DECEMBER 9, 2022
Buku

Hendrajit tentang Novel Haruki Murakami, "Tsukuru Tazaki Tanpa Warna dan Tahun Ziarahnya"

image
Novelis Haruki Murakami (Foto: Gramedia)

ORBITINDONESIA.COM - Kalau anda ikut gabung pada sebuah klub, perkumpulan atau komunitas, lantas merasa minder karena kalah pamor atau kalah unggul di antara para anggota lainnya, jangan keburu minder atau merasa tidak PD dulu. Karena para anggota lainnya belum tentu memandang dirimu seperti yang Anda rasakan.

Itulah pesan sentral novel karya Haruki Murakami, Tsukuru Tazaki Tanpa Warna dan Tahun Ziarahnya. Dalam cerita ini, Tsukuru semula gundah gulana karena tanpa alasan jelas, kasarannya dia dipecat dari komunitas yang anggotanya sebenarnya hanya 5 orang termasuk dirinya.

Belakangan, 16 tahun setelah dia dikeluarkan dari keanggotaannya, dan sudah jadi orang sukses sebagai arsitek pembangunan stasiun kereta api, Tsukuru atas desakan pacarnya, menyelidiki alasan sesungguhnya dia dipecat dari komunitas.

Baca Juga: Hendrajit: Membaca Bob Dylan Dari Buku Bacaannya

Pertimbangan Sarah, pacar Tzukuru, selama belum terjawab alasan dirinya dipecat, akan menghantui terus masa depannya. Dan pastinya juga mengganggu hubungan Tsukuru dan Sara ke depannya ke tingkatan yang lebih serius.

Memang akhirnya terbukti dia memang jadi korban fitnah tanpa diberi hak konfirmasi kebenaran dari tuduhannya. Namun pesan sentral sang pengarang menurutku bukan itu. Namun, terkait dengan hakikat dan spirit sebuah komunitas atau klub itu sendiri.

Rupanya ketika Tsukuru masih bergabung dalam keanggotaan kominitas itu, di mata keempat kawannya, Tsukuru yang punya pembawaan tenang, tidak menonjolkan diri, lebih suka mendengar dan menyerap ketimbang berekspresi, bagi keempat kawan sekomunitasnya itu, justru kayak semacam jangkar atau pusat keseimbangan.

Baca Juga: Hendrajit: Soedjatmoko Percaya Raja Jawa Bisa Memerintah Karena Dapat Wangsit

Jadi, tanpa disadari Tzukuru sendiri, sebenarnya yang dia sangka kelemahan, di mata para anggota lainnya justru kekuatan dan keunggulan. Malah semacam perekat dari kekompakan komunitas.

Adanya Tsukuru di dalam komunitas, justru membuat perkumpulan lima sekawan itu jadi utuh. Masing-masing anggota seperti terdorong untuk jadi dirinya sendiri, dengan segala keunggulan dan kekurangannya.

Nah, ketika Tsukuru terpanggil untuk meneruskan sekolah di Tokyo dan pindah dari Nagoya, tempat asalnya, keempat temannya itu meski karena gengsi, sebenarnya bukan saja keberatan Tsukuru pindah ke Tokyo, namun juga merasa kepergian Tsukuru akan membuat komunitas itu tidak seperti adanya semula.

Baca Juga: Hendrajit tentang Novel John Grisham yang Berkisah Soal Pengacara

Sudah mengalami pergeseran sifat. Sehingga akhirnya lambat laun, hubungan keempat kawan seklub itu jadi hambar, dan bubar pelan-pelan, seiring hilangnya Tsukuru dari perkumpulan itu.

Hanya saja saat Tsukuru menyatakan niatnya mau ke Tokyo, kawan-kawan sekomunitas Tsukuru karena gengsi dan ego, tidak berterus-terang, dan membiarkan Tsukuru melanjutkan sekolah di Tokyo untuk mendalami passionnya sejak kecil, yaitu stasiun kereta api.

Jadi, berbeda dengan teman-teman Tsukuru satu komunitas yang tetap ingin tinggal di Nagoya, Tsukuru mengikuti panggilan hati dan passionnya, mendalami soal pembangunan stasiun kereta api, meski harus ke Tokyo.

Baca Juga: Hendrajit: Pesan Terakhir Franz Kafka pada Sahabatnya Max Brod Tentang Pemusnahan Buku Karyanya

Ironisnya, Tsukuru sendiri tidak mengerti betapa dirinya dianggap faktor pelengkap semacam jangkar dan pusat keseimbangan yang menenangkan dalam komunitas, sementara dirinya justru merasa bukan apa-apa di dalam komunitas dibanding keempat rekan seklubnya itu.

Sehingga ketika dirinya dipecat dari komunitas ketika sudah beberapa tahun di Tokyo, dirinya merasa dikucilkan dan menumbuhkan luka yang dalam di hatinya, meski di permukaan dia baik baik saja. Malah akhirnya jadi orang sukses.

Namun menurut saya masih ada sebuah pesan lagi yang secara halus diselipkan oleh Murakami dalam novelnya ini. Baik atau buruknya nasib kita kini dan mendatang, sangat tergantung pada cara pandang dan sikap kita melihat sejarah atau masa lalu.

Baca Juga: Hendrajit: Membaca Benang Merah Dalam Buku Novel Steve Berry dan Dan Brown

Dengan kata lain, kalau mau membuat masa depan kita lebih baik, kita harus mereparasi masa lalu kita. Dalam cara melihat maupun bersikap dalam memandang sejarah.

Jepang, China, India, Venezuela, Brazil, merupakan contoh bangsa-bangsa yang mampu bangkit dan maju dari keterpurukan, karena mampu dan mau mengubah cara pandangnya dalam melihat sejarah bangsanya.

(Oleh Hendrajit, pengamat geopolitik) ***

Halaman:

Berita Terkait