DECEMBER 9, 2022
Kolom

Peran Diplomasi Indonesia dalam Mengatasi Perubahan Iklim Melalui International Sustainability Forum

image
Ilustrasi perubahan iklim (Foto: American Chemical Society)

ORBITINDONESIA.COM - Perhelatan akbar Indonesia International Sustainability Forum (ISF) 2024 yang berlangsung pada 5-6 September di Jakarta menjadi ajang untuk meningkatkan kesadaran terhadap isu perubahan iklim dan memperkuat kemitraan global, sekaligus berbagi strategi untuk mengatasi isu tersebut.

Ancaman yang semakin besar akibat perubahan iklim menuntut upaya peningkatan perlindungan bagi masyarakat maupun lingkungan melalui kerja sama yang melibatkan semua elemen. Pada  kondisi semacam inilah diplomasi memiliki peran yang sangat penting untuk membuka kemitraan yang membuka jalan merancang strategi bersama mengatasi perubahan iklim.

Presiden Joko Widodo dalam pidato pembukaan ISF 2024 di Jakarta menyampaikan seruan untuk memperkuat kerja sama global dalam menghadapi krisis perubahan iklim dan mempercepat agenda keberlanjutan internasional.

Baca Juga: Catat! Ini Komitmen Ganjar Pranowo Mengatasi Masalah Kerusakan Lingkungan di Indonesia, Penyebab Perubahan Iklim

Indonesia sangat terbuka menjalin kemitraan dengan siapa pun untuk memaksimalkan potensi bagi dunia yang lebih hijau dan untuk memberikan akses bagi energi hijau yang berkeadilan serta pertumbuhan ekonomi inklusif dan berkeadilan.

Karena itu forum ISF diharapkan dapat menjadi tempat bertemunya pengetahuan, pengalaman, dan sumber daya yang dapat menjadi modal bersama dalam berkolaborasi mengatasi tantangan iklim.

Indonesia memiliki potensi energi hijau yang melimpah yang mencapai lebih dari 3.600 GW serta memiliki pembangkit tenaga listrik surya (PLTS) terapung di Cirata berkapasitas 192 MW peak. PLTS tersebut menjadi yang terbesar di Asia Tenggara dan terbesar ketiga di dunia.

Baca Juga: Gelombang Protes Petani Eropa Tandai Solusi Perubahan Iklim Jangan Terbatas Cuma Dibahas Para Elite

Indonesia juga memiliki potensi besar dalam penyerapan karbon, melalui hutan mangrove terbesar di dunia yang memiliki luas 3,3 juta hektare dan mampu menyerap karbon 8-12 kali lebih baik dibanding hutan hujan tropis.

Semua potensi tersebut tidak dapat berdampak secara signifikan terhadap percepatan penyelesaian isu perubahan iklim selagi negara-negara maju enggan menggelontorkan dana mereka untuk berinvestasi. Riset dan teknologi terbatas juga tidak akan membuat diplomasi kemitraan antarnegara berjalan mulus.

Diperlukan pendekatan yang kolaboratif dan berperikemanusiaan serta kolaborasi antara negara maju dan negara berkembang, sebab kolaborasi bukan pilihan dan kemanusiaan bukan opsi, melainkan sebuah keharusan dan kewajiban.

Baca Juga: Dirjen Hak Asasi Manusia Dhahana Putra: Fatwa MUI tentang Iklim Sejalan dengan Hak Asasi Manusia

Diplomasi 

Halaman:
1
2
3

Berita Terkait