haram, ia tidak pernah diberi pilihan. Ayahnya menyembunyikannya, ibunya meracuninya dengan rasa takut, dan akhirnya, ia dipaksa menikah dengan seorang lelaki yang memperlakukannya sebagai properti, bukan sebagai manusia.

Halaman:

Berita Terkait