Puisi Esai Denny JA: Boneka yang Tertinggal di Nanking
- Penulis : Krista Riyanto
- Sabtu, 15 Februari 2025 07:58 WIB

Puisi esai seri Yang Mengigil di Arus Sejarah (6)
ORBITINDONESIA.COM - 1937-1938, tentara Jepang menduduki Nanking, Cina, meninggalkan satu kekejaman paling dahsyat dalam sejarah perang. (1)
-000-
Aku terbaring di tanah,
di antara bata yang hangus dan jendela tanpa kaca.
Langit di atas Nanking tak lagi biru.
Abu dari nyawa yang dihanguskan perang melukisnya muram.
Dulu, aku adalah boneka yang dicintai,
dibawa kemana-mana dalam genggaman tangan mungil.
Kini, aku hanya tubuh tanpa pelukan,
mengenang tawa yang tak akan kembali.
Di ujung jalan,
sungai Yangtze mengalir pelan,
bukan membawa ikan, bukan membawa sampan,
tapi tubuh-tubuh yang hanyut dalam sunyi.
Dan aku,
aku melihat semuanya.
-000-
Namanya Mei.
Ia tujuh tahun, dengan mata bulan sabit
dan rambut dikepang oleh ibunya setiap pagi.
Ia tinggal di sebuah rumah kayu dekat jembatan,
tempat bunga plum mekar saat musim dingin.
Setiap hari ia membawaku berjalan,
menyusuri pasar yang penuh warna.
Suara pedagang menawar harga,
asap dari wajan yang menggoreng pangsit,
musik dari erhu tua yang dimainkan seorang lelaki buta.
Mei menyukai dunia ini.
Ia tertawa saat melihat burung pipit mencuri remah roti.
Ia bernyanyi saat hujan turun di atap.
Ia percaya dunia ini penuh dengan keajaiban.
Lalu perang datang.
-000-
Langit berubah merah.
Bukan matahari terbenam, bukan lentera festival,
tapi api yang menjilat atap rumah-rumah.
Orang-orang berlari.
Jeritan memenuhi gang-gang sempit.
Aku merasakan tangan Mei mencengkeramku erat,
lebih erat dari sebelumnya.
Ibunya berteriak,
ayahnya menuntun mereka berlari
melintasi kota yang kini menjadi neraka.
Aku melihat pria-pria yang ditarik dari rumah mereka,
dijajar di tepi sungai,
lalu ditembak hingga jatuh satu per satu
ke air yang berubah warna.
Aku ingin menutup mataku.
Tapi aku tidak punya kelopak.
-000-
Langit tidak pecah,
tetapi bumi yang menangis.
Di atas sungai Yangtze,
tiga ratus ribu nyawa
mengapung tanpa nama.
Wanita-wanita menjadi tanah jajahan,
tubuh mereka diperkosa,
dicabik sejarah.
Dua puluh ribu, delapan puluh ribu,
siapa yang sempat menghitung?
Lelaki dijajar, bukan untuk dihormati,
tetapi untuk ditebas.
Bayi dijatuhkan, bukan untuk ditimang,
tetapi untuk dibinasakan.
Perang dunia kedua usai.
Jenderal Matsui diadili,
tapi apakah keadilan bisa mengembalikan
mereka yang telah hilang?
Di Nanking, bangunan baru berdiri,
pasar kembali riuh dengan tawa dan warna.
Tapi di bawahnya, tulang-tulang yang tak dikuburkan
masih berbisik pada malam yang tak mendengar.
-000-
Di sudut kuil tua,
Mei dan ibunya bersembunyi bersama perempuan lain.
Mereka menggigil, saling mendekap,
memohon agar malam cepat berlalu.
Lalu pintu didobrak.
Bayangan tinggi berdiri di ambang pintu.
Suara perintah dalam bahasa asing,
suara tawa tanpa belas kasihan.
Aku terjatuh dari tangan Mei.
Aku melihat matanya mencari ibunya,
tetapi ibunya telah ditarik ke luar,
jeritannya tercekik di udara yang dingin.
Aku ingin berteriak.
Tapi aku tidak punya suara.
-000-
Mei berlari.
Langkah kecilnya terseret dalam lumpur dan darah.
Di belakangnya, suara langkah berat mendekat.
Aku di tanah, aku melihat semuanya.
Aku melihat Mei jatuh.
Aku melihat tangannya meraih udara kosong.
Aku melihat tangan lain yang besar
menangkapnya, menyeretnya ke dalam kegelapan.
Aku menunggu.
Aku percaya ia akan kembali.
Tapi angin hanya membawa keheningan,
dan bulan tidak memberi jawaban.
-000-
Bertahun-tahun berlalu.
Nanking berubah.
Bangunan-bangunan baru berdiri,
pasar kembali dipenuhi warna dan tawa.
Tapi aku tetap di sini,
di tanah yang menyimpan bayang-bayang.
Suatu hari, seorang lelaki tua menemukanku.
Tangannya gemetar saat mengangkatku dari debu.
Ia membersihkanku perlahan,
seolah aku adalah sesuatu yang rapuh,
seolah aku masih memiliki jiwa.
Air matanya jatuh ke gaunku yang robek.
Dan dengan suara yang pecah, ia berbisik:
“Mei… maafkan Ayah yang terlambat…”
Aku kini berada di balik kaca museum.
Orang-orang datang dan pergi, membaca kisahku,
kisah seorang gadis kecil yang tak pernah pulang.
Tapi aku tahu,
aku lebih dari sekadar boneka yang tertinggal.
Aku adalah saksi.
Aku adalah ingatan yang tak boleh mati.
Di kota yang telah melupakan,
di sejarah yang ingin dihapus,
aku tetap ada, menunggu Mei.
Suatu hari, seorang perempuan datang.
Rambutnya putih, wajahnya penuh garis waktu.
Tangannya gemetar saat ia menyentuh kaca.
Ia tak berkata apa-apa.
Hanya air mata,
jatuh tanpa suara.
Ia menatapku,
seakan aku adalah dunia yang hilang,
seakan aku adalah bagian dari jiwanya
yang telah lama terkubur dalam malam yang membisu.
Ia berbisik pelan,
suara yang hampir tak terdengar:
“Aku pulang.”
Lalu ia pergi.
Aku ingin memanggilnya.
Aku ingin mengatakan sesuatu.
Tapi aku tetap diam.
Aku hanya boneka.
Aku hanya saksi.
Aku hanya ingatan yang bertahan lebih lama dari luka.
Dan aku tahu,
Mei memang telah kembali.
Tapi bukan untuk tinggal.***
Singapura, 14 Februari 2025
CATATAN
(1) Puisi esai ini dramatisasi dari salah satu perang paling kejam dalam sejarah: pendudukan Jepang di Nanjing (Nanking) Cina, era perang dunia kedua.
History.comhttps://www.history.comRape of Nanjing: Massacre, Facts & Aftermath