DECEMBER 9, 2022
Internasional

Tak Acuh AS Mundur Diri dari Perjanjian Iklim Paris 2016, China Teruskan Transisi Hijau

image
Ilustrasi Perjanjian Iklim Paris 2016 di mana China mendukung, tapi AS mundur (Foto: NOAA)

ORBITINDONESIA.COM - China mengaku tidak mengambil pusing soal lanskap internasional yang berkembang, termasuk soal keputusan Amerika Serikat mundur dari Perjanjian Iklim Paris 2016.

"Tidak peduli bagaimana lanskap internasional mungkin berkembang, tekad dan tindakan China untuk respons iklim proaktif tidak akan berubah," kata Juru Bicara Kementerian Luar Negeri China Mao Ning dalam konferensi pers di Beijing pada Kamis, 23 Januari 2025.

Sebelumnya pada Selasa, 21 Januari 2025, Presiden AS Donald Trump pada hari pertama setelah dilantik sebagai presiden menandatangani perintah eksekutif untuk AS secara resmi menarik diri dari Perjanjian Paris yaitu perjanjian tentang perubahan iklim diadopsi pada tahun 2015 oleh 195 anggota Konvensi Kerangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim.

Baca Juga: Dua Mahasiswa Fakultas Ilmu Administrasi UI Raih Juara I Debat Internasional tentang Iklim dan Energi

"Kami akan terus bekerja dengan semua pihak untuk membangun sistem tata kelola iklim global yang adil dan setara untuk kerja sama yang saling menguntungkan dan memajukan transisi hijau dan rendah karbon global serta pembangunan berkelanjutan," tambah Mao Ning.

Mao Ning kembali menyampaikan keprihatinan China karena penarikan diri AS dari Perjanjian Paris.

"Perubahan iklim adalah tantangan bersama yang dihadapi seluruh umat manusia. Tidak ada negara yang dapat memilih keluar atau tidak terpengaruh," ungkap Mao Ning.

Baca Juga: Indonesia Tegaskan Akan Lanjutkan Semua Komitmen untuk Tingkatkan Aksi Iklim

China, ungkap Mao Ning, meyakini solusi mendasar untuk perubahan iklim adalah transisi hijau.

"China mempercepat transisi hijau dan rendah karbon secara menyeluruh dan mengambil tindakan konkret untuk mencapai puncak emisi karbon dioksida sebelum 2030 dan mencapai netralitas karbon sebelum 2060," tambah Mao Ning.

Mao Ning mengungkapkan China juga telah membangun rantai industri energi baru terbesar dan terlengkap di dunia karena sebanyak 70 persen komponen fotovoltaik (panel surya) dan 60 persen peralatan tenaga angin di seluruh dunia berasal dari China.

Baca Juga: Peneliti Lingkungan IPB Rizaldi Boer: Hutan Merupakan Regulator Iklim yang Harus Dijaga

"Kapasitas produksi berkualitas tinggi ini telah menjadi pendorong kuat bagi pembangunan hijau global dan respons iklim," tegas Mao Ning.

Sejak 2016, dalam kebijakan internasional Nationally Determined Contributions (NDC) yang beberapa kali diperbaharui hingga terakhir pada 28 Oktober 2021, China menargetkan emisi karbon akan terus berkurang sebesar 60-65 persen hingga target pada 2030.

Secara bertahap China akan mengurangi pemakaian batubara mulai 2026 dan pada 2030 bertekad meningkatkan kapasitas listrik bersih dari tenaga surya dan angin menjadi 1,2 miliar kilowatt (kw) dengan target akhir adalah dekarbonisasi pada 2060.

Baca Juga: Maros Sefcovic: Uni Eropa Sesalkan Keputusan AS Keluar dari Kesepakatan Iklim Paris 2015

Pada akhir Juli 2024, kapasitas terpasang pembangkit listrik non-fosil di China sudah mencapai lebih dari 1,68 miliar kw atau sekitar 58,2 persen total kapasitas pembangkit listrik di seluruh China.

Kapasitas tersebut terdiri dari pembangkit listrik tenaga angin terpasang mencapai 471 juta KW, pembangkit listrik tenaga surya mencapai 735 juta KW dan sisanya adalah pembangkit listrik tenaga biomassa, nuklir dan lainnya.

Pada akhir Juli 2024, pembangkit listrik energi terbarukan di China juga sudah menghasilkan listrik hingga 2,2 triliun kw/jam yang setara dengan pengurangan emisi karbon dioksida sekitar 2 miliar ton.

Baca Juga: Pemerintah Jakarta Gandeng Dewan Masjid Masukkan Materi Perubahan Iklim di Dalam Khotbah

Kedua, transisi energi China mendukung pembangunan berkualitas bidang ekonomi dan sosial. Dalam sepuluh tahun terakhir, investasi kumulatif untuk infrastruktur di sektor energi adalah sekitar 39 triliun yuan atau rata-rata hampir 4 triliun yuan per tahun.

China membentuk rantai industri manufaktur peralatan energi yang lengkap, dan mempercepat inovasi teknologi di bidang energi baru, Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA), Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN), transmisi dan transformasi daya hingga penyimpanan energi baru.

China pun mengklaim pembangkit listrik energi baru yang terpasang di Tiongkok menyumbang sekitar 40 persen dari total kapasitas terpasang di dunia.***

Halaman:

Berita Terkait