Peter F. Gontha: Terminal 3 Bandara Soekarno-Hatta, Wajah Memalukan dari Negara Besar
- Penulis : Abriyanto
- Selasa, 01 Juli 2025 11:00 WIB

Oleh Peter F. Gontha*
ORBITINDONESIA.COM - Ketika kita pertama kali bertemu seseorang—terutama sosok yang menarik perhatian seperti seorang perempuan—hal pertama yang kita perhatikan adalah wajahnya. Sekilas saja, kita langsung membentuk kesan: anggun, ramah, atau bahkan mencurigakan.
Apa pun yang dikatakannya setelah itu bisa saja penting, tapi kesan pertama biasanya menetap lama. Dan tak jarang, apa yang tampak indah di luar, ternyata menyimpan keburukan di dalam.
Baca Juga: Irene Umar: Game Corner Terminal 3 Bandara Soekarno-Hatta Dapat Promosikan Karya Kreatif Lokal
Hal ini juga berlaku ketika seseorang menginjakkan kaki untuk pertama kali di sebuah negara.
Bagi para turis atau tamu internasional, pengalaman pertama mereka bukanlah makanan, budaya, atau keramahan penduduk lokal—tapi bandara. Bandara adalah wajah negara. Ia menjadi tolok ukur. Lewat bandara, tamu mendapat pesan: “Inilah kami.” Apakah kami modern atau kacau? Tertib atau semrawut? Profesional atau masa bodoh?
Sayangnya, Terminal 3 Bandara Internasional Soekarno-Hatta tidak mencerminkan Indonesia yang besar dan bermartabat.
Baca Juga: Faik Fahmi: InJourney Airports Siapkan 18 Bandara Strategis untuk Layani Jemaah Calon Haji Indonesia
Sebagai seseorang yang telah melewati berbagai bandara internasional di dunia, pengalaman saya di Terminal 3 baru-baru ini adalah tamparan keras. Bandara yang seharusnya mencerminkan kedisiplinan dan kebanggaan nasional justru menyerupai pasar malam yang tak terurus.
Tidak ada keteraturan. Orang berlarian ke segala arah. Orang-orang tanpa izin berkeliaran di zona terbatas, menunggu menyambut tamu-tamu penting.
Rombongan pejabat, ajudan, pengawal pribadi, bahkan asisten pengusaha kaya bertindak seolah bandara itu milik pribadi mereka.
Baca Juga: Menhub Dudy Purwagandhi: Tiga Bandara Kembali Berstatus Internasional Demi Dukung Perekonomian
Sementara itu, para penumpang yang baru pulang dari ibadah umrah—berpuluh-puluh, bahkan ratusan orang—berkerumun di area kedatangan, memenuhi ruangan tanpa pengaturan yang jelas, seolah tidak ada tempat lain yang bisa secara khusus disediakan untuk menampung mereka.